24. Jimat

15 0 0
                                    

Kembali ke rutinitas sekolah yang memusingkan, setelah tour yang cukup membuat rileks. Kini mau tak mau Andra kembali duduk di ruang OSIS.

Sendirian. Pengurus yang lain sudah pulang usai rapat membahas perpisahan untuk anak kelas dua belas serta sidak untuk besok. Cukup pengap disini. Penyebabnya jelas, ruangan yang lumayan luas tapi dipenuhi barang-barang itu minim sekali ventilasi, bahkan hanya memiliki satu buah jendela di bagian samping ruangan. Pendingin pun hanya satu kipas angin butut yang setiap dinyalakan selalu menimbulkan suara seperti akan sakaratul maut. Sekolah swasta elit konon, tapi ruang organisasinya bobrok.

Setelah mengorak-orek binder sampai sadar bahwa dirinya sudah nyaris kekurangan oksigen, gadis itu akhirnya memasukkan buku ke dalam tas, lalu keluar dari ruang OSIS cepet-cepat.

"Andromeda!"

"Anjrit!" Andra nyaris saja menjatuhkan kunci yang baru akan ia colokan ke pintu, saking kagetnya. Lebih mengherankan saat ia sadar darimana suara itu berasal. Andra mengernyit, melihat Deva dari atas sampai bawah--padahal tampilan cowok itu ya begitu-begitu saja, normal, tak ada yang aneh. "Lo belum pulang? Dua belas IPS 3 udah pulang dari tadi bukan sih?"

Deva mengangkat bahu cuek. "Menurut lo?"

Andra mendengus, tapi tak ayal ia mengulum senyum tipis. Deva hari ini memakai jaket jeans hitam yang tampak cocok dipadukan dengan seragam putih-abunya, tak lupa jam tangan dan tas gendong yang digantung sebelah bahu. Tubuh jangkungnya jadi lebih tinggi lagi efek dari bentuk jaketnya. Penampilannya hari ini "sangat Deva" sekali.

"Lo ngapain belum pulang, Kak Deva?"

"Lo pulang sama siapa? Dijemput?"

"Yap. Palingan sama Alden."

"Udah nelpon? Kalau mereka belum berangkat, sama gue aja. Tapi temenin gue keluar dulu."

"Boleh deh." Andra lanjut berbalik mengunci pintu, membelakangi Deva. "Yang lain udah mau?"

"Gue bawa motor, berdua aja gak masalah, bentar aja kok."

Gerakan Andra yang memutar kunci terhenti sejenak. "Mau keluar kemana emang?"

"Nggak tau." Deva mengigit bibir atasnya sejenak, "males di rumah."

Andra menghela napas panjang. Bersahabat kurang lebih selama 12 tahun, tapi Andra tak bisa mengingat kapan terakhir kali mereka keluar hanya berdua. Sebenarnya ia senang, berarti dirinya dapat kesempatan untuk dekat dengan Deva. Tapi apa ini aksi lain dari Deva?

Baiklah, jika Deva ingin melancarkan aksi lain, Andra akan sekalian menguji ketahananya pada pesona cowok ini.

"Oke," ujarnya lalu mengekori langkah Deva yang berjalan ke motornya. Begitu sampai di parkiran, Andra baru mengingat sesuatu. "Gue nggak bawa helm kak Dev."

Cowok itu tak menjawab, ia malah melirik Andra sejenak lalu membuka jok motor dan menyerahkan sebuah helm beserta hoodie pada Andra. Hari ini cowok itu mengendarai skuter matic, Andra berasumsi dia kapok mengajak Si Edan kemana-mana. "Jam segini panas, pake jaketnya, nutupin almamater sekalian."

"Helm siapa?"

"Shera."

Andra mengernyit heran, karena biasanya keluarga Deva-selain Deva-nya sendiri-tak ada yang bisa naik motor, tapi gadis itu malas bertanya lagi. Ia menatap hoodie berwarna putih polos itu sejenak sebelum akhirnya dipakai juga. Namun gadis itu langsung memanyunkan bibirnya ketika menyadari dirinya justru tenggelam dalam Hoodie milik Deva. Ukuran tubuh Deva jauh lebih besar darinya dan ukuran hoodie ini sepertinya dua kali Deva, jadi jelas Hoodie ini terkesan seperti menelannya. Bau lavender dan musk menguar kuat membuat Andra mengigiti bibirnya. Apa cowok itu selalu membawa jaket cadangan? Karena waktu di rumah sakit pun ia membawa dua jaket.

BrotherhoodTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang