Bab 6: The Proof of Love

2K 283 35
                                    

Kereta udara dari Rugyan terbang menuju gerbang Istana Merapi. Patih Catrasamba, Panglima Dagdha, bersama ksatria Rugyan turun dari kendaraan mereka dan menaiki anak tangga menuju istana dengan berjalan kaki. Jika mereka ingin mengajukan pinangan sakral, mereka harus sesopan mungkin. Jangan sampai lamaran ditolak karena berbuat ceroboh.

Selendang dan jubah berbenang perak melambai ditiup angin. Rasanya hangat sedikit kering menerpa kulit. Di atas anak tangga ada gapura yang dijaga oleh jin bertubuh tinggi besar. Ketika tiga utusan Rugyan tiba, sepasang mata dua penjaga itu bergerak memperhatikan gerak-gerik mereka hingga lehernya juga ikut menoleh seperti mesin yang diputar.

"Dari mana kisanak?" tanya salah satu penjaga setelah keduanya maju dan menyilangkan gada demi menahan tamu di gerbang.

"Kami dari Rugyan. Kami ingin menemui Raja Reitalungga atas perintah Raja kami."

"Apa yang kalian bawa?" tanya jin penjaga lainnya ketika melihat sebuah nampan yang dibawa oleh Ksatria Rugyan.

"Kami membawa hadiah untuk Rajamu dan Pangeran Alingga."

Penjaga tadi maju. Setelah menyibak kain penutupnya dan memastikan bawaan itu aman, penjaga mengijinkan tamu masuk.

"Baik. Silakan, Kisanak."

Utusan Raja Rugyan melanjutkan perjalanan dan tiba di halaman luas. Halaman itu tidak hanya berfungsi sebagai jalan menuju ke istana, melainkan sebagai arena berlatih kanuragan bagi para prajurit dan ksatria. Terkadang putera-puteri raja juga berlatih di sana jika ingin tanding beradu ilmu.

Hanya tinggal sedikit lagi utusan Rugyan sampai di pintu istana ketika wangi dari rumpun kembang Edelweis tercium. Kembang itu tumbuh dan ditata rapi di sekeliling halaman. Angin semilir yang membawa wewangian bunga Edelweis membuat betah. Sayangnya harum ini hanya bisa tercium jika mereka bisa menembus Acalapati.

Pangeran Alingga berdiri di depan pintu menyambut utusan dari Rugyan. Jubah panjang yang biasa dia gunakan saat sedang berada di istana semakin membuatnya menarik untuk dipandang. Andai saja Raja Rugyan melihatnya, pasti raja tak 'kan bisa berpaling. Jin Cundamani Dahayu memang elok seperti julukannya.

Pangeran Alingga sedikit berjinjit untuk melihat ke belakang tiga orang tamu. Mungkin saja Raja Rugyan berjalan di belakang mereka. Tapi sepertinya Pangeran harus kecewa karena kangmasnya tidak ada. Pangeran pun mencebil. 'Kau seharusnya datang padaku untuk minta maaf, Kangmas,' gerutu pangeran dalam hati.

"Gusti Pangeran Alingga," sapa Patih Catrasamba tersenyum ramah. Jarak mereka sekitar tiga meter.

TING

Namun, siapa sangka sembilan belas putera-putri Raja Reitalungga muncul dengan mengangkat senjata. Mereka memasang badan di depan adik bungsu mereka sehingga mau tidak mau patih, panglima, dan Ksatria Rugyan mundur teratur. Indikasi permusuhan dan ketidakpercayaan tercium. Karena itu mereka bertiga memutuskan akan mengalah demi rajanya.

"Kalian utusan Rugyan sedang apa di Acalapati?"

"Maaf Pangeran Jagadditha, kami datang untuk suatu tujuan," jawab Patih Catrasamba sopan.

"Tujuan apa? Apa kalian ingin berperang?" tanya Gajendra sambil berkacak pinggang. Dia tidak senang dengan kedatangan utusan Rugyan.

"Kami tidak ingin berperang, Pangeran," kali ini Panglima Dagdha yang menjawab.

"Raja kalian telah menyakiti adik kami----Alingga. Bagaimana mungkin kami percaya dengan kalian?" seru Payoda.

"Kakang, Yunda, biarkan mereka masuk." Pangeran Alingga berusaha menenangkan kakak-kakaknya. Namun sepertinya tidak mudah.

Wedding Proposal The King Of RugyanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang