Bab 8: Arak

1.8K 227 28
                                    

Hari itu cerah. Matahari bersinar keemasan menerangi bumi di perbatasan Tanah Rugyan. Sosok jin pria berjalan mematahkan daun-daun dan ranting kering. Namun, hujan yang tertahan selama beberapa hari, tidak menghalangi tanaman liar untuk tumbuh subur di sela-sela bebatuan, karena mata air kecil di dekatnya. Mereka menjadi hiasan di antara beraneka ragam bentuk batu.

Raja Rugyan telah beberapa hari mengembara. Selama itu juga dia pergi mengikuti ke manapun kakinya melangkah. Dia buta tentang perbuatan baik, karena selama ini yang dia tahu hanyalah strategi perang, bagaimana cara mengintimidasi, serta merusak. Sejak kecil dia diasuh untuk menjadi pribadi dominan dan cikal bakal penguasa. Akibatnya, selama dalam perjalanan meninggalkan istana, dilalui tanpa ada perbuatan berarti.

Tiga hari terbuang sia-sia.

Suatu hari, raja berpapasan dengan sosok berpakaian compang-camping. Dia berdiri di hadapan raja seraya menadahkan cawan kecil. Cawan itu terbuat dari sisa kelapa kering seadanya. Sangat berbeda dari perabotan istana yang serba mewah nan berkilau.

Dari berbagai sisi manapun sosok asing itu tak seperti jin dari kaum bangsawan. Jadi, raja hanya melewatinya tanpa berkata apa-apa. Dia meremehkan sosok itu. Ini fatal. Raja tidak menyadari senyum seringai di balik wajah kusutnya.

Leik Rakmaronk terus berkelana bersama sang abdi setia. Hingga saat di mana dia menemukan jalan buntu, Leik Rakmaronk pun berhenti untuk berpikir. Sepanjang hidup, baru kali ini dia tidak bisa memutuskan maupun menerka tentang apa yang seharusnya dilakukan. Bahkan selama masa belajarnya dahulu, Leik Rakmaronk tidak peduli pada bagian materi pada Bab Welas Asih. Dia pikir materi itu tidak berguna dan hanya membuang waktu.

Sekarang barulah dia menyesal, karena dia lebih memilih menganggu naga gurunya daripada belajar pada bab membosankan.

"Aswa, kita istirahat dulu di sini!"

Tubuh Aswa diselimuti cahaya putih. Kuda sembrani tunggangan raja menjelma menjadi sosok pria. Abdi setia Raja Rugyan tersenyum lebar, tak ayal telinga runcingnya bergerak-gerak pelan. Dengan semangat dia membungkuk.

"Hormat hamba, Prabu," sembahnya bersimpuh dengan telapak tangan saling menempel.

"Jangan panggil aku Prabu saat kita sedang berbaur."

"Maaf, Prabu ... eh, maksudku Tuan. Aku sudah terbiasa dengan panggilan itu. Tuan adalah junjunganku. Mana pantas aku berbuat kurang ajar? Tapi kalau Tuan maunya begitu, maka aku akan memanggil dengan sebutan Tuan Besar Leik. Hahaha."

Raja melirik sekilas sebelum bersiap pada posisi bersila di atas batu. "Hanya bila berbaur dengan rakyat jelata, Aswa. Jangan sampai penyamaranku terbongkar gara-gara kau."

"Ampun, Tuan! Aku tidak akan mengulanginya lagi. Ah, sayang sekali kesayangan Tuan tidak ada di sini."

"Maksudmu siapa?"

"Tentu saja Pangeran Alingga. Melihat dia terluka----apa dia ... baik-baik saja?" tanya Aswa hati-hati. Bukankah kejadian waktu lalu sangat tidak pantas. Aswa juga berada di dekat mereka dan melihat apa yang dilakukan oleh raja. Apa ini termasuk mengintip?

Mata Raja yang semula terpejam kemudian terbuka. Tidak disangka Raja murka. "Aswa! Berani sekali kau!"

"Ampun, Tuan! Aku hanya bertanya karena saat langit mengamuk, aku ada di sana juga. Kuharap Tuan jangan cemburu. Hahaha!"

Leik Rakmaronk menghela napas dan menendang Aswa hingga jin dari suku siluman kuda itu terjerembab ke tanah. "Dia baik-baik saja. Yang terpenting sekarang aku harus fokus pada tujuan mengumpulkan kebaikan."

Aswa cemberut. Sambil mengusap-usap bahunya yang ditendang, dia membiarkan raja berpikir dalam posisi semedi. Selagi Tuannya tetap dalam kegiatannya, pandangan Aswa beralih pada rumput-rumput hijau. Seketika matanya berbinar. "Makanan!" Aswa menerjang lalu berguling di atas rumput. Dia memasukkan rerumputan ke dalam mulut hingga pipinya mengembung.

Wedding Proposal The King Of RugyanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang