Eki baru mendapatkan pesan dari Gia keesokan harinya. Perempuan itu meminta maaf dan berterima kasih atas kejadian kemarin. Ia tidak bermaksud merepotkan, dan Gia sekalian menjelaskan bahwa itulah yang terjadi jikalau ia membiarkan dirinya minum terlalu banyak.
Setelah percakapan mereka usai Eki masih punya pertanyaan yang belum terjawab. Tapi ia tidak cukup berani untuk mengutarakannya. Sebenarnya apa yang terjadi pada perempuan itu hingga ia bisa berada pada keadaan demikian? Apa ada kaitannya dengan mantan kekasihnya itu?
Eki masih ingat dengan jelas Gia memanggil nama Reno hari itu.
Setelah mencuci piring bekas makan malam bersama ketiga sahabatnya, Eki kembali ke kamar. Di kasur sudah ada Evan dan Gilang, sementara Rafi sedang bicara di telepon sembari merokok di balkon depan ruang televisi. Eki membuka balasan pesan dari Gia yang masuk tiga menit lalu.
Gia: Gue di apartemen Ki, kenapa?
Eki: Enggak apa-apa, nanya aja.
Gia: Lo nginep di sana?
Eki: Enggak tau. Kalo males pulang, iya
Lema menit berlalu pesannya tak berbalas lagi. Eki sempat putus asa karena sejujurnya ia ingin berbincang dengan perempuan itu. Lalu sedetik berikutnya, ponsel Eki berdenting. Pemberitahuan yang muncul di bagian atas layarnya menampilkan pesan dari Gia.
Sini.
Eki tidak punya alasan untuk berkata tidak. Pukul sebelas malam Eki tiba di apartemen Gia. Jantungnya berdebar-debar di sepanjang jalan, entah karena ia tahu pertemuannya akan berujung pada kegiatan mereka di atas ranjang seperti kemarin-kemarin atau karena alasan lain. Tapi bukan itu intinya, kan?
Jantungnya berdebar-debar!
Eki berdiri di depan pintu yang terbuka dan memandang Gia yang dibalut daster hitam bercorak putih. Ia tertegun sejenak memandangi perempuan di hadapannya.
Gia potong rambut.
Perempuan itu kelihatan sangat berbeda dengan rambutnya yang lebih pendek. Beberapa helai poni yang menutupi hingga di bawah alis membuat wajah Gia terlihat lucu. Eki tidak sadar ia menahan napasnya. Gia sangat menawan.
"Kapan—"
"Hari ini," potong Gia yang sudah tahu apa yang ingin Eki tahu.
"Bagus."
"Thanks."
"Cantik."
Gia tersenyum dan menyuruhnya masuk serta menutup pintu, dan setelah mereka berdua berada dalam ruangan, Gia berdiri di depan konter dapur untuk membuatkan cokelat panas. Cokelat kemasan, yang tinggal diseduh air. Maksudnya adalah supaya Eki berlama-lama, meminum suguhannya dan mereka bisa ngobrol. Tetapi sebelum Gia membuka pintu lemari, ia merasa tangannya ditahan.
Eki menarik perempuan itu ke dalam rengkuhannya, memeluknya begitu erat sampai ia bisa mencium aroma rambut Gia yang hampir mendekati aroma stroberi. Wajahnya menempel di sisi kepala perempuan itu dan jantungnya belum juga berdetak normal. Sesuatu terjadi dalam dirinya ketika ia memeluk Gia. Eki tidak tahu apa namanya.
"Ki—"
"Sebentar," ucap Eki tanpa melepaskan tangannya.
"Lo kenapa?" Nada kekhawatiran tersirat di pertanyaan Gia. "Lo nggak apa-apa?"
KAMU SEDANG MEMBACA
The Art Of Letting Go (SELESAI)
Romance⚠️🚫 Cerita ini mengandung unsur dewasa (21+). Please be wise! 🚫⚠️ Tidak seperti sahabat-sahabatnya yang lain, Eki lebih sederhana jika diajak berpikir soal cinta. Ia bukan orang yang suka dengan hal-hal runyam, apa lagi jika sampai mempersulit di...