4. Sebuah Rahasia

25 1 0
                                    

Andra bisa menebak dengan tepat, mereka mengajaknya menonton konser. Ia tidak komplain karena dasarnya ia suka musik, tapi terhimpit di kerumunan yang didominasi cowok-cowok yang tak dikenalnya tentu membuatnya risi. Meski merupakan gadis buas nan ganas yang menguasai mixed martial arts, ia benci sekali situasi dimana sebagai perempuan justru dirinya lah yang harus mengalah demi keselamatannya sendiri.

"Anta?" Andra mulai mencari teman-temannya ditengah kerumunan yang mencekik, dan musik berdentam. "Nih anak pada kemana?"

Anta mendengar suara sahabatnya, dan cowok itu mengerti. Anta menyelinap masuk diantara sempitnya orang-orang hingga tubuhnya kini berada tepat di depan Andra. Melindungi cewek itu dari orang-orang yang akan menghimpitnya.

"Deva?"

"Hm?" Jawaban kini terdengar tepat dari samping kirinya, cowok itu entah sejak kapan sudah berada di sebelahnya. Menghalau orang-orang disebelah kiri agar tak mendekat.

Secara otomatis Andra mengerti, ia menoleh ke sebelah kanan dan benar saja Agus sudah ada disana, tersenyum kearahnya. Begitu juga dengan Reon dan Radit yang sudah berada tepat dibelakangnya. Walaupun samar, dan tanpa perencanaan, tapi Andra tahu, mereka berlima mengelilinginya, menjadi benteng dari desak orang-orang yang mulai menggila.

Ditengah keramaian, suasana riuh serta dikelilingi sahabatnya Andra terpikir banyak hal. Begitu dekatnya ia dengan sebuah kata bernama perpisahan. Baru saja tadi siang ia siap tak siap sudah harus berpisah dengan Marcell, untungnya ia masih punya "Panca Barbar" yang dengan ajaibnya selalu membuatnya tertawa. Namun, suatu saat ia harus berpisah dengan orang-orang ini. Pasti. Pada saat itu terjadi, apa yang harus ia lakukan?

"Ndra!"

Andra tersentak melihat Anta menarik-narik tangannya seperti kehilangan keseimbangan.

"Anta! Jangan bercanda lo!" Gadis itu merangkul bahu Anta, dibantu oleh Deva di sisi lainnya untuk keluar dari kerumunan. Oh, jangan pikir itu mudah karena mereka rasanya nyaris pingsan karena harus berhimpit-himpitan. Setelah keluar dari para penonton yang menggila, mereka mendudukkan Anta di tanah dengan panik.

Radit menepuk-nepuk--ah, menampar-nampar pipi putih cowok itu sampai memerah. "Woy, Nta, masih sadar kan lo?"

Anta mengangguk lemah. "Sadar gue."

"Badan lo masih panas," rutuk Andra. "Lo bisa kejang kalau maksain terus. Kampret!"

Deva menatap Andra heran.

"Awalnya gue kira, gue kecapean. Ternyata," Anta tiba-tiba membuka mata lalu nyengir, membuat teman-temannya kaget. "Gue laper."

"Bangke!" seru Andra, Radit, Reon dan Agus bersamaan sembari menabok wajah cowok itu bergantian.

***

"Lo besok nggak usah latihan basket deh," ujar Andra sembari menelan beberapa sendok sorbet mangga-stroberi. Sendoknya mengacung ke arah lawan bicara. "Harus jaga kondisi, takutnya lo drop dua hari lagi."

Berkat ulah iseng Anta, mereka akhirnya mendaratkan diri di sebuah kedai makanan dekat sekolah karena malas kembali ke kerumunan. Anta sudah makan sup jagung beserta susu vanila hangat. Makanan yang tak mungkin dibeli jika dia sehat. Pantas saja martabak red velvetnya aman.

BrotherhoodTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang