Judul: Semusim Di Praha
Oleh: Sahlil Ge
Genre: Spritual, Slice Of Life
Alur: Maju-Mundur (Dulu dan Sekarang)Diunggah pada: 26 Juni 2019 (BAB 12)
Bagian dari 'Antologi Semusim' (Winter).Hak Cipta Diawasi Oleh Tuhan Yang Maha Esa.
***
Bab 12***
*Bantu saya temukan typo. Belum saya sisir.
***
[Sekarang - Pesantren Ma'arif, Indonesia]
Sebuah mobil SUV berwarna perak mengambil haluan memasuki gerbang utama pesantren itu. Keluarlah dari sana seorang pejabat kabupaten yang masih muda dengan setelan rapi. Jas melipit dan rambut yang disisir rapi. Juga aroma parfum yang tegas.
Dari kejauhan, Hamid, remaja santri laki-laki yang sedang menyapu halaman rumah Kiai Adam menghentikan aktivitasnya. Lalu dia berjalan cepat menghampiri mobil itu.
"Assalamualaikum," sapa santri itu. Dia cepat-cepat menawarkan salaman, "Mau ada perlu dengan Pak Kiai, Mas?"
"Waalaikumsalam, Mid. Pak Kiai ada?" balas pemuda itu.
Hamid bersikap takzim, "Ada Mas. Tadi baru kondur dari masjid. Monggo," kata Hamid mempersilakan.
Sementara itu tuan rumah yang dituju sedang duduk di ruang tamu. Menyesap selinting tembakau dan segelas kopi hitam pekat tanpa gula. Kepala berubannya menoleh ke arah pintu saat melihat bayangan dua orang melangkah di teras.
Dua orang itu mengucapkan salam seraya melangkahi pintu. Dibalasnya salam itu.
"Eeh, kamu Fur," ucap Kiai Adam.
Pejabat muda yang bernama Furqan itu lalu duduk setelah mencium tangan Kiai Adam.
"Mid, ambilkan unjukan di dalam," pinta Kiai Adam.
"Sendika dhawuh, Kiai," jawab Hamid membungkuk. Dia lalu pergi ke dapur membuat suguhan.
"Ada perlu apa, Fur?"
"Maaf Kiai. Saya terpaksa datang ke sini karena situasinya mendesak."
"Apanya yang mendesak?" respons Kiai Adam teduh.
"Saya bisa memastikan informasi ini sahih karena saya sendiri yang mendengar dan melihat dokumennya."
Kiai Adam masih mengamati.
"Pesantren Ma'arif masuk daftar yang akan dikunjungi untuk kampanye. Salah satu strateginya mereka akan mengajak pesantren, terutama Kiai sendiri untuk jadi bagian dari tim sukses salah satu paslon di pesta demokrasi pemilihan Bupati periode mendatang."
Asap tipis keluar dari hidung Kiai Adam, "Kamu yakin?"
"Saya melihatnya sendiri, Kiai."
"Tidak apa-apa. Sambut saja kalau mereka benar-benar datang. Santri di sini sudah mengerti. Biarkan orang-orang itu melakukan agendanya. Silaturahmi dan mungkin sosialisasi."
Furqan mengangguk. Alumni pesantren yang juga lulusan Maroko itu, yang kini mendapat posisi bagus di pemerintahan kabupaten hanya bisa mengiyakan.
"Urusan demokrasi saya tidak akan menggiring. Karena santri-santri di sini sudah dibekali prinsip baladil amin pada NKRI. Mereka sudah mengerti siapa yang berhak mendapat suara mereka. Kesadaran mereka pada hubbul wathan minal iman sudah mereka yakini sebagai marwah nasionalisme. Santri tahu kemerdekaan negara ini tidak serta merta hadiah. Tapi perjuangan berdarah oleh pahlawan negara dan bahkan ulama tempo dulu yang ikut andil. Santri tidak akan bingung harus memihak mana. Bahkan jika itu setingkat pemilihan pemimpin kabupaten."
KAMU SEDANG MEMBACA
RENTAN: Semusim di Praha [OPEN PO]
SpiritualDefinisi hijrah dari sudut pandang yang tak terwakili. Kata siapa bertassawuf di era modern itu mustahil? (Ditulis oleh Sahlil Ge) Blurb: Sudah berkali-kali mendapat panggilan pulang untuk meneruskan estafet obor syiar, Sultan El Firdausy masih saja...