IX 'Kembalinya Pengkhianat'

116 28 2
                                    

"Lantas sekarang harus bagaimana?"

Arthur kembali membuka pembicaraan setelah sibuk bergulat dengan menggesek-gesekan batang kayu. Jemarinya sibuk mempertahankan suhu api yang kerap nyaris padam oleh hembusan angin. Ia berdecak. "Setidaknya kalau tidak ada ide, bantu aku mengurus api unggun sialan ini!"

"Jika boleh memilih, aku juga lebih baik mati ketimbang diburu seluruh dunia."

Lontaran kalimat yang kuucap lantas menuai ekspresi diam dari Arthur. Ia hanya menanggapinya dengan helaan nafas, kembali mencari beberapa batang kayu di semak-semak. Sepertinya saat ini ia sedang tidak tertarik untuk berargumen denganku.

Kami kedinginan, namun tiada mantel hangat yang mampu melapisi kulit kami dari dinginnya suhu yang menusuk tulang.

Arthur sepertinya berfikiran sama denganku, tidak ada yang bisa kami lakukan selain bertahan hidup dengan kobaran api unggun yang menghangatkan tubuh.

"Hey!" ia beranjak dari tanah, menghampiriku dengan antusias. "Bagaimana dengan kalung Hector?"

"Apa?"

"Kalung itu bisa membuat kita berteleportasi, bukan?" matanya berbinar-binar penuh harap. "Kau masih menyimpannya?"

"Tidak. Kalungnya.... Hancur."

Ia hanya mendengus kasar, melipat kedua tangannya frustasi. Melihat lelaki itu bingung ternyata mampu membuatku tertawa juga. Ia terlihat berbeda sekali saat pertama kali kami bertemu di wilayah Zeline. Jubah hitamnya yang dahulu memberi kesan menyeramkan—kini menampilkan postur tubuhnya yang penuh luka dan memar-memar.

"Kita pikirkan besok saja, aku butuh istirahat."












Pagi hari tiba, dengan Arthur yang masih memejamkan matanya di sampingku.

Kedua kantong matanya menghitam, tenaganya terkuras habis. Arthur terlihat lebih kurus dibandingkan yang sebelumnya.

Penampilanku pasti lebih parah ketimbang Arthur.

Suara desiran ombak terdengar menenangkan dengan hembusan angin yang terasa sedikit dingin. Matahari belum sepenuhnya terbit, namun mampu membantuku mencari sarapan di hutan—jika memang ada.

"Tunggu di sini, Arthur."

Tiga langkah punggungku menjauhi Arthur, tiba-tiba ia menggenggam pergelangan tanganku erat dengan cemas. Ia membelakak. "Ada yang datang."

Belasan perahu besar bertengger di jembatan kayu yang agaknya rapuh, menampilkan ratusan malaikat maut dengan api yang berkobar-kobar mengiringi jubah merah mereka.

Arthur menatap pemandangan langka itu lamat-lamat, memicingkan mata mengamati pedalaman hutan, mencari tempat yang aman untuk berlindung.

Ia menggeleng.

Tidak ada.

Tubuhku gemetar, gelagapan. "A-apa yang h-harus kita lak-uk-ukan?"

"Lari!" seru Arthur.

Kami melangkahkan kaki, melarikan diri.

Arthur terlihat berkeringat tidak karuan. Kakinya sedikit pincang dengan memar-memar yang dipaksakan berlari sekuat tenaga.

Pagi hari kami..... Memicu adrenalin.

Dentuman keras memekakkan telinga, pepohonan besar tumbang memotong jalan di hadapan kami. Arthur menelan ludahnya kasar,

"Kita tamat."

Malaikat maut tersebut mengepung kami beramai-ramai. Jubah merah mereka tampak lebih menyala jika diamati lebih dekat. Arthur memegang tanganku erat. Ia menantang malaikat maut tersebut dengan ancaman konyolnya. "Maju kau, maju sini!"

Kami..... Terlihat seperti hewan yang sedang terpojok.

Mulut Arthur berkomat-kamit tiada henti, ia berdoa sesuai kepercayaan masyarakat Zeline—yang konon memiliki doa manjur saat sedang terpojok. "Tolong beritahu jika ada penyelamat yang diutus oleh tuhan. " gumamnya pelan.

Bondongan malaikat maut tersebut membuka jalan, memberi jalan lurus yang amat panjangnya. Mereka berbaris rapi, menyambut kedatangan sang pemimpin
di ujung barisan. Arthur terdiam mengamati ujung barisan ganjil tersebut.

Suara gemericik air kolam terdengar jelas dengan keheningan yang menyelimuti kami. Suasana semakin tegang, kian lama kian memicu adrenalin.

Kabut tebal menghilang secara berangsur-angsur, ditepi oleh pengawal yang mengobar-kobarkan api mereka dengan gagah. Mereka mengawal seseorang, bukan malaikat.

Orang tersebut mengenakan mahkota yang terbuat dari tengkorak demi-god, dengan jubah berwarna biru yang terjuntai angkuh ke tanah. Senyum miring senantiasa memenuhi kerutan di wajahnya. Pergelangan tangannya dipenuhi oleh gelang-gelang elemen, yang siap sedia mengeluarkan kekuatan mematikan sesuai dengan yang diperintah sang empunya.

Bukan, ia bukan Hugo yang kukenal. Bukan Hugo kekasihku.

Ia.....


"Pengkhianat."



Black DeathTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang