Accompany

748 81 2
                                    

Tampak seorang gadis berlari dengan cepat dipinggir jalan. Entah apa atau siapa yang mengejarnya dan entah apa atau siapa yang dia kejar. Ia terus berlari, hingga ia masuk ke dalam sebuah rumah besar.

"Ya tuhan. Hampir saja." gumam gadis berambut kecoklatan tersebut sambil mengambil oksigen sebanyak mungkin ke dalam paru-parunya.

"Apa yang sedang kau lakukan disini, nak?" Gadis tersebut hampir berteriak saat tiba-tiba ada seorang pria berpakaian aneh seperti semacam kimono. Hanya saja, dia memakai jubah berwarna merah. Lalu beberapa helai rambut di atas telinganya sudah memutih. Menambah keanehannya.

"Uhm ... Bersembunyi." balas gadis tersebut sambil tersenyum senormal mungkin.

"Kau seharusnya tak bersembunyi disini, gadis muda." ucap pria tersebut mulai turun dari tangga untuk menghampiri gadis tersebut.

"Namaku Alice." Gadis bernama Alice itu mengulurkan tangannya. "Namamu siapa tuan?" ucap Alice dengan polosnya. Ia bahkan tak merasa takut dengan tatapan tajam yang dilemparkan pria tersebut.

"Doctor Strange." jawab pria tersebut mengabaikan uluran tangan Alice.

"Oh, salam kenal, Tuan Doctor." ucap Alice dengan polos sambil menarik kembali tangannya. Ia benar-benar berpikir bahwa itu benar-benar nama pria tersebut.

"Namaku Strange ( Aneh)." balas pria tersebut sambil memutar bola matanya dengan malas. Selalu saja, seperti ini.

"Tidak. Namamu tidak terlalu aneh." ucap Alice, berbohong. Jujur saja doktor adalah nama yang aneh. Bukankah itu nama suatu pekerjaan, pikirnya dan juga penampilan pria tersebut memang aneh.

Pria tersebut membuang napasnya dengan kasar. Sepertinya, dia harus berhenti menambah kata doktor di depan namanya. Tapi ia tak bisa melepaskan gelar tersebut.

"Stephen Strange." ucap pria tersebut. Ujung jubahnya tiba-tiba bergerak dan memaksanya mengulurkan tangan. Alice yang sadar bahwa jubahnya hidup, langsung melebarkan matanya.

"Namaku Stephen Strange." ulang pria bernama  depan Stephen tersebut. Baru kali ini, ia menyebutkan namanya tanpa tambahan doctor di depannya.

Alice kembali mengulurkan tangannya dengan bingung untuk bersalaman dengan Stephen. Dia masih terus menatap jubah merah tersebut. Hingga ia merasakan tekstur yang aneh pada kulit Stephen.

"Wow." gumam Alice saat melihat bekas luka pada tangan Stephen. Jubah merah tersebut kembali bergerak sendiri lalu menutupi tangan Stephen.

"Oh, maaf. Harusnya aku tak menatap tanganmu seperti itu." ucap Alice sambil menggaruk pipinya yang tidak gatal.

"Jadi jubah itu—” kata-kata Alice terpotong saat seorang pemuda masuk ke dalam rumah tersebut.

"Alice, jangan pergi begitu saj— oh hai, Doctor Strange." ucap pemuda tersebut saat melihat Stephen yang berdiri di samping Alice.

"Apakah kau mengenal gadis muda ini, Peter?" tanya Stephen kepada pemuda tersebut sambil menunjuk Alice yang mulai bersembunyi dibelakangnya.

"Dia adikku. Maafkan aku karena dia menganggumu." ucap Peter sambil melirik adiknya tersebut dengan tatapan yang tajam. 

Jubah milik Stephen mendorong Alice untuk maju ke depan Peter. Awalnya Alice meronta, namun pada akhirnya dia pun mau menghampiri Peter.

"Sebaiknya kita pulang, Alice. Bibi May sudah menyiapkan makan malam." ucap Peter sambil menggandeng lengan sang adik. Mau tak mau, Alice pun menuruti perkataan Peter. Mereka berdua pun berpamitan.

"Kau tak bisa masuk begitu saja ke rumah seseorang." ucap Peter saat mereka sudah cukup jauh dari rumah Stephen.

"Aku kira rumah besar itu sebuah toko atau semacamnya." ucap Alice berbohong. Tentunya dia tahu perbedaan antara toko dan sebuah rumah.  Lalu dia pun tahu alasan kenapa ia masuk ke dalam rumah besar tersebut.

[End] Alice and Uncle Doctor : Daily LifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang