3. Berakhir

25 1 0
                                    

"Proposal untuk pensi udah siap, Ndra. Tinggal tanda tangan lo terus pengajuan."

"RAB aman?"

"Sudah Bu Ketua," ujar Surya jahil. "Dana cadangannya banyak sih kata Darma, sejauh ini gaada masalah."

Andra baru saja sampai di ruang OSIS hari Senin ini, ketika sekretaris OSIS, Surya, mencegatnya dengan sebuah laporan. Setidaknya ada hal untuk memperbaiki mood-nya yang sedang kacau balau karena masalah Marcell kemarin.

"Oke, mau gue tanda tanganin."

Hari Senin di SMA Merdeka, para OSIS bela negara mondar-mandir menyiapkan kelengkapan upacara beserta perangkatnya. Para siswa masih sibuk mencari perlengkapan untuk menyelamatkan dirinya dari guru BK, seperti biasanya. Sejauh ini tak ada hal luar biasa di ruang osis--setidaknya begitu sampai Andra menyadari satu hal.

Reza bersama dua wakilnya sedang berada di depan ruang OSIS. Membuat pengurus OSIS yang tadinya mau masuk ruangan jadi balik kanan bubar jalan. Malas menyela. Yang didalam langsung berhenti sejenak untuk melirik, sebelum kembali pura-pura tak menyadari sedetik kemudian. Malas menyapa.

Sungguh mengherankan karena biasanya mereka bertiga kompak mendekam di ruang MPK entah melakukan apa. Mereka bertiga diam, seakan menunggu Andra bicara duluan--dugaan Andra begitu, tapi ketika Andra membuka mulut, mereka malah bersuara.

"Gimana progress persiapan pensi?" Itu bukan Reza, melainkan wakil dua yang bernama Alan. Satu-satunya orang dari dua orang lainnya yang tingkat ketus dan dingin masih bisa ditoleransi.

"Lumayan." Andra yakin itu hanya basa-basi. Gadis itu memilih menjawabnya santai sambil lalu--sambil kerja sebenarnya. "Sekcar udah mulai pikirin masalah acara, sama minta tolong disampaiin sama pengurus kelas bakal ada semacam kompetisi gitu, minta saran juga. Kemarin kenapa nelpon, Rez?" pancingnya. "Urusan sama Ketua Osis apa Andromeda?"

Kalimat terakhir dari Andra  membuat kening Surya berlipat lipat. "Bisa dipisah gitu ye," gumamnya lebih ke pada diri sendiri.

"Gue denger kemarin anak OSIS dibully." Reza maju satu langkah, masuk sedikit ke dalam ruang OSIS. "Sama Kak Edo."

Gerakan tangan Andra yang tadinya sibuk mengguratkan tanda tangan, terhenti. Kepalanya terangkat, sempat terkejut tapi kembali santai. "Gue yang mergokin langsung, pelakunya udah di skors."

"Lo yang suruh dia kesana kan?"

Andra terdiam akan suara dingin itu. Surya langsung menatapnya dengan penuh tanya. "Emang iya, Ndra?"

Andra tak menjawab.

"Kita udah sepakat buat hati-hati kalo manfaatin jabatan buat hal ini. Bisa kan diskusi dulu kalo mau ngapa-ngapain?" Reza menatapnya masih dengan datar. Andra berusaha untuk tak melemparinya dengan pulpen di genggamannya meski sepenuh hati ia ingin melakukannya. "Tapi kayaknya 'gegabah' udah jadi nama tengah lo. Lo sama sekali ga belajar."

Setelah mengucapkan itu, mereka bertiga langsung melenggang dari ruang OSIS tanpa menunggu jawaban. Berjalan sejajar hingga memenuhi koridor sembari memasukan kedua tangannya ke saku. Kecuali Amara--wakil satu MPK, karena rok tidak memiliki saku, ia memilih bersidekap.

Andra masih berusaha meredam kekesalannya dengan mengatur napas, berurusan dengan trio MPK, baik urusan OSIS maupun urusan lain tidak pernah mudah. Sebelum gadis itu akhirnya sadar, Surya menatapnya penasaran sejak tadi.

"Kalian ngomongin apa sebenernya?"

"Engga penting, kok." Andra berkelid asal. Sebenarnya Surya masih menuntut penjelasan, terimakasih kepada Reza yang berbicara hal rahasia di ruangan yang ramai. Untungnya, denting ponsel langsung membuyarkan perhatian Surya. Andra langsung membuka ponselnya, sekalian kabur dari pertanyaan cowok itu.

BrotherhoodTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang