15. Perjuangan?

69 1 0
                                    

Deva menepuk-nepuk punggung Anta yang sedang muntah-muntah hebat sejak tadi sore. Kondisi Anta yang justru memburuk sejak hari dimana ia menjalani kemoterapi membuat mental Anta makin down walaupun mati-matian disembunyikan.

Tubuh cowok itu terlihat jauh lebih kurus dibanding hari-hari sebelumnya, rambutnya rontok parah walau belum menimbulkan kebotakan karena cowok itu memang punya rambut yang tebal sejak dulu. Lingkaran hitam di sekitar matanya tampak makin gelap. Ditambah lagi rasa mual serta sakit kepala yang kerap muncul tiba-tiba. Ini sudah hari ketujuh Anta dirawat di rumah sakit.

Lumayan hening disini, setidaknya untuk ukuran anak-anak brotherhood formasi lengkap. Agus menyarankan agar mereka tak bicara macam-macam, saking takutnya menyinggung satu sama lain, mereka malah tak berbicara sama sekali. Agus jadi gerah sendiri pada akhirnya.

Deva yang menuntun Anta untuk kembali ke tempat tidur sempat bertemu tatap sejenak dengan para sahabatnya yang menunggu di sekeliling bankar sebelum menggantungkan cairan infus kembali ke tiangnya. Datar, selalu.

"Masih mual?" Andra berjalan mendekat ke arah bankar.

"Pusing doang." Cowok itu memegangi kepalanya singkat.

Andra memutar pandangan pada keempat cowok dibelakangnya, sebelum sadar bahwa mereka masih memakai seragam sekolah lengkap. "Eh, lo berempat udah makan?" Andra mengernyit heran, karena biasanya mereka ganti baju sebelum makan di kantin rumah sakit.  Tak mendapat jawaban, Andra menghela napas. "Kalian makan sama ganti baju dulu sana, gue sama Anta disini. Gue udah tadi di sekolah."

Agus dan Radit sempat saling lirik sebelum akhirnya kompak keluar ruangan dengan sangsi. Reon yang sejak tadi hanya diam langsung menyusul tanpa mengatakan apapun. Namun, Deva masih mematung di tempatnya, menatap Anta intens. Ah bukan, lebih tepatnya bersitatap, karena Anta juga membalas tatapan datar itu.

"Lo nggak makan, Kak?" tanya Anta, dan kalau Andra tak salah lihat, cowok itu tersenyum lebar sekali pada Deva.  

"Lo udah, Ndra?"

Andra langsung menoleh heran, "udah kan tadi gue bilang."

Deva bahkan tidak menatapnya saat bertanya. Dan sekarang Andra paham, itu alibi, Deva hanya tak ingin meninggalkan ruangan ini. Andra menghela napas lalu berjalan ke arah cowok itu. "Anta gue yang nemenin. Ini udah jam larut, dan gue gak pengen marah-marah untuk sekedar nyuruh lo makan ya," pinta Andra dengan nada bercanda.

"Kalau dia kenapa-napa jangan panik, cepet panggil dokter," ujar Deva, lalu langsung berbalik keluar ruangan.

Andra menatap punggung cowok itu beberapa saat sampai suara Anta menyentaknya.

"Sekarang bukannya rangkaian anniversary? Dan besok puncak acara. Harusnya lo sibuk di sekolah."

Andra berbalik lalu menemukan Anta sedang memejamkan mata. "Pusing lagi nggak?"

"Nggak."

Bohong. Dunia Anta serasa berputar putar jika ia membuka mata, pandangannya buram, jadi nyaris tak ada bedanya antara membuka mata ataupun tidak. Hanya saja Anta berusaha menyamarkannya. Semakin dikatakan, semakin ia ingat, semakin terasa pening.

Andra menarik kursi yang ada disebelahnya untuk duduk sebelum berujar, "Udah ada Arief sama Kana di sekolah. Kalau mereka butuh gue, nanti di telpon."

"Gue pengen ikut acara besok, pasti seru, apalagi lo ketua panitianya. Pengen liat lo becus apa enggak. Hachep apa malah garing acara garapan lo."

"Kan masih ada perpisahan kakak kelas, gue juga panitia, tenang aja."

Anta terkekeh sumbang. "Semoga gue masih bertahan sampai situ ya "

BrotherhoodTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang