Eki duduk melingkar bersama ketiga sahabatnya di atas karpet sambil menunggu giliran mengocok dadu. Sejak setengah jam lalu, mereka asyik bermain monopoli sambil menunggu pesanan makanan datang. Eki baru bangun dari tidurnya pukul sebelas siang—itupun karena dipaksa main oleh Gilang—sebab semalam ia terjaga sampai pukul tiga dini hari. Setelah pulang dari apartemen Gia, Eki memikirkannya seharian.
"Jiwa lo ini beneran ketinggalan entah di mana ya Ki?" Rafi yang duduk di hadapan Eki mulai memerhatikan sahabatnya yang sejak tadi banyak melamun. "Kenapa sih lo?"
Evan dan Gilang yang duduk di sebelahnya menoleh ke arah yang sama. "Tidur jam berapa Ki? Pas gue kebangun itu lo masih main PS gue liat," ujar Evan.
"Jam tiga kayaknya, enggak tau nggak liat jam." Eki mengambil dadu yang Evan beri dan melemparkannya ke tengah-tengah. "Empat. Satu, dua, tiga, empat," gumamnya seraya memindahkan pion miliknya.
"Tahajud lo bangun sepertiga malam?" tanya Gilang kepada Evan yang hanya direspon senyum paksa. Candaannya kurang lucu.
"Eh!" Rafi melemparkan satu kacang yang belum dibuka ke arah Eki yang kelihatan lesu. "Kenapa sih lo? Takut dah gua. Dari kemaren pas balik dieeeem aja kayak orang diapa-apain."
"Tau, biasanya pecicilan. Lo nggak enak badan ya?" Gilang menyenggol sahabatnya, sekalian ingin tahu kalau suhu badan Eki panas atau tidak.
"Enggak. Cuma ngantuk."
"Yah, elah." Evan mengubah posisi duduknya. "Ni abang ojol kalo dateng terus liat muka lo juga tau dia elo ngantuk. Tapi lo udah meneng aja dari kemarin."
Rafi mengangguk setuju. "Tau lo Ki. Lagian emangnya lo pikir kita main monopoli biar apa?"
"Biar kaya," sahut Gilang.
"Hah? Emang uangnya beneran—"
"Ya biar kita ngobrol dooong elo kenapeee!" potong Gilang yang mulai gemas dengan sahabat di sebelahnya. "Gue jual juga nih semua harta gue."
"Gia ya?" tembak Evan.
"Kagak."
Rafi yang melihat jelas gelagat Eki di hadapannya tiba-tiba tertawa dan geleng-geleng kepala. "Seneng banget gue sama lo dah. Orang paling nggak bisa bohong. Masuk surga lo Ki."
Evan dan Gilang tertawa, juga setuju dengan apa yang Rafi ucapkan. Eki memang yang paling tidak bisa bohong soal serius. "Bentar deh," ucap Gilang yang mulai menyadari satu hal. "Ini jarang banget tau Ki terjadi, malah gue baru nyadar ini pertama kalinya. Ya ga si?" Gilang memastikan kepada teman-temannya. "Sekarang kayak lagi giliran lo gitu."
Rafi manggut-manggut memahami yang Gilang maksud sebelum ikut bicara. "Kalau ada apa-apa, cerita, Ki."
Evan mengangguk juga, setuju.
"Ya paling diledekin dikit," sahut Rafi anteng, dan ucapan itu lagi-lagi disetujui Evan dengan anggukan. "Kita kan jarang ngumpul sekarang, huhu sad." Suaranya dibuat-buat. "Mumpung masih liburan dan sering main, kan enak ceritanya nggak lewat hape."
"Aduh gue nyalain backsound yang sedih-sedih dulu apa?" timpal Evan.
"Hahaha apaan sih?" Eki menggaruk kepalanya. "Nggak ada yang mau gue ceritain, biasa ajeee gue cuma capek kemaren jadi diem aja. Sekarang juga gue ngantuk."
Gilang menghela napas. "Ki—"
"Yaudah," Evan menyudahi paksaan dari teman-temannya itu sambil sekilas menatap Gilang dan Rafi bergantian. "Yaudah nggak apa-apa, bagus kalo lo nggak kenapa-kenapa."
Mendengar Evan bilang begitu, Eki menatap ketiga sahabatnya dan menimbang-nimbang sendiri. Sekilas ia senang merasa seperti memiliki tiga kakak yang begitu memerhatikan perubahan kecil. Benar yang Gilang katakan. Selama ini dirinya adalah yang paling berisik, yang paling keras suaranya kalau menyahuti cerita orang. Sekarang saat ia diam dan gelisah, jelas semua orang jadi curiga. Selain itu, memang tidak ada lagi orang yang lebih dekat dengannya dari pada ketiga orang yang sedang duduk di sekitarnya. Kepada siapa lagi ia harus memberitahu kegelisahanya?
KAMU SEDANG MEMBACA
The Art Of Letting Go (SELESAI)
Romance⚠️🚫 Cerita ini mengandung unsur dewasa (21+). Please be wise! 🚫⚠️ Tidak seperti sahabat-sahabatnya yang lain, Eki lebih sederhana jika diajak berpikir soal cinta. Ia bukan orang yang suka dengan hal-hal runyam, apa lagi jika sampai mempersulit di...