10. Keras Kepala

16.9K 2.1K 358
                                    

Eki bersandar di sebelah jendela kamarnya, memandang ke halaman rumah yang hijau dihiasi banyak tanaman. Rumputnya bagus terawat, setiap pagi disirami dan dibuang-buang daun yang sudah mati. Tapi bukan tentang tanaman-tanaman itu yang Eki pikirkan, bukan tentang daun-daun yang mulai kekuningan dan bunga-bunga yang berguguran. Bukan tentang mawar kesukaan ibunya yang merah merekah di pot yang berjejer. Bukan tentang kaktus tinggi dan semak-semak yang diguntingi setiap tiga hari sekali. Eki diam memikirkan pertemuan terakhirnya dengan Gia, bagaimana sebuah aliran yang ganjal menyengat hatinya.

Dua hari ini Eki sering menghabiskan waktu mencari jawaban yang tidak pernah ditanyakan siapa-siapa. Apa dia mulai menyukai Gia? Tapi apa yang ia tahu dari perempuan itu? Bagaimana bisa ia menyukainya?

"Udahlah udahlah," suara Evan memecah keheningan. Kehadirannya sudah ada di rumah itu sejak pukul sebelas siang tadi dan tentu saja ia disuruh makan siang oleh Mami. "Sejak kapan lo hobinya nyender sambil ngeliatin keluar jendela gitu? Bikin video clip lo?"

"Yeh, tai lo." Eki membenarkan posisinya dan berpindah duduk di bangku. 

"Jadi gimana? Udah tau dia siapa?" Evan kembali merebahkan diri di atas kasur. Tidak biasanya Eki memikirkan hal-hal sejenis ini. Biasanya posisi terbalik, biasanya Eki yang tidur-tiduran di kamar dan menanggapi setiap kegalauan yang ia, Gilang, atau Rafi rasakan. Biasanya Eki yang suka menarik-narik mereka kembali ke akal sehat masing-masing.

Eki melirik sahabatnya. "Gue nggak dapet jawaban apa-apa soal Reno itu."

"Feeling gue sih itu mantan pacarnya."

"Tapi sampe ngigo gitu sih?"

"Baru putus kali?"

"Shit."

"Terus gimana?"

"Kok jadi lo yang nanya gimana?"

"Iya juga ya."

Eki menghela napas berat. "Parah dia nangis banget kemarin pas gue tanya."

"Kejer?"

"Sampe gue buatin teh."

Evan tak sengaja menyemburkan tawa dan buru-buru ia menutup mulutnya.

"I know." Eki setuju atas respon itu. "Tapi kalau lo di posisi gue, gue yakin lo bakal ngelakuin lebih. Bisa-bisa lo meluk dia atau lo ajak keliling dunia." Ujarnya, sesuai dengan sifat Evan yang sangat ia kenal.

"Nggak ke partner FWB gue, sih."

Eki berdecak. "Ujung-ujungnya gue cerita tentang lo semua, satu-satu."

"Gue juga?"

"Iya, lah."

"Sialan."

"Tapi dia terhibur."

"Abis itu?"

"Abis itu apa?"

"Ya abis itu gimana?"

"Abis itu gue tidur. Ngapain lagi?"

"Nggak, maksud gue, dia nggak gantian cerita?"

Eki menggeleng, mengenang momen saat ia merasa aliran aneh itu menyambar hatinya. Tapi Eki masih belum ingin menceritakan kepada siapa-siapa. Ia tidak ingin jika diucapkan, perasaan tersebut jadi bertumbuh semakin besar.

"Yaudah, nggak apa-apa. She doesn't owe you."

"Iya gue paham." Eki ikut duduk di kasurnya. "Cuma penasaran aja."

"Hati-hati."

"Hati-hati kenapa?"

"Hati-hati aja." Ucap Evan seakan pesannya mengandung makna yang lebih dalam.

The Art Of Letting Go (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang