"Hey, Wizard!" teriak Tony saat masuk ke dalam Sanctum, dengan setelan jas dan kacamata hitamnya.
"Ada keperluan apa kau datang kemari, Tony?" jawab Stephen yang telah berdiri di depan pengunjungnya tersebut. Tony mengeluarkan sebuah kertas undangan, lalu membuka kacamatanya.
"Aku ingin kau datang ke pesta ulang tahun pernikahanku dan Pepper, nanti malam. Hanya pesta kecil-kecilan, memang. Aku tahu, harusnya aku tak perlu memberikan kertas seperti ini." jelas Tony kembali memasukan kertas tersebut.
Padahal Stephen hendak mengambil kertas tersebut, dia hanya bisa menarik napasnya dalam-dalam. Menahan dirinya agar tak melempar sesuatu ke arah Tony.
"Aku juga mengundang Alice. Jika kau tak keberatan." sambung Tony sambil mengangkat kedua alisnya. Stephen hanya bisa menatap Tony sambil mengerutkan dahinya.
"Oh, hai Paman Tony. Ada apa kau datang kemari?" tanya Alice yang tiba-tiba sudah berada di belakang Tony.
Stephen mengerutkan dahinya semakin dalam. Alice bahkan tak melirik atau menyapaku, pikirnya.
"Hai, Alice. Kebetulan sekali. Apa kabarmu, nak?" Tony mendekat ke arah Alice sambil mengusap pucuk kepalanya.
"Aku luar biasa, baik Paman Tony." ujar Alice dengan senyuman yang lebar.
"Aku ingin mengundangmu ke pesta ulang tahun pernikahanku. Ku kira kau ada di rumah, tapi May bilang kau selalu pergi ke tempat Stephen setelah pulang sekolah. Jadi aku langsung meluncur kemari." jelas Tony kepada Alice.
Stephen yang sedari tadi tak dihiraukan oleh Alice, masih menatap kedua sosok yang tengah mengobrol akrab tersebut, dengan tajam.
"Tentu saja. Kenapa Peter tak memberi tahuku?" gumam Alice di akhir kalimatnya, sambil menyentuh dagunya.
"Aku belum memberitahukannya, sama sepertimu, dia tak pernah ada di rumah saat pulang sekolah." jawab Tony, sambil mengangkat bahunya ke arah Stephen.
Tony berpikir bahwa Alice juga menganggap Stephen sebagai sosok ayah kandungnya, sebagaimana Peter padanya. Meskipun Stephen masih terlihat menyangkal, tetapi Tony dapat pastikan bahwa Stephen menganggap Alice sebagai anaknya, atau paling tidak adiknya. Tony bisa merasakan itu.
"Apa Paman Stephen akan ikut?" tanya Alice, pada akhirnya ingat akan kehadiran Stephen. Alice menatap pria berbaju biru gelap tersebut dengan penuh harap.
"Tidak." tegas Stephen. Tony kaget sekaligus merasa geli hatinya saat melihat ekspresi Stephen, karena dia tampak memaksakan diri untuk bersikap tegas.
"Oke. Lagipula dengan atau tanpa Paman Stephen aku akan tetap datang." sergah Alice, untuk menutupi rasa kecewanya. Tapi tetap saja, nada bicaranya bisa menunjukkan bahwa ia kesal, dan lagi rasanya Alice tak perlu berkata seperti itu.
"Tunggu, apa?!" pekik Stephen ke arah Alice.
Tony yang sadar bahwa mereka akan mulai sebuah perdebatan, memakai kembali kacamatanya lalu berpamitan kepada Stephen.
"Aku akan pergi, lalu kalian bisa kembali berdebat." tukas Tony, lalu berjalan keluar Sanctum.
Stephen menghela napasnya lalu menatap Alice yang juga tengah menatapnya dengan kesal, namun tak lama langsung membuang muka. Stephen langsung berjalan menuju ruang baca tanpa berkata. Tak lupa Alice juga mengikutinya.
Mereka berdua duduk di sofa mereka masing-masing, masih dalam diam.
"Kenapa kau berbicara dengan suara keras seperti itu?" tanya Stephen, memecah keheningan.
KAMU SEDANG MEMBACA
[End] Alice and Uncle Doctor : Daily Life
Фанфик🆙Write in Bahasa🆙 "Ini bukanlah Alice in Wonderland." Sebuah kisah keseharian Alice Parker bersama penyihir super idolanya. Alice baru pindah kembali ke New York, bersatu kembali dengan kakaknya yang ternyata merupakan superhero, setelah beberapa...