5. Invasi Masa Lalu

31 1 0
                                    

"Latihan basket, Dek?"

Bima, kakak kedua Andra yang baru saja sampai di rumah bertanya sambil melepas sepatu. Bila dilihat dari penampilan yang kacau, serta tas besar di punggung, Andra berasumsi cowok itu pasti dari kampus. Entah apa yang dipelajari oleh mahasiswa hukum itu sampai-sampai wajah tampannya jadi dekil begitu.

"Mau dianterin? Kebetulan motor belum dimasukin garasi tuh."

Tanpa mengalihkan mata dari dispenser, Andra menggeleng sebagai jawaban. "Istirahat aja, aku dijemput temen-temen."

"Terserah." Bima mengangkat bahunya santai. "Inget hati-hati ya. Kalau pulang telat inget kabarin, kalo nggak Bang Nova marah besar ntar," ucapnya sembari berjalan menuju kamar.

Kalau urusan kegiatan di luar sekolah, kakak keduanya inilah yang paling mendukung penuh.

Pukul dua lebih tiga puluh menit sore itu, Andra sudah siap menenteng tas yang selalu dibawanya saat latihan. Ia memasukan handuk, kaos oblong polos, serta dua botol air minum. Satu botol untuknya dan satu botol untuk ... ?

Untuk siapa?

Andra mendebas. Diletakkannya salah satu botol yang batal ia masukan ke dalam tas. Saat itulah terdengar suara kekehan yang menyebalkan dari seseorang dibelakangnya.

"Masih aja jadi asistennya Kapten."

Andra berdecak dongkol. "Gue nggak minta pendapat, sorry."

"Ck, bawa aja kali dua botol, Deva biasanya jarang bawa minum, biar enggak satu botol berdua ganti-gantian sama lo, nggak sehat tau."

Andra mengulum senyum. "Tadi udah gue ingetin di sekolah, biar nggak kebiasaan dia, Nta," ujarnya sembari menahan senyum.

Eh, tapi tunggu! Anta?!

"Anjrit! Lo kapan datengnya?!" Andra berseru diiringi mata yang membulat ketika sadar Anta berada dibelakangnya sembari cengar-cengir sinting. "Lo dah kaya jelangkung, datang tak dijemput pulang nggak diantar," desisnya.

"Lah, lagian ngapain gue dianter jemput sama lo? Gue kan bawa motor," jawabnya cuek. Cowok itu tersenyum tengil tanpa rasa bersalah. Ia sudah berpakaian basket lengkap, dibalut jaket parasut hitam merchandise band yang baru dibeli kemarin. Padahal Deva sudah melarangnya datang latihan. "Gue belum makan, buatin gue bubur ayam!"

"Dih, gamau!  Udah hampir jam 3, nanti telat. Males gue dihukum."

"Jam latihan diubah barusan jadi jam 5. Kebiasaan banget deh mantan lo."

"Jangan bilang mantan."

"Loh?" Anta tersenyum meledek. "Kan memang dia bukan pacar lo lagi sekarang. Masih gak rela lo?"

"Enggak gitu." Andra terdiam sejenak, terimakasih pada Anta yang membuat mood Andra kembali uring-uringan. "Ya gue geli aja dengernya. Berasa ababil banget."

Anta memajukan bibir bawahnya meledek.

"Masak sendiri sana! Tapi maaf, gak ada penyedap rasa ataupun mie instan, bisa ngamuk Mama kalau tau ada barang terlarang itu di dapur." Gadis itu melempar tasnya ke bawah meja lalu menjatuhkan diri ke atas sofa.

"Ah elah. Gue ada juga kali bibi di rumah. Gue mau masakan lo pokoknya."

"Tapi gue mager."

"Gue maksa."

"Gue nggak mau dipaksa."

"Oke, gue minta tolong." Cowok itu tersenyum lebar sampai gigi depannya nyaris kelihatan semua. "Ya? Ya?!"

"Nyusahin lo!"

***

Sembari menunggu waktu berangkat, Andra memilih mencorat-coret yearly planner-nya ditemani Anta yang sedang duduk di sofa sambil makan bubur dengan lahap, tanpa menawarkan, tak bisa diganggu, dan tentu saja, tanpa terimakasih. Gadis itu melingkari dan memberi beberapa tanda di kalender dengan spidol berwarna, kesibukan itu pada akhirnya membuat Anta penasaran juga.

BrotherhoodTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang