1. Iced Shaken Lemon Tea

54.6K 4.4K 1.1K
                                    

Usai menutup pintu mobilnya di pelataran parkir bandara, Eki mengeluarkan ponsel dan mengirimkan pesan singkat ke orangtuanya. Tugasnya hari ini adalah menjemput Mami dan Papi dari luar kota, menggantikan Pak Misdi yang tidak masuk lantaran istrinya sedang melahirkan.

Setelah pesan darinya terkirim, Eki berjalan ke kafe untuk membunuh waktu. Dari pada diam saja berdiri di pintu kedatangan, lebih baik bersantai di tempat yang nyaman. Maka ia mendatangi salah satu kafe dan berdiri di depan kasir, mengeluarkan dompetnya sembari menyebutkan nama minuman yang ia mau.

"Venti teavana green tea pakai vanilla syrup sama lemon."

"Atas nama siapa, Kak?"

"Ake."

"Sorry?"

"Eki."

Sambil menunggu pesanannya di meja pengambilan, laki-laki itu tersenyum mengingat salah satu sahabatnya, Gilang, pernah memanggilnya Ake pada suatu malam selepas mereka berempat mabuk di tempat  sahabatnya yang lain, Rafi. Bertiga, sih, yang mabuk. Eki masih cukup sadar mengingatnya sebelum ia harus mencuci rambut Rafi dengan deterjen karena sahabatnya lagi yang lain, Evan, ternyata muntah. Eki tidak bisa membedakan yang mana botol deterjen dan botol shampoo, semuanya warna hitam polos. Besok siangnya Rafi baru sadar rambutnya wangi aneh.

Di tengah-tengah ingatannya itu perhatian Eki teralihkan oleh suara seorang perempuan yang berdiri di depan mesin kasir dengan rambut panjang sepunggung. Wajahnya tidak terlau kelihatan karena ia sibuk menunduk mencari sesuatu dalam tasnya. Tapi yang menarik, ternyata perempuan itu memesan pesanan yang sama tanpa melihat papan menu di belakang. Seolah menu itu adalah minuman andalannya. Minuman andalannya yang sama seperti minuman andalan Eki kalau lagi kegerahan.

"Ukurannya Kak?"

"Venti."

"Atas nama?"

Eki memasang telinganya dengan tajam, perlahan berpindah posisi agar suaranya dengan jelas terdengar.

"Gia."

"Dia?"

Perempuan itu terkekeh. "Messa aja. Double S."

"Oh oke, sorry ya Kak Messa."

"Nggak apa-apa."

Eki samar-samar menahan senyum.

Perempuan itu kemudian memberikan uang seratus ribu dan memasukkan seluruh kembaliannya ke kotak tip, membuat Eki yang diam-diam memerhatikan sedikit terkejut dan... kagum. Jarang sekali ia melihatnya di Indonesia. Pernah, sih, beberapa kali itu juga. Tapi seperti yang dilakukan Gia tadi? Bisa dihitung pakai jari. Ketidak raguannya itu, loh.

"Silakan tunggu ya Kak."

Gia kemudian bergeser ke sebelah Eki, melempar senyum sekilas ketika ia sadar Eki memerhatikan dan kembali mencari sesuatu dalam tasnya. Ia kelihatan panik, tapi berusaha menyembunyikan kepanikan itu. Eki yang tidak enak memerhatikan terus jadi berpaling melihat-lihat keluar. Padahal tidak ada yang menarik. Tangannya lalu merogoh ponsel di saku dan tentu saja, ia harus memberi tahu di grup!

Akemi Widjaya: Kayaknya jodoh gue udah dekat deh

Gilang: Gimana?

Evan B Saputra: Hah?

Akemi Widjaya: Bercanda deng. Gue lagi di starbucks terus ada cewek pesanannya sama kayak gue huhu jadi terharu

Gilang: Lemon tea vanilla syrup?

Akemi Widjaya: Iya!!!

Rafi Akbary: Gue juga pernah pesen kayak gitu kayaknya ga berjodoh juga sama lo

Evan B Saputra: Wkwk itu kan ada di menu board anjing. Semua orang bisa pesen

Akemi Widjaya: Sama persis sampe ukurannya!! Terus sekarang orangnya lagi nunggu pesanan di sebelah gue

Gilang: Kok ga duduk?

Akemi Widjaya: Gapapa

Gilang: Buru buru kali ya jadinya mau langsung cabut

Eki tertegun membaca pesan itu. Benar juga, ya? Jangan-jangan Gia langsung pergi setelah dapat minumannya? Eki harus melakukan sesuatu sebelum mereka berpisah. Tapi sebenarnya Eki juga tidak ingin tiba-tiba mengajak kenalan. Kan... aneh? Sok asik. Eki tidak mau jadi orang sok asik.

"Kak Eki?"

"Eh, iya. Makasih ya."

Eki meraih gelas eh teh lemonnya dan mengambil sedotan stainless yang selalu ia bawa di dalam tas. Hadiah dari Evan, supaya jadi orang peduli lingkungan. Laki-laki itu menusuk bagian atas gelasnya sebelum meminum seteguk. Kakinya masih menopang tubuhnya di depan meja tunggu, belum beranjak meski pesanannya sudah di tangan.

"Save the turtle ya?"

Suara Gia yang terdengar dari arah kanan membuat Eki buru-buru menjauhkan sedotannya dari bibir dan terkekeh. "Hehe, iya. Hadiah dari temen." Dan ia baru sadar bahwa mata Gia terlihat sembab.

"Tapi gelasnya masih plastik."

"Iya gapapa, kan pelan-pelan. Kalau langsung ganti nanti kaget."

"Siapa yang kaget?"

"Turtle-nya."

Dengan sisa kesedihan yang samar-samar terpancar dari matanya, Gia terkekeh mendengar lelucon dari Eki.  "Eh sori ya gue jadi sok asik. Sori sori."

"Eh gapapa kok," Eki bersemangat. Seluruh organ dalam tubuhnya bertepuk tangan atas keberhasilan dari terciptanya obrolan ini. "Gue Eki by the way." Tangannya terulur. "Akemi, tapi dipanggilnya Eki."

"Gia."

"Gia?" ulang Eki.

"Iya. Ge, i, a."

"Kak.. Messa?" seoarang barista memberikan gelas pesanan Gia dan tersenyum ramah setelahnya.

"Iya. Makasih..." Gia mengambil gelas itu, lalu membuka bungkus dari sedotan yang sudah disediakan sebelum menusukkannya. "Sedotan gue hilang, jadi tetep pake ini deh."

"Oh, dari tadi tuh nyariin sedotan?"

"Merhatiin ya?"

"Sori..."

Gia terkekeh lagi. "It's okay. Duluan ya, Eki. Gue udah dijemput."

"Iya, hati-hati." Ah, sial. Bener apa kata Gilang! "Eh ngomong-ngomong," ujarnya sebelum Gia sepenuhnya berbalik badan. "Senyebelin kedengarannya, tapi... gue boleh minta Instagram lo nggak?"

"Oh, lo main Instagram?"

"Emangnya lo enggak?"

"Jarang."

"Uh.. yaudah deh apa aja supaya bisa kontakan."

Gia malah tertawa. "Beneran senyebelin kedengarannya, ya."

"Soriiiii..." Eki harus menahan malu. Pasti barista di belakang diam-diam menyimak obrolan ini. "Kalau nggak mau nggak apa-apa kok, nggak maksa."

"It's my name."

"Gia aja?"

"Find out the rest, ya. Gue udah dijemput, byeee!" Langkah Gia membawa tubuhnya keluar dari kafe dan rambutnya yang hitam kecokelatan kelihatan sangat sehat sampai Eki heran kenapa ia bisa sampai berpikir begitu. Laki-laki itu menyeruput minumanya sekali lagi, termenung memikirkan apa yang barusan terjadi? Eki, mengajak kenalan perempuan yang tidak pernah ia temui sebelumnya? Ah, kayak fuckboy, batinnya.

"Gia Messa mungkin Kak." Barista yang dari tadi menyimak tiba-tiba mendekati Eki sambil memerikan tisu. "Coba aja."

Bangsat, malu banget!

***

Menu ini beneran bisa kalian pesan di Starbucks ya! Ini juga salah satu minuman kesukaan aku kalau lagi mau yang seger-seger. Hehe. Fun fact aku bahkan minum minuman itu pas lagi nulis bab pertama cerita ini.

The Art Of Letting Go (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang