VIII 'Buronan seluruh dunia'

130 28 6
                                    

"Hugo?"

Wajahku berubah pucat, sesuatu terasa sangat menyesakkan dada secara tiba-tiba— sangat sakit.

"Illona, kau baik-baik saja?" Arthur melihat wajahku yang berubah pucat, ia menepuk bahuku khawatir. Aku menggeleng, menepis tangannya pelan. "Ya... baik-baik saja."

Lelaki tua itu tidak menghentikan kalimatnya sampai disitu. Ia melanjutkan, "Itu belum seberapa."

"Kabar buruknya, pemuda itu bahkan berencana untuk menyapu habis seluruh populasi manusia—bahkan kaum-kaum bangsawan yang dianugerahkan kekuatan dari para dewa sekalipun."

Nafasku tersekat—begitu juga dengan Arthur. Wajahnya tampak sangat panik, dapat kukatakan ia terlihat sangat bodoh dengan ekspresinya yang melongo. Namun kuakui, diriku pun tidak kalah terlihat bodohnya dibandingkan Arthur.

Malam hari berlalu dengan perbincangan kami bersama lelaki tua itu, menikmati waktu yang tersisa sebelum bencana besar terjadi—kami lebih terlihat seperti mangsa yang mengulur waktu pembantaian. Arthur tidak terlalu mempermasalahkannya, bahkan ditengah pembicaraan, ia sesekali menyeletuk, "Hei, berapa jam lagi kita akan dibantai?" yang kemudian menuai tonjokan keras di pipinya dariku.

Semakin larut, lelaki tua itu semakin serius menanggapi obrolan kami. Raut wajahnya bahkan semakin muram dan dalam. Menduga-duga bukanlah kebiasaanku, namun lelaki tua ini sepertinya menyembunyikan sesuatu.

"Aku ingin menghentikan Hugo."

Kalimatku spontan menuai ekspresi sumringah lelaki tua itu. Sifatnya absurd sekali—tidak bisa ditebak. Ekspresinya seolah-olah mengatakan "Bingo."

Arthur menghela nafas panjang. "Iya tahu, tapi bagaimana caranya?"

Pikiranku mendadak kosong, terlalu lelah untuk berfikir semakin jauh. Tujuanku sekarang benar-benar melenceng dari yang sebelumnya. Haruskah aku membunuh calon pasanganku sendiri? tanganku sudah benar-benar berdosa.

Mengkhianati keluarga kerajaan, membunuh dua figur penting di Istana, dan sekarang—membunuh Raja para malaikat?

Wow, benar-benar putri idaman.

Penglihatanku mulai kunang-kunang. Aku menggeleng pelan sebagai jawaban 'entahlah' dari pertanyaan yang Arthur lontarkan. Lalu merebahkan diri di tanah. "Aku ingin istirahat. Jangan ganggu."

"Wow—baiklah, Nona Illona." ledek Arthur. Dibandingkan menanggapinya, bagiku lebih baik menjauh dari lelaki tengil itu sebelum naik pitam.








Pagi hari terasa sangat dingin hingga suhu
udara terasa menusuk kulit. Meski lelaki tua itu mengenakan celana pendek, ia terlihat nyaman-nyaman saja, bahkan sibuk mengukir simbol-simbol asing di bebatuan—entah untuk apa. Di satu sisi, Arthur tengah disibukkan mengasah belati andalannya di sampingku.

"Sudah bangun?"

Suara ringan Arthur membuatku semakin nyaman memejamkan mata—dengan alasan jika melihat dia tengah duduk di sampingku, hanya akan membuat suasana hatiku menjadi buruk. 

"Sekarang sudah pukul delapan pagi, lebih baik kalian bersiap-siap." lelaki tua itu kembali membuka suara, tampaknya ia salah satu tipikal orang yang senang memerintah. Arthur menanggapinya dengan helaan nafas, menyenggolku pelan sebagai tanda 'sudah, turuti saja'.

Aku masih tidak mengerti. "Apa maksudnya? memangnya kita mau pergi ke mana?" tanyaku bingung.

Lelaki tua itu mengulas senyum miring. "Ke mana lagi selain ke Istana para Malaikat?" aku masih menatapnya tidak mengerti. Ia berdecak, memutar bola matanya kesal. "Ya tuhan, memangnya kau mau melakukan apa lagi selain membunuh Raja para malaikat?

Kau kan pembunuh."



Tidak.


Perasaan apa ini? kepalaku kembali menjadi kosong, penglihatanku seolah-olah kabur. Sesuatu terasa seperti mengendalikan tubuhku diluar kendaliku. Sebelum semuanya menjadi gelap, yang kudengar hanyalah teriakan Arthur yang berusaha mengalahkan jeritan para Gymph.

Tapi kenapa? bagaimana kaum Gymph bisa mengikuti kami sampai sini?

Arthur terlihat sangat marah—sekaligus terkejut, berteriak mengancam para prajurit Gymph layaknya hewan yang sedang terpojok.


Rasa ini tidak asing...

Tubuhku lumpuh dikendalikan seseorang. 

Sensasi yang sama ketika membunuh Ayah dan Ibu.












"Illona?" Arthur menggoyang-goyangkan tubuhku, raut wajahnya terlihat sangat lega. Rambutnya yang berwarna oranye tampak basah kuyup—begitu juga dengan pakaiannya. Iris matanya yang berwarna hijau menyala tampak lebih redup dari biasanya. Ia menghela nafas panjang, ikut membaringkan tubuhnya di sampingku. 

"Syukurlah kau kembali menjadi manusia." 

Aku terbangun, jantungku masih berdegup sangat kencang. Arthur masih menatapku hampa, seperti biasanya—terlihat sangat santai meskipun pembantaian besar-besaran baru saja terjadi.

"Ketika kita masih berada di gua itu—kau berubah." Arthur terlihat bergidik, berusaha semampunya untuk terlihat biasa saja. "Sangat.... mengerikan."

Aku menaikkan alis tidak mengerti. 

Sedangkan kini, di hadapanku terlihat hamparan lautan yang sangat luas. Entah kapan dan bagaimana kami bisa sampai di sini, yang jelas pulau ini seolah-olah terasa seperti terisolasi.

"Berubah? apa maksudmu?" aku menatap Arthur serius. Jangan sampai melukai seseorang lagi, pikirku.

Seolah-olah bisa membaca pikiranku, Arthur membuang muka tidak tega. Ia menundukkan wajahnya, lebih seperti takut kepadaku.

"Kau... berubah menjadi iblis." ungkapnya sedikit gemetar. "Kau membunuh mereka semua—prajurit Gymph, yang nyaris membunuhku. Bahkan lelaki tua itu—bukan, malaikat maut itu..."

Kalimat Arthur terhenti, matanya berkaca-kaca.

"Kita akan mati, Illona."

Arthur memelukku erat, ia ketakutan.

"Kini, seluruh malaikat akan mengejar kita di dunia manapun kita berada." lanjutnya gemetar.

"Kau bercanda." Aku menatap Arthur tidak percaya. "Lagipula kenapa seluruh malaikat itu mengejar kita? jangankan membunuh, bertatap muka dengan para malaikat itu saja kita tidak pernah, bukan?"

Arthur menggeleng pasrah.

"Lelaki tua itu bukanlah manusia. Ia adalah malaikat maut yang menyamar dan mengirim sinyal kepada prajurit Arsh untuk mengembalikan kita."

Arthur berjengit, kakinya tampak memar-memar. Jelas-jelas ia sudah bersusah payah membawaku ke tempat tidak dikenal ini.

"Parahnya lagi..." ia kembali terkekeh, hendak menertawai nasibnya yang sangat sial— seperti menunggu maut yang tinggal hitungan menit. "Ternyata lelaki tua itu juga memberi tahu kekasihmu, tuh."

Arthur tersenyum miris.

"Sekarang, bagaimana rasanya diburu oleh kekasihmu sendiri, Nona?"


















Black DeathTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang