10. Tak Terduga

42 1 0
                                    

Pagi-pagi buta, matahari belum menampakkan diri, tapi Andra sudah berpakaian lengkap siap untuk menyambut hari ke sekolah. Kemeja putih lengan panjang dengan bawahan rok rimpel cokelat sudah melekat sempurna di tubuh semampai itu, rambut yang biasanya cuma digerai bebas, kini diberi hiasan berupa jepitan poni dengan model simpel.

Gadis itu menggamit tas punggung dan menuruni tangga dengan cepat sebelum sebuah pemandangan membuat langkahnya terhenti. Andra menepuk jidat horror.

Deva masih menginap di rumahnya.

"Hanjer gue lupa!"

Sedikit panik gadis itu berlari kecil ke arah Deva guna membangunkan cowok itu. Andra melirik jam dinding lalu mendesah lega. Ternyata masih pukul enam kurang.

"Kak Deva ba----" ucapannya terhenti seketika, "ngun."

Suasana terasa senyap dan remang karena hanya lampu dapur yang dibiarkan menyala, memberikan sedikit bias cahaya pada Deva yang terlelap pulas.

Alih-alih langsung membangunkannya, Andra malah duduk di lantai, tepat dibawah tempat Deva tidur. Diperhatikannya napas teratur cowok itu lamat-lamat. Ada sesuatu di dalam dirinya yang mendorongnya untuk berteriak, tapi ia tahan dengan cara mengigit bibir.

Gadis itu sadar bahwa memperhatikan orang tidur itu mengerikan, bukan begitu? Tapi tidak salah kan memanfaatkan kesempatan ini, lagipula awalnya tak sengaja. Melihatnya dengan wajah polos begitu Andra jadi merasa bersalah telah marah-marah padanya kemarin.

"Nggak enak tau suka sama sahabat sendiri, Kak Dev. Kalau suka sama orang lain dan ditolak mah oke-oke aja, tapi kalau ditolak sahabat? Gimana jadinya?" Andra menghela napas panjang. "Mau gak mau harus gue kuat-kuatin lah nanggung jatuh cinta sendiri---"

"HOAAAAAMMM! Jam berapa nih?"

"Shit!" Andra terperanjat sampai nyaris terjengkang. Gelagapan. Persis seperti maling yang tertangkap basah.

Deva mengucek mata pelan, dari gerak-gerika ia tak mendengar yang Andra ucapkan. Diliriknya Andra dengan ujung mata sembari mengumpulkan nyawa. Cowok itu langsung mengubah posisinya jadi duduk di atas sofa, tepat berhadapan dengan Andra. Refleks, Andra menarik tubuhnya menjauh.

"Lo nangis?!"

Kening Andra berkerut sejenak akibat pertanyaan absurd itu. "Gak."

"Serius?"

"Enggak lah."

"Lah, serius apa enggak?" tanya Deva sembari bersidekap.

"Apaan sih lo, gue bilang enggak."

"Enggak serius?" tanya Deva, kali ini dengan cengiran.

Andra berdecak sebal.

Ah ternyata pagi-pagi ia sudah dikerjai. Padahal cowok itu kemarin malam baru habis jatuh dari motor, tapi sekarang terlihat tak begitu kesakitan.

"Lo nangisin gue?"

Andra mengernyit heran. "Apa sih, Kak Dev. Ngapain gue nangisin lo. Kan lo belum mati."

"Ya emang belum," jawab Deva.

"Ya itu dia."

"Tapi, gue mimpiin lo nangis barusan," Deva menguap. "Serius. Dan herannya, kebetulan orang pertama yang gue liat pagi ini tuh elo."

"Disini cuma ada gue dan Bi Aya. Secara teknis yang bisa lo liat pertama ya antara kami berdua," jawabnya disertai decakan, "ngapain lo mimpiin gue?"

"Gak tau lah." Cowok itu memejamkan mata sejenak. "Ceritanya lo lagi dikelilingi orang-orang, mereka keliatan biasa aja, tapi lo nangis. Dan mereka gak peduli."

BrotherhoodTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang