5. Jangan Jadikan Hujan Sebagai Penyebabnya

22.4K 2.9K 930
                                    

Pesanan mereka berdua datang ke meja.

Dua puluh menit setelah makanan mereka habis, hujan belum berhenti. Payung yang diharapkan Gia dipunyai restoran ini ternyata tidak ada karena salah satu karyawannya bilang barang yang dibeli belum sampai. Gia kebingungan kenapa di tempat makan sebagus ini perihal payung saja tidak ada. Lalu bagaimana customer yang ingin masuk ke mobilnya? Tukang parkir saja sedia payung, kok!

Untungnya, obrolan mereka tidak mati. Sebentar yang diucapkan Eki sudah sampai menit ke tujuh puluh limadan hujan tidak memberi tanda-tanda akan reda. Akhirnya Eki mengusulkan agar dirinya lari ke mobil dan Gia tunggu di sini. Nanti Eki akan memasukkan mobilnya ke pelataran parkir, lalu Gia lari ke mobil dengan jarak yang lebih dekat. Gia menggeleng tidak mau. Perempuan itu bersikeras untuk mengikuti Eki lari ke mobilnya meski mereka harus basah kuyup. Eki tidak perlu menjemput Gia supaya perempuan itu tidak terlalu basah. Alhasil, Eki mengalah.

Gia menutupi kepalanya dengan tas kecil yang ia kenakan dan Eki menutupi kepalanya dengan tangan. Seadanya saja. Keduanya segera masuk mobil dan menertawai diri mereka sendiri yang kebasahan. Tangan Gia mengusap kedua lengannya dan perempuan itu mengikat rambutnya tinggi-tinggi supaya tidak menempel di leher. Eki mengambil tisu, berusaha mengeringkan lengannya agar AC yang menyala tidak terlalu menusuk-nusuk.

"Lo nggak ada baju ganti di mobil?"

"Baru dipake kemarin," jawab Eki.

"Aduh, kaos lo basah banget."

"Lo juga."

"Iya, tapi lo lebih basah. Nggak usah pake AC kali ya?"

"Nggak apa-apa, nanti kalau kedingingan dikecilin aja AC-nya."

Gia mengangguk setuju sembari mengambil tisu dan mengeringkan kakinya. Perempuan itu menunduk selama beberapa saat, berhasil mencuri perhatian Eki karena ternyata baju yang dipakainya basah sehingga bra yang ia kenakan agak tampak. Gia tidak sadar sama sekali, tapi laki-laki yang duduk di sebelahnya mulai menahan napas. Meski begitu, Eki tetap mejaga diri untuk tetap bersikap bijaksana.

Hujan malam ini awet sampai mereka berdua tiba di basement apartemen Gia. Rambut perempuan itu sudah tidak diikat lagi karena ternyata suhu di dalam mobil semakin dingin. Sebelum Gia turun, perempuan itu menarik napas dan mengembuskannya pelan-pelan. Seperti ada sesuatu yang ingin ia ungkapkan. Ada keengganan untuk berpisah dan semakin lama hal tersebut semakin tampak. Gia menoleh ke laki-laki di sebelahnya yang ternyata sejak tadi sedang memerhatikan. Tatapan itu seolah berkata hal yang sama. Mereka tidak ingin pisah.

"Ki," ucap Gia. "Lo mau minum teh? Supaya anget."

Mesin mobil Eki matikan. Keduanya turun, jalan bersebelahan menuju lift yang akan membawa mereka ke lantai sepuluh. Gia berdiri di sebelah kiri sambil memegangi tali tasnya. Jantungnya berdegup kencang. Eki yang berada di sisi kanannya merasakan hal sama sambil menahan diri untuk tidak merogoh ponsel dan memberi tahu teman-temannya bahwa sesuatu akan terjadi malam ini. Eki bukan orang yang polos. Hanya saja ia tidak sangka kalau Gia ternyata sama seperti dirinya.

Setelah pintu apartemen terbuka, Eki langsung mengamati tempat tinggal Gia. Ada dapur kecil yang di sebrangnya adalah kamar mandi. Setelah itu ada kamar dengan nuansa putih yang agak berantakan dengan sisa-sisa project kuliahnya. Berbagai jenis karton serta gunting dan cutter berserakan di bawah. Eki menahan napas lagi, jantungnya berdegup terlalu cepat malam ini.

"Sori ya berantakan," Gia menyingkirkan karton-karton dengan kakinya sebelum ia berjongkok dan memisahkannya dengan baik.

"Nggak apa-apa."

"Bentar, biar gue buatin tehnya." Gia melepas tasnya sebelum mencuci tangan, lalu mengambil cangkir dan menaruhnya di atas konter. Tangannya menuangkan gula dengan sendok kecil dan ia mencari teh yang seingatnya masih ada di laci.

Eki duduk di kursi tempat Gia biasa menyampirkan baju yang kebetulan baru diantar ke tempat cucian hari ini. Ia memerhatikan perempuan itu hampir panik mencari sesuatu, seperti tidak ada persiapan apa-apa soal teh yang disebut. Kemudian Eki menghampirinya, mengamati gerak tangan Gia dan menyentuhnya dengan lembut. Ia tahu Gia tidak ingin membuat teh. Eki tahu sejak perempuan itu menawarinya.

"Gi," panggil Eki dengan suara yang pelan. "I don't really want a tea."

Gia berputar sampai tubuhnya menghadap Eki dengan sempurna. Bisikan itu membuatnya merinding. Napasnya mulai tersendat. Dengan jarak sedekat ini, Gia bisa mencium kolonye yang Eki pakai. Wanginya memikat. Menenangkan tapi memikat. Ia tak sadar bahwa ternyata lelaki di hadapannya tampak lebih tampan dari terakhir yang ia lihat. Jantungnya memberontak hebat di dada.

Gia sudah lama sekali tidak berada dalam situasi seperti ini.

"I know."

Suaranya hampir hilang seolah ia tidak menaruh daya untuk mengatakannya dengan lantang. Perempuan itu perlahan berjinjit, menyamakan tingginya dengan Eki hingga wajah mereka nyaris bertemu. Tatapan perempuan itu berpindah pada bibir laki-laki di hadapannya yang tertutup rapat. Kemudian ketika ia merasa Eki menarik napasnya dan melihat bibirnya sedikit terbuka, perempuan itu menciumnya. Ciuman yang tepat pada waktunya.

Eki tentu sudah menduga ciuman ini dan ia tidak keberatan sama sekali. Bibir Gia hangat, responsif, dan manis. Namun yang membuat jantungnya berdebar-debar adalah keberanian Gia. Ia sempat berpikir harusnya dirinya lah yang memulai. Ternyata Gia lebih cepat mengambil start, dan tentu saja dengan senang haiti ia membiarkannya.

Eki membawa Gia meninggalkan dapur tanpa melepaskannya barang sejengkalpun. Setelah membaringkannya di atas ranjang dan menaunginya, bibirnya berpindah untuk mejelajai leher perempuan itu. Gia terkesiap pelan, namun ia tidak menunjukkan adanya tanda-tanda penolakan. Sehingga ketika Eki merasa waktunya pas, tangannya mulai merayap ke balik kaus yang Gia kenakan.

Rintihan kecil pertama terlepas dari kedua bibir Gia saat Eki mengusapkan jemarinya di atas bra yang Gia pakai. Eki tersenyum, kembali menciumnya tanpa berhenti berkelana. Matanya terpejam, tenggelam dalam hitam yang ramai dan gelap yang hangat. Kehangatan itu memabukkan. Eki hampir terlena sampai tiba-tiba Gia berhenti menciumnya dan keramaian itu berubah sepi.

Saat matanya terbuka, ia melihat paras cantik yang terpapar sinar dari lampu tidur di atas meja. Jarak di antara mereka membuat Eki dapat melihat lebih jelas sorot mata Gia yang rumit. Ada gurat kesedihan seperti yang pernah lihat sebelumnya di antara hasrat yang menyala.

Mereka saling menginginkan dan Eki tahu ke mana ini akan berujung.

"Do you wanna do it now?"

Gia tersenyum dan mengangguk, lalu ia kembali mencium lelaki di hadapannya.

***

The Art Of Letting Go (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang