Bagian 10

17 3 2
                                    

"Shit," Untuk yang kesekian kalinya Galih mengumpati motor gede merahnya itu. Sudah 15 menit berjalan laki-laki itu tidak menemukan adanya bengkel. Dan juga ponselnya yang kehabisan daya, benar-benar sial. Sampai kapan ia harus menuntun motornya yang pecah ban itu?

Satupun tidak ada kendaraan yang lewat. Jalan yang ia lewati malam ini benar-benar sepi.

Galih berhenti sejenak untuk mengatur napasnya. Pandangannya lurus ke depan. Memikirkan berapa lama lagi ia harus berjalan.

Tiba-tiba di ujung jalan, Galih melihat... tunggu, itu orang atau...? Pria itu menajamkan penglihatannya, jantungnya berdetak tak karuan. Apa dia takut? Iya, sedikit. Pikirannya melayang kepada film mayat hidup yang serng ia tonton. Zombie.

Tidak mungkinkan ada zombie di dunia nyata ini? Galih terkesiap saat sesuatu yang ia curigai sebagai zombie itu berjalan semakin mendekat. Galih tidak bisa bisa memastikan apakah itu manusia atau bukan. Karna wajahnya tertutup dengan rambut panjang hitamnya. Kedua tangan memeluk tubuh. Dan ia... menangis.

Bulu kuduk Galih semakin merinding, apakah ini yang namanya kuntilanak. Tapi kenapa kuntilanak memakai rok hitam pendek.

Galih memberanikan diri untuk berjalan semakin dekat. Sehingga ia mendengar dengan jelas suara tangisan itu. Tangisan yang memilukan.

Galih memandang wanita yang ia kira kuntilanak itu dari atas sampai bawah. Ia menghembuskan napas lega saat melihat kaki telanjang wanita itu menyentuh tanah. Itu bukan kuntilanak, tapi MANUSIA. Haihhh kalau kedua sahabatnya tau habislah dirinya dibully.

"Mbak... mbak manusia bukan?" tanyanya saat wanita itu sudah berada di dekatnya. Namun wanita itu tidak menggubris, ia terus jalan melewati Galih.

Sebentar... kenapa Galih merasa tidak asing dengan wanita itu?

"Mbak tungg--"

"JANGAN SENTUH." Galih terksiap mendengar teriakan wanita itu, dan suaranya... tidak salah lagi. Dengan gerakan cepat Galih membalikkan tubuh wanita itu dan mengangkat paksa dagunya.

Deg!

Wajah itu, wajah yang akhir-akhir ini selalu menghantui pikirannya, wajah yang akhir-akhir ini terus membayanginya, wajah yang selalu ia rindukan. Tapi....

"Apa? Mau menghina lagi? Iya? Silahkan hina aku Galih! Silahkan. Kamu benar, aku wanita murahan, aku hina Gal, aku hina!"

"Laura... kenapa?" Otak Galih tdak bisa mencerna dengan baik apa yang ada di hadapannya saat ini. Penampilan Laura yang acak-acakan, lengan bajunya yang sobek hingga mengekspos bahunya. Mata indah yang menjadi favoritnya sirna, tidak ada lagi cahaya di sana. Air mata yang terus mengalir deras. Ada apa ini?

Laura benar-benar kehilangan mukanya di hadapin Galih saat ini, ia tidak mampu menghadapi mantan kekasihnya itu. Dengan langkah cepat Laura pergi dari hadapan Galih, lari sejauh mungkin. Tanpa ia tau di belakang Galih ikut mengejarnya sampai lengannya kembali di raih oleh cowok itu.

"Lepasin Galih, biarkan aku pergi!"

"Nggak Laura, jelasih apa yang terjadi?"

"Buat apa? Apa kamu nggak bisa liat sekarang? Kamu bisa liat keadaan aku. Sekarang aku terlihat seperti yang kamu bilang. MURAH--"

"Cukup!" Galih langsung merengkuh tubuh Laura ke dalam pelukannya. " Maaf, maafin aku... aku gagal jagain kamu, aku nyesel udah ucapin kata-kata itu sama kamu. Aku mohon, maafin aku." Air mata Galih ikut luruh. Dunianya ikut hancur melihat gadis yang ia jaga selama ini hancur.

"Mereka merenggutnya Gal, mereka mengambilnya dariku, hidup aku udah hancur. Hidup aku udah nggak ada gunanya lagi." Sakit. Disaat sesuatu yang kita jaga hidup dan mati, tapi dengan mudahnya direnggut paksa. Seakan hidup sudah tidak ada gunanya lagi, dan mati, itu akan lebih baik.

Hujan yang tadinya hanya sekedar rintik, sekarang sudah turun dengan derasnya. Membasahi dua insan yang tengah berpelukan dalam pilu. Menyalurkan semua rasa sakit, berharap bisa tersapu bersama hujan.

"Beruntung kamu lepasin aku Gal, karna sekarang aku benar-benar sudah tidak pantas lagi untuk kamu, bahkan berharap pun aku tidak pantas," ucap Laura setelah menguraikan pelukan mereka.

Galih menggeleng pelan, kemudian menangkup wajah Laura. "Nggak, aku selalu merasa beruntung karena milikin kamu, dan aku nyesel udah lepasin kamu. Sedikitpun aku nggak pernah ngalihin perhatian akau dari kamu, diam-diam aku selalu perhatiin kamu dari jauh. Perasaan ini masih sama sayang, nggak berubah sedikitpun. Dan aku mau memperbaiki lagi semuanya."

Tangis Laura semakin pecah, ia tidak tahu harus senang atau sedih. Ini yang ia tunggu-tunggu dari Galih. Tapi tu semua sudah tidak berguna lagi, terlambat sudah. Dengan keadaannya yang seperti ini, Laura tidak akan sanggup berada di sisi cowok itu lagi. Andai Galih mengakuinya sebelum ini, pasti Laura akan merasa menjadi wanita yang paling beruntung. Tapi tidak dengan sekarang. Di saat dunianya telah hancur.

"Kamu ingat, hujan adalah pertemuan pertama kita. Hujan juga sebagai saksi atas debaran pertama aku saat ketemu sama kamu. Dan sekarang, sekali lagi hujan akan menjadi saksi kalau kita akan memulai lagi dari awal." Ya, Galih tidak bisa menahannya lagi. Sudah cukup penderitaan yang ia berikan pada Laura. Tidak akan lagi. 

"Kamu benar Gal, hujan sangat berperan penting dalam hubungan kita, tapi untuk kali ini hujan tidak lagi menjadi saksi untuk kebersamaan kita."

"Maksud kamu?"

"Hujan akan menjadi saksi perpisahan kita. Aku sayang kamu Gal, selamanya." Sejurus kemudian Laura berlari ke tengah jalan, mengakhiri rasa sakit yang terlalu menyesakkannya. Semua sirna. Luruh bersamaan tubuh ringkih yang sudah kini sudah tergeletak di tengah jalan dan hanyut bersamaan darah yang tersapu hujan.

"LAURA!"

LAURA SELAMAT ATAU MENINGGAL? ATAU ADA KEMUNGKINAN LAIN?
jangan lupa tinggalkan jejak.
terimakasih  :)

Lara [HIATUS]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang