18. Terlanjur

12.8K 1.4K 203
                                    

Sebenarnya Gia sudah bisa menebak apa yang hendak Eki katakan malam itu, namun ia bersikap seolah tidak mendengar untuk menghindari kecanggungan yang dapat terjadi. Gia hampir akan mengakhiri percintaan mereka sebelum Eki ternyata yang lebih dulu menghentikannya. Untuk itu, Gia sangat bersyukur. Ia menghargai sikap Eki yang tidak memanfaatkan keadaan serta tidak memilih untuk menjadi egois.

Setelah Eki pulang dan pintu apartemen tertutup, Gia terdiam cukup lama sembari bersandar di belakang pintu. Tatapannya kosong. Ia berusaha memahami perasaannya yang berkerubung di dada. Lama-kelamaan Gia terduduk. Tangannya terlipat di atas lutut dan ia menopangkan beban kepalanya di sana. Rambutnya yang berantakan berjuntai bebas hingga sebagian wajahnya tak kelihatan.

Gia mulai kehilangan kekuatan untuk berpikir lebih lama. Tak kuasa ia menitihkan air mata. Gia menangis di dalam kamarnya, sendirian, semakin lama semakin deras. Gia menangis kerena perlahan ia mengerti bahwa dirinya sedang tidak kuasa untuk menerima Eki, dan ia sadar cepat atau lambat mereka akan berpisah. Dengan begitu, Gia akan kembali sendiri.

Dan ia belum pernah sendiri sejak hubungannya dengan Reno berakhir.

***

Pukul sebelas malam Eki memutuskan untuk tidak menuntaskan film yang ia tonton dan menutup laptopnya. Lama-kelamaan ia dilahap habis oleh kesunyian di tengah-tengah kamar. Sembari mengecek kembali ponselnya, lagi-lagi ia menemukan bahwa Gia masih belum menghubunginya sejak tadi pagi.

Apa yang terjadi semalam masih terekam jelas dalam memori ingatannya. Rambut Gia yang harum, garis wajahnya, lekuk tubuh perempuan itu, hingga sorot mata Gia saat mereka saling tukar pandang. Eki masih dapat merasakan jantungnya yang berdebar dan aliran darahnya yang deras ketika ia hendak erterus-terang. Tapi... apa Gia benar-benar tidak mendengarnya?

Atau barangkali... Gia hanya berpura-pura?

Berengsek!

Tidak seharusnya Eki bicara seperti itu. Sekarang apa yang bisa Eki perbuat? Ia mengambang di tengah-tengah ketidakjelasan. Eki mulai takut. Keadaan sudah terlalu rumit baginya untuk bisa lebih rumit dari ini.

***

Hari-hari berikutnya tepat seperti apa yang Eki duga, ia tidak mendengar kabar dari Gia. Tidak ada unggahan baru di media sosialnya, tidak ada pesan masuk, apa lagi panggilan suara. Berarti jelas sudah, Gia pasti dengar apa yang Eki katakan malam itu.

Entah sudah berapa kali Eki mengurungkan niatnya untuk menghubungi duluan karena tidak ingin membuat hubungan mereka semakin rumit. Barangkali Gia memang tidak ingin berhubungan dengannya untuk saat ini. Barangkali Gia butuh waktu untuk berpikir. Ah, sial! Tapi apa yang Gia pikirkan?

Eki berusaha mengumpulkan keberanian untuk langsung mengajak perempuan itu bertemu, sebab apa lagi yang bisa ia lakukan selain mempertegas hubungan mereka? Nasi sudah menjadi bubur. Ia tidak bisa lagi menarik kata-katanya. Jika Gia tidak menginginkan hubungan yang serius, mereka bisa bernegosiasi. Eki mau menemani Gia dalam hari-harinya yang sempit. Gia butuh seseorang untuk membantunya sembuh dari luka masa lalunya—atau paling tidak untuk melarikan diri sejenak dari kepedihan yang tiba-tiba hadir, dan Eki bersedia untuk mengambil peran itu. Ia sudah tenggelam nyaris terlalu dalam.

Tanpa membuang waktu lagi laki-laki itu lantas beranjak dari kasur Rafi yang sejak semalam ia tempati. Rafi yang sedang menunggu game-nya selesai load di depan komputer, menoleh sejenak.

Eki lalu bersuara. "Gue tau lo semua udah tau kalau gue suka sama Gia."

Rafi membuka headset untuk mendengar ucapan Eki dan mengangguk perlahan. Ia agak bingung mengapa Eki tiba-tiba mengatakan itu. Padahal mereka tidak pernah membicarakan soal perasaan Eki secara terang-terangan di hadapan orang yang bersangkutan, karena sebenarnya Rafi pun tahu dari Evan.

The Art Of Letting Go (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang