22. Flower Crown

36 1 0
                                    

"We, bangun."

Andra mengerjapkan-ngerjapkan matanya ketika merasakan tepukan tangan dingin di pipinya. Gadis itu langsung bersorak dalam hati ketika sadar bahwa ia bersandar di bahu Deva. Ah, lengan Deva, karena kepala Andra tidak mencapai bahu Deva, cowok itu terlalu tinggi. Akhirnya setelah sekian tahun ditatar oleh Reon, ia bisa juga melakukan modus.

"Udah nyampe?" tanyanya ketika menyadari teman-teman mereka satu persatu turun dari bus.

"Yep. Kita kesini liburan, bukan tidur," ujar Deva datar sembari bangkit dan menarik-narik lengan Andra agar gadis itu bergegss.

"Hm, iya iya duh," desisnya kesal sembari bangkit dengan ogah-ogahan.

Anak-anak ekskul basket dan cheers langsung berpencar, ada yang kegirangan begitu sampai di pantai, langsung mengubek-ubek air, ada juga yang langsung ke penginapan karena kelelahan, Andra salah satunya. Ini sudah jam 5 sore, dan dua jam lagi akan ada acara, sudah tanggung untuk main air.

Andra baru saja berjalan menuju penginapan, bahunya ditubruk dengan keras, sontak Andra menoleh.

"Eh Bang Re, gue masih kesel ya sama lo."

Reon mengulum senyum nakal. "Eleh kesel. Seneng kan lo nempel-nempel sama Deva?"

Andra mengempotkan pipinya, menahan senyum.

Tangan Reon terangkat menoyor ringan kepala Andra. "Muka nih, merah, dah kaya saos barbeque." Cowok itu terkekeh pelan. "Ini ketos SMA Merdeka loh. Yang katanya super tegas dan keren itu, bisa ya lo malu-malu gini. Terimakasih dong sama gue." Cowok itu menaik-turunkan alisnya.

"Apaan sih lo." Andra menggedigkan bahu, hendak menyingkirkan tangan Reon dari sana. "Btw, dia kemana? Tadi pas turun bareng, tiba-tiba aja ilang."

"Biasa lah kalau liat pantai dah kaya orang goblok. Bengong, duduk ngadep pantai, nyetel lagu-lagu folk. Katanya nungguin sunset."

"Mana keliatan anjir sunset disini."

"Yakan vibenya tetep berasa."

"Bener kata Anta, kalau waktu itu kita nggak mau ke pantai, dia nggak bakal bisa liat sunset." Andra menghela napas panjang. "Ternyata bener, itu sunset terakhir yang bisa dia liat. Dah lah, besok gue mau bangun pagi-pagi, mau liat sunrise, kata Anta, siapa tahu besok juga jadi sunrise terakhir gue."

"Lo ngomongnya jadi ikutan serem-serem gitu ye."

"Hidup gak ada yang tahu, Bang Reon."

"Ya, hidup gak ada yang tahu. Rest in peace, Anta."

***

Andra yang baru keluar dari penginapan persis pukul 6 pagi langsung celingak-celinguk melihat suasana di pantai. "Hanjer kesiangan!"

Begitu bercahaya dengan gaun putih dengan kain transparan berlapis dari lutut hingga mata kaki. Entah arwah apa yang merasuki jiwa Andra hingga keluar pagi-pagi buta sendirian, tapi gadis itu sudah bertekad begitu ia sampai di dekat pantai tak kan pernah melewatkan sunrise. Karena pada hari biasa ia tak kan sanggup pagi-pagi ke pantai yang jaraknya lumayan dari rumah.

Sinar di wajahnya begitu terpancar begitu kakinya menginjak butiran pasir halus berwarna putih, tanpa sadar kakinya mulai berlari-lari tidak jelas, kegirangan sendiri. Tidak ada siapapun selain dirinya disini membuat Andra merasa pantai ini adalah miliknya sendiri. Lagipula siapa yang mau bangun pagi-pagi hanya untuk ke pantai yang dingin begitu, ya tentunya selain Andra, dan...

BrotherhoodTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang