19. Sepertinya Tidak Mungkin Jika Sekarang

13.4K 1.5K 275
                                    

Di sudut café bilangan Jakarta Pusat, Eki duduk berhadapan dengan perempuan yang dibalut gaun santai berwarna hitam. Dua gelas kopi susu tersedia di meja, langit agak mendung, dan suara obrolan dari berbagai arah mengisi kekosongan di antara mereka. Eki tahu basa-basi yang sudah berjalan harus segera diakhiri. Namun kembali melihat Gia dengan jarak sedekat ini, rasanya ia tidak ingin cepat-cepat mengajak perempuan itu berpindah.

"By the way—"

"Ngomong-ngomong—"

Keduanya bertukar pandang dan tersenyum.

"Lo dulu, deh," ucap Eki.

Kesunyian di antara mereka bertahan lebih lama dari yang diperkirakan. Kemudian, Gia membuka mulutnya dan berbicara.

"Gue... gue nggak tau sih kenapa gue bilang ini ke lo, tapi..." Gia menarik napas dalam. "Reno akan balik ke Surabaya."

Berbeda dengan Gia, Eki malah menahan napasnya setelah mendengar ungkapan itu. Ia pikir Gia akan membicarakan soal mereka.

"Atau kayaknya udah di sana sekarang. I don't know." Bahu Gia turun saat kalimatnya selesai.

"How do you feel about it?"

Mata Gia menangkap sorot dari lawan bicaranya. Perempuan itu terdiam, tampak kesusahan merangkai kata-kata untuk disampaikan. Ritme napasnya berubah, dadanya terasa penuh.

Detik-detik berikutnya ia masih belum juga bersuara.

"Nggak apa-apa, gue ngerti." Eki membenarkan posisi duduknya agar lebih tegak. Nada suaranya berusaha menenangkan. "Complicated ya?"

Seraya matanya perlahan membendung lautan, Gia mengangguk.

Kedua ujung bibir Eki perlahan tertarik hingga membentuk seulas senyum, bukan yang ungkapan bahagia, tetapi upaya untuk meyakinkan perempuan di hadapannya bahwa semua akan baik-baik saja, dan ia benar-benar mengerti bahwa rasanya pasti tidak karuan. Dan ia langsung meyakini bahwa ini adalah alasan Gia sampai mabuk dan tidak nyaris tidak sadarkan diri ketika Eki datang tempo hari.

"Gue ngerasa bego banget." Air mata pertama terjatuh di pipi Gia. Ia berpaling, malu dan tidak kuasa untuk menatap lawan bicaranya. Gia merasa telah dikalahkan dengan cara yang paling tidak adil. Ia tidak punya perlawanan apa-apa.

"Gi." Eki mencondongkan tubuhnya agar mereka bisa lebih dekat. Tangannya bertumpu pada meja, begitu dekat untuk meraih tangan Gia dan menggenggamnya. Tapi Eki tidak bergerak lagi, ia hanya bisa memeluk perempuan itu dengan kedua matanya. "You're not stupid."

Air mata Gia semakin deras dan perempuan itu semakin cekatan untuk menghapusnya, dan Eki memutuskan untuk tidak lagi bicara, membiarkan Gia menggunakan waktu yang ia butuhkan.

Mereka diam selama beberapa saat.

"Maaf," ucap Gia. Ujung-ujung matanya masih digenangi air ketika senyumnya kembali merekah. "Gue tau kita ketemu bukan untuk ngomongin ini."

"What? No." Eki mengubah posisi duduknya lagi. "Nggak apa-apa lo bisa omongin tentang itu kok ke gue. Lo bisa omongin apa aja. Really."

Gia mengangguk. Senyumnya masih tersisa. "By the way I heard about what you said to me that night."

Seketika Eki membatu. Sorot matanya, bahasa tubuhnya, raut wajahnya perlahan berubah. Ia kehilangan persiapan. Dan perempuan itu... mengucapkannya seolah itu bukan sebuah masalah besar.

"Pasti rasanya sulit juga buat lo ya, Ki."

Apa?

"I know you don't do complicated."

The Art Of Letting Go (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang