Chap # 1

53.9K 2.7K 121
                                    

"Freya, bekal makan siangmu sudah kamu bawa?"

"Sudah, Ma." Aku teringat kotak makan siang yang tersimpan dalam ransel. Kotak kecil itu hampir tiap hari berada di antara peralatan kuliah. Uang saku setiap bulan sebenarnya cukup untuk mengisi perut di luar rumah atau kantin. Tapi ada satu kondisi yang memaksaku memilih menghindari kantin dan mengabaikan pandangan geli orang-orang yang tidak menyukaiku setiap melihatku makan di kelas. Mama mengira aku sedang berhemat karena menginginkan suatu barang.

Di tengah lamunan samar terdengar teriakan Evan, adikku yang baru berusia lima tahun dari ruang tamu. Suaranya sangat kencang. Ketenangan merupakan momen yang jarang terjadi di rumah ini. Hanya saat Evan tidur telinga terbebas dari pekikan. "Evan nanti pergi terapi sama Bi Wiwi, Ma?" tanyaku setelah menghabiskan nasi goreng di piring.

Mama mengangguk. Pandangannya tidak beralih dari lembaran kertas di meja makan. Sesekali tangannya meraih cangkir dan menyesap teh kesukaannya saat sarapan. "Mama tidak bisa mengantar. Hari ini ada rapat."

Kami tinggal berempat setelah Ayah meninggal beberapa bulan sebelum Evan lahir. Orang tuaku menikah muda. Mama masih kuliah saat mengandung diriku. Besarnya cinta pada Ayah yang pada waktu itu hanya karyawan kantor biasa membuatnya berani mengambil risiko termasuk jauh dari keluarga. Sejak awal keluarga Mama tidak menyukai Ayah, bukan karena latar belakang ekonomi tetapi lebih pada perilaku Ayah yang terkenal suka berganti-ganti pacar.

Perjalanan rumah tangga keduanya berlangsung manis hingga kepergian Ayah karena kecelakaan. Saat itu dunia serasa runtuh. Ayah adalah segalanya bagiku. Dia cinta pertama, penjaga sekaligus pahlawan di mataku. Perlu waktu lama untuk menerima kenyataan. Keadaan kami semakin sulit saat Evan didiagnosis mempunyai ADHD. Sejak umur dua tahun dia sulit tenang. Hiperaktif. Sering berteriak dan kadang bicara tidak jelas. Dia seolah tidak memiliki rasa takut. Aku pernah hampir mati berdiri saat Evan tiba-tiba saja lepas dari genggaman saat menyeberang jalan. Beruntung jalanan sedang sepi. Butuh tenaga ektra untuk menghadapinya dan tentunya uang yang tidak sedikit. Biaya terapi Evan cukup besar. Meski selalu tersenyum, aku tahu beban yang Mama tanggung sebagai single parent. Gajinya sebagai pegawai negeri biasa kadang tidak cukup memenuhi kebutuhan kami.

Aku pernah berniat bekerja paruh waktu. Selagi halal apapun akan kukerjakan. Rencana itu terhalang izin Mama. Dia tidak ingin pekerjaan atau materi membuatku mengenyampingkan kuliah.

Demi meringankan pengorbanan Mama, sejak memasuki dunia perkuliahan, aku mencari informasi tentang beasiswa. Persaingan sangat ketat sementara kuota terbatas. Aku sadar bukan tergolong pintar apalagi dikenal sebagai mahasiswa jenius. Yang kulakukan adalah berusaha lebih rajin agar bisa mendapatkan nilai terbaik. Dan perjuangan itu berbuah manis. Aku beruntung terpilih menjadi salah satu penerima beasiswa dari kampus.

Meski mengenal sebagian besar mahasiswa di jurusan yang kuambil, hanya beberapa teman dekat yang kupercaya, Mia, Ditto dan Bian. Mereka memahami kondisi keluargaku terutama Evan. Tidak sekalipun mereka kecewa atau memaksa bila aku menolak ajakan pergi. Begitu juga jika aku harus pulang lebih cepat saat kami mengerjakan tugas kelompok.

Mama sering memintaku menemani Evan setiap kali Bi Wiwi, asisten rumah tangga kami sakit atau pulang kampung. Aku menyayangi satu-satunya adikku. Dia adalah tanggung jawabku selain Mama. Semasa masih hidup Ayah selalu berpesan agar diriku menjaga Evan bila terjadi sesuatu yang buruk padanya. Permintaan yang sangat wajar sebagai orang tua tetapi tidak pernah menyangka semua akan terjadi begitu cepat.

"Sekarang sudah setengah tujuh. Kamu mau berangkat jam berapa? Nanti telat loh." Mama mengumpulkan kertas-kertas itu menjadi satu lalu memasukan dalam map plastik merah. Nadanya agak meninggi, mengingatkan kebiasaan putrinya yang sering menunda-nunda.

LIMERENCETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang