18. Remah Kenangan

14 1 0
                                    

Sudah genap satu Minggu sejak kepergian Anta, tapi setiap melihat potret kenangan dengan cowok itu, Andra merasa ada godam yang memukul dadanya. Menyalurkan sensasi nyeri dari ulu hati lalu menyalurkan ke kepala. Mau tak mau ada satu pertanyaan yang tak henti berputar di kepalanya ; inikah yang Rico rasakan saat Denira meninggal dulu?

Andra hari ini tak sekolah, berdiam diri di kamar, sendirian. Bukan ingin cari perhatian, justru perhatianlah yang Andra hindari. Ia bahkan tak muncul di personal chat ataupun grup. Ia tak butuh nasihat siapapun, atau ucapan bela sungkawa yang malah membuatnya dadanya makin nyeri, kembali mengingatkannya bahwa Anta sudah meninggal. Ia hanya ingin sendiri. Disini, di dalam kamar dengan sprei berantakan, dan barang berserakan.

Sakit sekali. Segala usaha telah Andra lakukan untuk mengurangi rasa sakit itu di ulu hati, menangis semalaman hingga lelah, juga tak membuatnya bisa melupakan kesedihannya barang sesaat. Ia tidur sepanjang hari, berharap mimpi buruk ini segera berakhir, tapi ketika ia terbangun kenyataan pahit kembali menamparnya.

Andra merogoh ke dalam lemari dan mengambil sebuah pecahan kecil. Tanpa ragu gadis itu menggoreskan bagian tajamnya ke telapak tangan yang sudah penuh goresan serupa sejak beberapa hari lalu, dekat pergelangannya. Itu hanyalah pecahan kecil, tak menimbulkan luka dalam yang akan membuatnya celaka, tapi ia tetap membutuhkan hal ini, berharap dapat memindahkan luka hati ke tangannya.

"Akh!" ringisnya lalu menggigit bibir dengan cepat, tapi tak juga ia hentikan kegiatan itu, menciptakan dua luka gores di melintang sepanjang masing-masing 7 cm, tak dalam, tapi cukup untuk mengeluarkan darah.

Perih. Cukup untuk membuat gadis itu mendistraksi kesedihannya.

"Andra! Makan! Woy bocil!"

Suara ketukan membabi buta seakan hendak merobohkan pintu kamarnya membuat Andra tersentak. Gadis itu langsung gelagapan membersihkan atau setidaknya mengurangi kekacauan besar yang ia timbulkan seiring dengan pintu yang dibuka.

"Woy! An...." Alden menghentikan ucapannya ketika melihat kondisi Andra begitu kacau. Cowok itu berdecak pasrah. "Kamu juga belum makan dari tadi, Mama tuh ngedumel. Dibilang aku kakak gak perhatian, padahal emang iya sih." Cowok itu mencerocos, tapi melihat adiknya hanya melirik dengan judes.

Alden menghela napas panjang sebelum akhirnya berjalan menghampiri adiknya yang duduk di lantai. "Temen-temen kamu dibawah," desisnya sembari menarik tangan Andra. Namun, saat itu juga ia menyadari ada yang tak beres. Dilihatnya telapak tangan adiknya sekali lagi sebelum menatap adiknya dengan tatapan tak percaya.

"Astaga kamu mau mati?!" ujarnya dengan mata membulat sempurna. Cowok itu mendesah lalu mengacak rambutnya kasar dengan frustasi. Akhirnya ia memilih berjongkok agar sejajar dengan Andra. "Oi, oi oi! Aku udah duga sejak kemarin, pantesan aja kamu selalu nyembunyiin tangan. Apa gebukin orang di pemakaman Anta belum cukup?" Cowok itu menepuk-nepuk pipi adiknya keras, sebenarnya sudah hampir sama dengan menampar. Geregetan. "Kemana perginya Andra yang katanya rasional?"

"Aku gak mau bunuh diri," tandasnya cepat. Memang Andra sering melawan Alden, tapi ia tetap takut jika kakaknya itu marah. Walau cengengesan begitu, masih ada sedikit rasa hormat yang tertinggal dalam diri Andra pada kakak kandungnya itu.

"Sama aja bego, astaga!" Alden nampak menggaruk-garuk kepalanya gemas. Tak habis pikir adiknya akan melakukan hal diluar nalar. "Hei, mau bunuh diri kek enggak kek, ini tuh udah tindakan bego. Kamu itu pinter, loh, masa dinasehatin orang bego kaya aku?! Kamu tuh ck, aduh!"

"Kamu yang sering bilang aku dan Aldo kaya gak punya gairah hidup. Sekarang kamu kaya gini? Jangan lucu, dong, ah!" Cowok itu masih tampak frustasi. "Sekarang turun, anak-anak pada dibawah tuh."

BrotherhoodTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang