BAB SEMBILAN

5 0 0
                                    

“In the end of the day, i just want to see you. Even thou just in my wild dream”



========

Alden ternyata serius soal ucapannya yang akan mengantarnya pulang.

Langkah Iren baru saja menginjak luar gerbang sekolahnya, namun matanya sudah menangkap sosok Alden yang duduk di atas motornya. Persis di depan gerbang, seperti yang cowok itu katakan saat di lapangan tadi.

Iren hendak berbalik, namun ia urungkan niatnya itu. Ia akan terlihat bodoh kalau kembali masuk. Menarik napas, Iren mempercepat langkahnya melewati Alden. Berharap, di tengah keramaian saat pulang sekolah cowok itu tidak akan mengenalinya.

“Iren!” teriak Alden dari belakang.

Mampus. Iren mempercepat langkahnya, tidak menoleh sama sekali.

Namun ia merasakan ada motor yang berjalan pelan mengiringi langkahnya.

“Lo nggak dengar gue panggil tadi?”

Iren berhenti, dan motor disampingnya juga berhenti.

“Memangnya tadi lo panggil gue?” Iren pura-pura kaget.

“Nggak liat apa dari tadi gue disitu nungguin lo.” katanya.

Iren kikuk. Bingung harus bagaimana lagi.

“Mau ngapain, sih?” Iren bertanya.

“Lo lupa? Gue mau antar lo pulang.” jawab Alden santai.

“Gue bilang kan nggak usah. Gue bisa sendiri.” Iren mulai risih, apa lagi kini semua mata tertuju ke arahnya. Tatapan penasaran dan penuh selidik menyorot tajam ke arah Iren.

“Naik.” titah Alden.

Iren semakin risih karena yang keluar dari gerbang semakin ramai.

“Lo nggak mau kan terus jadi pusat perhatian? Kalo nggak mau, buruan naik.” Alden mengingatkan.

Iren benar-benar tidak ada pilihan lain. Sial! Iren benar-benar terjebak. Ok, level menjengkelkan seorang Alden sepertinya semakin parah.

Menghentakan kaki kesal, akhirnya Iren naik ke boncengan Alden.

Sudut bibir Alden terangkat, melirik wajah cemberut Iren dari kaca spion. Rasanya ia ingin tertawa.

Sepanjang perjalanan, Iren diam. Dan Alden juga tidak repot-repot untuk mengajaknya bicara. Sampai motor Alden menepi di depan sebuah mini market, baru Iren tersadar.

“Kok lo tau kalau gue nggak pulang dulu? Gue kan belum bilang.” Iren mengangkat alisnya, menatap Alden curiga.

Alden berdeham, “Lho, bukannya memang lo setiap pulang sekolah part-time di sini kan?”

Iren berdecak. Turun dari boncengan Alden, “terserah, deh.”

“Lo mau ngapain?” sergah Iren, ketika melihat cowok itu juga ikut turun dari motornya bukan malah langsung pulang.

“Mau masuk.” ucap Alden santai.

“Mau apa lagi, sih?”

Namun cowok itu tidak mengindahkan Iren yang sudah uring-uringan dari tadi. Cowok itu dengan cueknya masuk ke dalam mendahului Iren.

Setelah tiga jam, rasanya Iren benar-benar ingin meledak, melihat Alden masih belum pergi juga. Demi tuhan, memangnya cowok itu tidak bosan apa?

Baru kali ini Iren sangat sangat menyesalkan kenapa pemilik mini market ini menyediakan fasilitas kursi beserta meja, ah dan juga WiFi gratis. Kalau gini ceritanya itu orang nggak bakal pergi-pergi.

“Itu teman lo kan, Ren?” Windi yang tadinya biasa saja, sekarang malah jadi penasaran.

Iren menggeleng tegas, “Bukan. Bukan temen gue dia.” balas Iren.

Windi mengerutkan kening, tidak percaya. “bohong lo ya! Dari tadi doi liatin lo mulu.”

“Hah?” Iren terkesiap. Mencoba mengelak, “perasaan lo aja kali.”

“Lo pikir gue nggak liat apa lo tadi di boncengin dia.” sergah Windi. Iren tidak bisa mengelak lagi.

“Temen lo ganteng juga ya, Ren.” Windi senyum-senyum sendiri sambil ngeliatin Alden.

Iren berdecak. Ada apa dengan orang-orang? Kenapa semua bilang kalau Alden itu ganteng. Matanya udah pada katarak apa, nggak bisa bedain mana yang ganteng dan mana yang urakan. Windi dan Binar sama saja.

Windi tiba-tiba melotot, menatap Iren penuh selidik. “Atau jangan-jangan dia pacar lo, ya. Ngaku!”

Iren mengibaskan tangannya, “Bukan. Enak aja. Amit-amit deh jangan sampe. Makin ngaco lo.”

“Kenapa sih? Dia ganteng kok.” Windi memajukan bibirnya, “buat gue aja kalo lo nggak mau.” senyum Windi terbit dari bibirnya.

“Ambil deh ambil. Malah seneng gue.” kata Iren.

Kemudian tiba-tiba Alden mendekat, meletakan satu botol minuman dingin di atas meja kasir. Entah ini sudah botol keberapa yang cowok itu habiskan. Memangnya nggak kembung apa, minum mulu dari tadi? Pikir Iren.

“Tujuh ribu lima ratus.” Iren mendorong minuman itu ke arah Alden.

“Lo pulangnya masih lama?”

“Uangnya lima puluh ribu, ya. Jadi kembaliannya empat puluh dua ribu lima ratus.” Iren tidak merespon Alden sama sekali.

Cowok itu berdecak. “Masih dua jam lagi.” jawaban itu berasal dari Windi. Melirik ke samping, Windi sudah memasang senyum paling manis yang ia miliki.

Rasanya Iren ingin menendang Windi keluar dari sini. Kenapa di saat seperti ini ia tidak bisa diajak berkerja sama.

“Oh ya?” respon Alden. Kini cowok itu sudah beralih pada Windi. Mengulurkan tangan, “Kenalan dulu dong.” katanya.

Senyum Windi semakin lebar, menyambut uluran tangan Alden dengan cepat. “Gue Windi.” jeda sejenak, “Lo....?”

“Alden.” cowok itu menjawab.

Iren memutar bola matanya. Tidak habis pikir oleh sikap cowok yang ada di hadapannya ini. “Ngapain sih lo masih di sini? Balik sana.” Iren kesal.

Alden menaikan alisnya, “Gue kan udah bilang mau antar lo pulang. Jadi gue bakal tungguin sampai lo selesai dan bisa antar lo pulang sampai rumah.”

“Serah lo deh, serah.” ujar Iren.

Kemudian Alden menatap Iren lekat-lekat, “Ren...” panggilnya. Dari nadanya sih, kayaknya mau ngomong serius.

Iren mengernyit heran, sulit mengartikan tatapan Alden barusan. “Apaan?” tanya Iren.

“Jadi cewek gue, ya?”

Iren melongo. Windi yang di sampingnya juga ikut melongo. Itu barusan maksudnya Alden ngajakin Iren pacaran? Nembak? Yang kayak orang-orang itu? Nggak waras! Sepertinya Alden baru saja kesambet setan, atau jin, atau entah apapun itu. Makanya dia semakin gila. Dan yang lebih gila lagi, mendadak jantung Iren terpacu jadi lebih cepat. Kampret Alden!









(A/N)

Kalian tim Alden atau tim Agam? Jangan lupa vote dan komen ya...

Better With YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang