Gia sudah tahu banyak soal mengikhlaskan seseorang. Ia belajar dari perpisahan kedua orangtuanya dan ketika Mama meninggal dunia. Namun entah mengapa saat Reno benar-benar pergi dari hidupnya, melepas laki-laki itu tidak semudah yang ia kira. Untuk tidak mengingat segala bentuk kebaikan Reno sekaligus kekejiannya adalah hal yang nyaris tidak mungkin. Ke manapun ia pergi, isi kepalanya selalu melangkah ke sana.
Belum selesai merayakan perpisahan dengan mantan kekasihnya, Gia harus memenuhi undangan perayaan yang lain. Ada yang hilang ketika punggung Eki menjauh hari itu. Hari-hari berikutnya begitu sunyi, kamarnya terasa kosong, Gia mulai kesepian.
Dan rasa kesepian itu adalah hal yang paling berbahaya.
Entah sudah yang keberapa kali Gia menangis. Kali ini sampai memegangi dadanya yang seperti terhimpit. Tubuhnya meringkuk di sisi kiri ranjang seperti bayi dalam kandungan. Air matanya deras. Ia ingin sekali segera beranjak dari perasaan yang menjeratnya dalam kesengsaraan. Malam-malamnya lebih gelap dari langit yang menaungi, tak ada yang mengawaninya lagi.
Sekarang Gia benar-benar sendiri.
***
"Menurut lo gue egois, ya?"
Kehilangan Gia rasanya seperti bangun dari mimpi indah di dalam kamar yang gelap. Serta merta semuanya lenyap, tidak ada yang bisa diraih. Sejak keputusan di kafe hari itu, Eki tidak pernah lagi berhubungan dengan Gia. Tidak lewat pesan apa lagi telepon. Bahkan media sosial perempuan itu juga sepertinya sudah ditinggalkan. Eki tidak menemukan apapun yang baru. Akibatnya, obrolan terakhir mereka pada saat itu masih terekam jelas di kepala Eki hingga saat ini.
Terkadang ia merasa dirinya tak pantas mengatakan semua yang telah ia katakan kepada Gia—apa haknya minta dicari? Ia juga banyak merenung soal ungkapan perasaannya kepada perempuan itu. Betapa cerobohnya dia. Jika Eki tidak mengatakan bahwa ia jatuh cinta, mungkin sekarang keadaannya tidak begini.
Tapi sebenarnya, apa, sih, yang perlu disesali? Eki tidak bisa menarik kata-katanya dan mengembalikan hubungan mereka seperti kemarin-kemarin. Barangkali memang terkesan gegabah, tapi Eki setidaknya tidak ada kebohongan pada ucapannya.
Pukul sepuluh pagi sepulang dari tempat tinggal perempuan yang Eki lupa namanya, ia langsung naik ke kamar dan mengunci pintu. Langit di luar agak mendung. Kunci mobilnya terlempar ringan ke meja yang merapat ke dinding, dan Eki mengeluarkan seluruh isi saku celananya. Ia memeriksa ponsel, sedikit banyak berharap ada satu nama spesifik yang muncul di sana. Tetapi sama seperti sebelum-sebelumnya, harapan hanyalah harapan.
Baju yang ia kenakan jatuh ke lantai satu persatu sebelum kakinya naik ke bak mandi yang sudah terisi air hangat. Seluruh bagian tubuhnya terendam kecuali kepala dan ujung-ujung jemari kakinya. Saat membiarkan otot-otot badannya rileks dan mencoba memejamkan mata, obrolannya bersama Evan tempo hari lagi-lagi berputar di kepala.
Mereka berdua berada di perjalanan pulang, beberapa hari setelah Eki bertemu Gia di kafe waktu itu.
"Menurut lo gue egois, ya?"
"Bagian yang mana?" Evan mengemudi.
"Bagian yang..." Eki menatap lurus ke jalanan di hadapannya. "Menurut lo gue egois di bagian yang mana?"
"Yang pertama," jawab Evan. "Yang kedua juga, sedikit. How long are you gonna wait, though?"
Terjadi jeda yang cukup lama.
"Gak tau."
"Dan ketika lo bilang lo akan nunggu, itu artinya lo akan benar-benar nunggu dia, atau karena... lo berusaha meyakinkan Gia kalau lo sedang bersikap genuine?" Evan mulai mengulik. "Supaya dia luluh."
KAMU SEDANG MEMBACA
The Art Of Letting Go (SELESAI)
Romance⚠️🚫 Cerita ini mengandung unsur dewasa (21+). Please be wise! 🚫⚠️ Tidak seperti sahabat-sahabatnya yang lain, Eki lebih sederhana jika diajak berpikir soal cinta. Ia bukan orang yang suka dengan hal-hal runyam, apa lagi jika sampai mempersulit di...