"LO APA?"
Suara Rafi dan Gilang yang histeris ketika mendengar Eki cerita—untuk yang kedua kalinya karena Eki sudah lebih dulu menceritakannya kepada Evan—membuat laki-laki itu menutup telinga dan memejamkan matanya sejenak. Reaksi Gilang dan Rafi sangat berlebihan. Berbeda dengan Evan yang hanya sempat tersedak dan minta Eki mengulang yang sebelumnya ia katakan.
"Aduh udahlah, nggak usah lebay banget gitu." Eki garuk-garuk kepala. "Gue sekarang bingung nih harus apa."
"Yah kalau gue jadi Eki gue juga nggak tau harus apa," tambah Evan.
"Menang banyak dah lu."
"Tapi gue salah nggak sih?"
"Ya... enggak juga." Rafi berpindah tempat. "Lo kan belum terlalu kenal sama Gia, Ki. Lo nggak tau apa yang dia alamin sebelum ketemu lo, kan?"
"Wait," Gilang tiba-tiba menegakkan posisi tubuhnya. "Jangan-jangan... itu pertama kalinya Gia—"
"Enggak mungkin." Evan, Eki dan Rafi serempak membantah kecurigaan itu.
"Ya mana ada yang tau?"
"Nggak mungkin lah." Evan menekankan lagi. "Dari ceritanya Eki juga udah bisa ditebak."
"Terus sekarang gue mesti gimana?"
"Tunggu aja nggak sih? Paling ntar dia ngehubungin lo kalau masih," Gilang memberi jeda. "Pengen berhubungan."
Rafi mengernyit. "Berhubungan dalam artian?"
"Ya in general. Kalau mau merinci lagi bisa berangkat dari situ."
"Emang lo mau temenan Ki, sama Gia?"
"Kenapa enggak?"
"Lo yakin?" tanya Gilang agak khawatir.
"Iya, kenapa enggak?"
Gilang, Rafi dan Evan terdiam, bertukar pandang seolah mereka punya kesepahaman bahwa hubungan yang akan terjalin di antara Eki dan Gia bisa menjadi sebuah kerumitan. Dan mereka tahu sahabatnya itu tidak suka hal-hal yang rumit. Kecuali, jika hubungan mereka hanya sebatas di atas ranjang.
Tapi tidak ada yang bisa menjamin, kan?
***
Tak terhitung sudah berapa kali Eki sempat hampir mengirim pesan lewat Instagram kepada Gia atau sekadar membalas Instatsory-nya. Tapi semua itu hanya hampir, dan seperti yang kita semua tahu, hampir tidak akan pernah cukup.
Eki menghela napas sebelum melempar ponselnya sembarangan ke kasur dan mengusap wajahnya. Bayangan tentang Gia pada malam itu tidak mau hilang dari dalam kepala. Ada sesuatu tentang dirinya yang tidak sama seperti perempuan lain yang pernah Eki tiduri. Seks mereka bukan sekadar memuaskan hasrat dan Eki bisa merasakannya. Mereka tidak terburu-buru, dan Gia selalu mendekapnya erat. Akan terkesan berlebihan jika Eki sampai bilang ia tidak pernah merasakan yang seperti ini sebelumnya, namun Eki tidak membantah juga jika ada yang mengungkapkan kalimat itu untuknya.
Gia memang tidak sespesial itu, tapi ada sesuatu yang mampu membuat Eki tidak bisa diam saja. Rasa penasaran dalam dirinya mulai merekah seperti bunga yang habis dipupuk. Semakin lama Eki semakin ingin tahu. Ada banyak pertanyaan yang timbul setelah ia bertemu Gia.
Dari mana? Siapa? Dan kenapa?
Tak ada satupun yang sudah terjawab.
Selama dua hari setelah terakhir kali mereka bertemu, Eki tidak mendapatkan apa-apa dari Gia. Tidak dalam bentuk pesan ataupun unggahan di media sosial. Eki semakin ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi dengan perempuan itu, dan ia semakin kesal karena tidak tahu harus menghubungi lewat mana.
Sial, seharusnya ia minta nomor Gia.
Akhirnya, Eki memutuskan untuk pergi dari rumah. Ia tidak ingin terkurung dalam pikirannya sendiri. Mobilnya melaju menuju apartemen Rafi tanpa mengetahui ada siapa saja di sana. Kalau tidak ada Gilang dan Evan, Eki paling hanya menumpang malas-malasan dan tidur sampai nanti malam. Ia butuh sesuatu untuk mengalihkan pikirannya dari perempuan yang baru ia kenal kurang dari seminggu. Eki harus melakukan hal lain.
"Yang lo pikirin apa sih emang?"
Rafi yang baru bangun tidur dan hendak ke dapur, melewati ruang tengah dengan penampilan yang berantakan. Ia melihat Eki sudah rebahan di sofa dengan dompet dan kunci mobil yang terserak di atas meja. Laki-laki itu menghela napas, menyadari bahwa sahabatnya itu sudah terseret semakin jauh.
"Nggak ada."
Rafi meneruskan langkahnya ke dapur untuk mengambil air dingin. "Udahlah, hubungin duluan!" teriaknya.
"Nggak ah."
"Gengsi?"
"Takut."
"Takut apaan?"
"Takut aja."
Rafi keluar dari dapur dengan gelas air di tangan kanannya. Ia bersandar. "Ngapain takut sih?"
Eki diam sejenak, menghela napas dan memikirkan lagi pertanyaan sahabatnya itu. Ada satu hal yang tak biasanya ia alami setelah tidur dengan seorang perempuan. Kali ini ia berterus-terang.
"Gue kepikiran Gia terus."
Rafi perlahan menghentikan tegukannya dan menatap Eki dari balik gelasnya sebelum ia kemudian bicara.
"Lo naksir sama dia ya?"
"Nggak, bukan," Eki buru-buru membantah.
Alis Rafi terangkat sebelah meminta penjelasan lebih.
"Nggak tau tapi gue yakin sih bukan."
Rafi masih diam, dan kebisuannya itu berhasil membuat Eki mati gaya.
"Gue cuma penasaran."
"Ya penasaran kenapa?"
Eki menghela napas sembari memikirkan kata-kata yang pas untuk menjelaskan kepada sahabatnya. Rasa penasaran yang ia punya sudah dibentuk sejak pertemuan pertama mereka di bandara. Menumpuk pada pertemuan kedua, dan sejak saat itu Eki tak bisa mengabaikannya begitu saja. Tapi belum sempat mulutnya terbuka, ia mendapati ponselnya berdenting. Sebuah pesan masuk di akun Instagramnya.
Pesan itu dari Gia.
"Shit," bisiknya spontan.
@giamessa: Ki, can i have ur number?
"Bangsat, dia minta nomer gue!"
Rafi buru-buru melihat isi pesannya. "Terus gimana?"
"Ya gue kasih." Eki segera menjawab pesan itu dengan dua belas digit nomernya, tanpa menambahkan kata apapun. Pesannya langsung terbaca dalam hitungan detik, kemudian Eki menunggu balasan selama hampir satu menit. Tapi tidak ada pesan yang masuk lagi. Dan hal berikutnya yang Eki tahu, Instagram Gia tiba-tiba menghilang.
"Damn Instagramnya hilang lagi."
"Gia?"
"Iya."
"Pantesan dia minta nomer lo." Ujar Rafi. "Ki! Berarti..."
***
KAMU SEDANG MEMBACA
The Art Of Letting Go (SELESAI)
Romans⚠️🚫 Cerita ini mengandung unsur dewasa (21+). Please be wise! 🚫⚠️ Tidak seperti sahabat-sahabatnya yang lain, Eki lebih sederhana jika diajak berpikir soal cinta. Ia bukan orang yang suka dengan hal-hal runyam, apa lagi jika sampai mempersulit di...