23. Sebuah Konspirasi

19 0 0
                                    

Andra menelentangkan tubuhnya di atas pasir pantai yang kering.
Matahari sudah mulai muncul dan tempat Andra tidur mulai dihinggapi panasnya. Gadis itu melepas flower crown yang terpasang di kepalanya, mengangkatnya ke atas hingga menutupi sinar matahari yang menerpa wajah.

"Ndra! Gue cariin kirain kemana."

Mendengar suara familiar tersebut, praktis Andra menoleh tanpa bangkit dari tidurnya. Sesuai dugaan, Agus dan Radit sedang menuju ke arahnya.

"Apaan tuh? " tanya Agus sembari mengernyit

"Flower crown." Sudah ia duga mereka pasti akan bertanya. "Deva yang buat. Reon sama Deva mana?"

"Tadi mereka berdua masih di kamarnya Reon sih, bentar juga kesini," ujar Radit sembari menggedigkan bahu.

"Kalo si Anta anak bawang itu disini pasti dia udah ngajakin main air." Gadis itu berdecak berusaha membuat suaranya tak terdengar sendu.

"Sekali kita bersahabat, persahabatan bakal terus ada. At least kalaupun kita harus pisah, kenangannya tetap ada di kepala."

Andra bisa merasakan bahwa suara itu membuat darahnya terasa berdesir. Gadis itu menoleh dan matanya langsung bertemu dengan Deva.

"Gue pernah denger seseorang bilang itu, dan Anta minta dia buat inget kata-kata itu." Deva tersenyum miring sembari mengangkat bahu, bersama dengan Reon disebelahnya.

Bagus. Sesuai dugaan Andra, Deva bersikap seolah tak terjadi apa-apa. Cowok itu tetap tengil dan aneh seperti biasanya. Sekarang Andra yakin, cowok itu memang mempermainkannya.

"Lo bahkan inget sampai titik koma nya," seloroh Andra cuek.

"Udah gue bilang, gue nggak pernah lupa," ujarnya santai sembari duduk di sebelahnya.

Deva. Benar-benar. Biasa saja.

Baiklah, mulai sekarang dia akan berusaha imun oleh perilaku Deva. Kalau Deva biasa bersikap seperti itu, harusnya ia juga.

"Ada yang liat Kak Marcell nggak?"

Ucapan Andra yang tiba-tiba berhasil membuat keempat temannya menoleh heran ke arahnya secara bersamaan.

"Urusan basket ya?" tanya Reon sengit.

"Bukan."

"Marcell tadi keluar, kayaknya lama, ada urusan sama alumni katanya. Nanti aja."

Andra menoleh malas. Jawaban Deva malah membuatnya mendengus. "Tau dari mana?!" ujarnya sewotnya.

Cowok itu mengangkat bahu santai. "Dela. Dia bilang Marcell keluar tadi."

"Sialan! Sialan! Sialaaaaan!" dumel Andra dalam hati.

Hal itu justru membuat Reon terkekeh geli diam-diam yang langsung berhenti ketika Andra memelototinya.

"Sekarang kita berlima ada di pantai, gue jadi inget sehari sebelum Anta divonis kanker, kita juga kaya gini. Tapi bedanya, waktu itu kita masih berenam." Agus mengempotkan pipinya.

"Perpisahan sekolah kita bawain lagu brotherhood, mau?" Deva tersenyum simpul. "Kita memang tinggal berlima, tapi brotherhood tetap bakal ada."

"Dengan catatan, nggak ada pengganti. Anta nggak tergantikan," seru Andra tegas. "Oke?"

Mereka semua terkekeh.

"Dulu Andra sama Deva berantem loh gara-gara itu," celetuk Reon.

"Nah kan bener kata Deva, sekarang kalau kita inget Anta, kita senyum bukan sedih." Radit merangkul Andra yang untungnya kali ini tak langsung ditepis. "Sekarang kita nungguin apa disini? Nggak bakal ada sunset, dan sunrise udah lewat."

BrotherhoodTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang