6. Alien Ambigu

27 1 0
                                    

Suara pintu yang dibuka kasar terdengar dari lantai dua kediaman Keluarga Radivan, diikuti dengan langkah kaki berderap memasuki kamar. Deva melepas tas gendong, melemparkan benda itu ke meja belajar, sebelum kemudian melempar dirinya ke kasur sembari memejamkan mata.

Kamar Deva bisa dibilang lumayan luas dan sangat rapi untuk ukuran cowok seusianya. Ranjang king size terletak tepat di tengah kamar dilapisi sprei monokrom. Poster-poster band kesukaannya menutupi tembok putih bersih, begitupun tiga foto besar yang terpampang di hulu tempat tidur; foto keluarga Radivan, foto brotherhood, dan foto dua orang anak kecil laki-laki dan perempuan yang tampak seumuran. Barangnya yang minim menimbulkan kesan kosong, hanya ada sebuah gitar listrik berserta sound system, sebuah gitar akustik, beberapa jam tangan yang diletakan dalam kotak akrilik, lemari dan laci, sebuah asbak berisi putung rokok yang terlihat artistik, serta cermin.

Cowok jangkung berkulit kuning langsat itu mengembuskan napas kasar. Menyadari bahwa dengan diam pikirannya akan semakin berkelana, Deva memilih bangkit dan mengatur sound system. Dipindahkannya gitar listrik dari tempat ke pangkuannya. Katanya, jika  bersedih atau marah, dengan menekuni sesuatu yang kita cintai, pasti bisa terobati.

Katanya siapa? Kata Andra. Karena gadis itu selalu bermain drum saat sedih, dan biasanya berhasil. 

Deva kini memainkan lagu Master of Puppet, dengan harapan kekalutannya bisa melebur bersama alunan lagu Metalica itu. "Argh!" erangnya frustasi ketika jemarinya melenceng dari senar, padahal itu adalah lagu yang dikuasainya. Cowok itu berdecak malas karena ternyata emosi malah membuatnya kehilangan fokus. Baiklah, distraksi dengan cara main gitar tidak cocok untuknya. Tapi untungnya Deva punya banyak hal yang ia suka.

Kaki panjangnya melangkah menuju lemari, lalu dibukanya laci paling bawah yang sejak dulu selalu ia kunci. Sedikit kontras dengan suasana kamar Deva yang minimalis, laci itu penuh berisikan kertas-kertas berwarna pastel yang selalu ia kunci. Mengingatnya membuat perasaan Deva sedikit lebih tenang dan hangat. Cowok itu menarik sebuah amplop kosong berwarna kuning pastel, merogoh kantong sejenak mengambil sebuah benda kecil yang kemudian ia masukan ke dalam amplop. Jemari jenjangnya menggamit pulpen lalu mulai mencorat-coret, ingatannya  berkelana. Bahkan dalam situasi sangat tidak mengenakkan sekalipun, aktivitas ini tak pernah gagal membuat seulas senyum terukir di wajah tampannya.

***

Prak!

Jam 6 pagi di rumah keluarga Dipankara. Salah satu kamar di lantai dua berisik oleh bunyi jam beker yang berdendang asyik, sayangnya jam itu harus bernasib malang.

"Whuanjir!" Andra terperanjat bangun ketika sadar kakinya dengan apik melayangkan tendangan maut ke arah jam beker tak berdosa. Untuk kesekian kali, Andra menyalahkan refleknya yang keterlaluan. Padahal sudah hampir satu tahun ia vakum bela diri. Ditatapnya jam yang kini teronggok di lantai itu dengan nanar sembari meringis. "Ah elah, baru juga beli kemaren," sesalnya yang ia tahu tak ada guna.

Andra meraba-raba sekitaran kasur, dibawah bantal, tapi tak menemukan ponsel. Tentu saja, karena yang ia cari ada diatas meja. Gadis itu mendengus sebelum mengambilnya. Wallpaper menampilkan fotonya bersama kelima sahabatnya sewaktu usai manggung pertama kali membuat bibirnya melengkung tanpa sadar.

Alien Ambigu is calling

"Eh?" Pupil matanya langsung melebar melihat nama siapa yang kini bertengger di layar ponsel. Tidak biasanya.

"Hallo, Kak? Kenapa?"

"Selamat pagi, apa benar ini nomor telepon nona Andromeda Dipankara?"

BrotherhoodTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang