"Sepertinya kita terkunci, Nicole."
Aku tertawa pahit, "Jangan bercanda!"
"I'm serious!" Ajay membentakku.
"No no no, there must be another way!" Aku memukul pintu auditorium dan berteriak, "Somebody help us! Kami terkunci di auditorium!"
"Percuma." Ajay menghela napas. "Kau tahu kan, kalau ruang auditorium itu kedap suara?"
"Hubungi Mr. Olson!" Aku memerintah Ajay.
Ajay mengeluarkan ponselnya dari dalam saku, ia berdecak. "Bateraiku habis."
"Power bank?"
"Tidak punya." Ajay menggeleng.
Kedua netraku membulat sempurna. Remaja macam apa yang tidak mempunyai power bank?
"Kau lihat, kan? Kalau saja kau tidak menyuruhku menyimpan ponselku di loker--"
"Kau menyalahkanku?!" Ajay kembali membentakku.
"Yeah, you selfish director! Kau sadar kan kalau ponsel itu sangat penting di saat-saat seperti ini?!"
"Nasi sudah menjadi bubur, mau bagaimana lagi!"
Aku mengacak-acak rambutku dengan frustasi, "Oh, no, Rory akan berpikir aku mengabaikannya."
Ajay mengernyit, "Rory?"
"Aku dan Rory bertetangga, ia memintaku untuk bertemu dengannya malam ini."
Ajay membelalak, "Hanya itu yang kau pedulikan?! Hubungan sosialmu dengan Rory?!"
"Rory is my friend! Aku berteman dengan Rory lebih lama dari yang kau bayangkan! Kita ini makhluk sosial, kita semua butuh teman!" Aku membentaknya.
"Kau membentakku?!" Ajay memelototiku. "Kau adik kelas tidak tahu diri!"
"Berhenti bersikap sok senior dan pikirkan sebuah ide!" Aku terdiam sejenak. "Apakah auditorium punya pintu belakang?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Riflettore [END]
Teen FictionDi hari pertamanya bersekolah, Nicole Jenkins mendaftarkan diri untuk bergabung dalam ekstrakurikuler teater atas saran Rory Silva, cinta monyet masa kecilnya. Selain dapat menghabiskan waktu bersama Kesatria Berkuda Putih yang tampan, ia juga harus...