V 'Sungai dan Penyihir '

176 39 5
                                    


Ayah dan Ibu tampak beristirahat dengan sangat pulas di ranjang mereka. Biasanya Ayah dan Ibu berpisah ranjang---bahkan ruangan, mungkin kali ini sedang akur - akurnya.

Meski sangat berat, apakah yang kulakukan sudah benar? bagaimana jika keputusanku ternyata salah? tentu keputusanku akan memberatkan semua pihak. Kau Egois, Illona. keputusanmu bisa saja menghancurkan masa depan kerajaanmu sendiri.

Tetapi yang terjadi di perpustakaan beberapa jam yang lalu bukanlah mimpi semata, ataupun halusinasi. Dan para prajurit itu bisa saja sedang menuju ke kamar ini, bahkan sebelum aku melaksanakan apa yang harus aku lakukan. 

"Ibu, Ayah, 


maafkan aku...."


Jemariku bergetar hebat, sesaat aku menatap pisau yang setia menetap di sepatu boots ku. Setiap tusukan terasa sangat berat. Ayah dan Ibu sudah mendidikku agar menjadi gadis yang berhati dingin. Mereka mengasah penyebab kematian mereka sendiri, dan itu bukan salahku. 

Pemikiran tersebut sedikit menenangkanku setelah pakaianku berlumuran darah biru dan emas----masing - masing dari Ayah dan Ibu. Kini, yang kulihat di hadapanku bukanlah Raja dan Ratu yang menguasai kerajaan Arsh lagi---kerajaanku, namun hanyalah sepasang mayat tidak bernyawa yang tergeletak menyedihkan di ranjang Istana. 

Kumpulan jarum - jarum dan benang didapatkan setelah sekian lama menelusuri ruangan ini, meski agak kesulitan karena tertiban banyak perhiasan dan emas yang Ibu dan Ayah kumpulkan---entah untuk apa. Jariku menjahit lengan Ayah terlebih dahulu, agak awam sehingga bekas jahitannya terlihat tidak sempurna. 

Saking mengganggunya debaran jantungku, jarum yang sedang kupegang sempat terjatuh karena terlalu gugup. "Ibu, Ayah, maafkan aku." pemikiran itu terngiang - ngiang di kepalaku.

Suasana kian mencekam ketika para pelayan terdengar mengetuk pintu berkali - kali. Namun kali ini berbeda, ketukan mereka terdengar lebih seperti sedang panik. Begitu juga dengan aku.


"Nona, kami tahu Nona di dalam! tolong urungkan niat Nona, dewa akan mengutuk kita semua jika Nona tidak----"


"Aku tahu!" namun cinta membuatku buta. Tidak ada lagi nafsu selain untuk mencari Hugo di benakku. Suasana semakin menegang, kian mempercepat dalam menjahit, otot - otot lenganku kian terlihat. "Ayolah, Illona. Sedikit lagi---"


Brak


brak  


"Selesai." 

Kini, aku hanya tinggal mencari kumpulan 4 tanduk legendaris beserta dengan seikat rambut mereka--- dan satu liter darah milik Ciel. "Ibu pasti mengoleksi kumpulan tanduk hewan - hewan legendaris beserta dengan rambut dan kulit mereka."


Lemari.


Aku ingat persis ketika Ibu pernah bercerita mengenai koleksi buruan hewan yang pernah ia simpan di lemari. Maaf, bu, anakmu membutuhkannya saat ini---begitu juga dengan mayatmu. 

"Ketemu." bibirku berkedut ketika menemukan kotak koleksi ibu yang berisikan peninggalan - peninggalan hewan legendaris. Kini, satu liter darah Ciel.


Kalung bersimbol huruf H---Hector, bergelayut tenang di leherku sedari tadi. "Terima kasih, Hector." namun ucapan itu sia - sia, mengingat ia yang sudah tinggal tulang di ruangan misterius itu. Untuk melompat, pastinya


Brakk

Pintu terlanjur terbuka, dengan sigap tubuhku beranjak memapah sepasang mayat yang sudah dijahit tidak manusiawi---menuai tatapan membelakak dari para prajurit dan pelayan, sekaligus jeritan yang diikuti dengan terangkatnya senjata mereka, "Tangkap dia!!!" 


Terlambat, jimat peninggalan Hector membuatku melompat---atau lebih tepatnya berteleportasi menuju ruangan di mana para ilmuwan mengoleksi  darah para bangsawan atau tokoh ternama. Mudah, darah milik Ciel didapat dengan praktis tanpa membuatku kesulitan. 


"Berhasil!" tubuhku melompat lagi menuju ke Hutan Sevire, yang membatasi antar sungai Seiren dengan daratan yang berisikan rumah para penyihir. "Agak kumuh, tapi cukup aman dari para prajurit." 


Setelah selesai menyusun rangkaian simbol yang dibuat dari Kapur barus---hasil curian dari ruangan ilmuwan tadi, mayat Ayah dan Ibu, tanduk - tanduk legendaris, dan satu darah milik Ciel bersatu dalam sekejap. Semua berubah menjadi sebuah kristal seperti yang tertera dalam buku milik Hector. "Sempurna!" seringaian lebar tampak terulas di wajahku, hanya sementara.


"Itu gadis terkutuk dari Istana Arsh!"

"Bunuh dia, sebelum mencelakakkan kita semua!!" 


Teriakan para penyihir memekakkan telingaku---barangkali mereka mencuri sihir dari kaum Gymph. "Oh, sial."


Lari.

Hanya itu yang bisa kulakukan, lari. Meski langkah para penyihir cukup lambat, sihir yang mereka lontarkan nyaris mengenaiku hingga membuatku terjatuh ke jurang. Berlarian di hutan cukup membuat lenganku tergores - gores dan berdarah, menyisakan bercak kebiruan di batang pohon. Kejar - kejaran membuat energiku terkuras lamat - lamat. Ketika aku menoleh sekejap ke belakang, para penyihir itu sudah dekat sekali denganku. 


"Tamat kau, gadis sialan!!"


"Lepaskan aku!" aku berteriak lantang, memberontak ketika kedua lenganku ditahan oleh jemari mereka yang mulus dijanjikan keabadian. 


Mereka banyak, berbondong - bondong. Aku kesulitan bernafas, bahkan nafasku menjadi tidak beraturan. Mulutku meminta pengampunan kepada mereka, meski kutahu akan sia - sia juga.

Mereka melemparku ke sungai Seiren, berharap bakal mati, itu yang kutangkap dari gerakan mulut mereka. Hidup di Istana membuatku kesulitan menghadapi derasnya arus sungai mematikan ini.


Akan ku ingat ini semua, penyihir.

Aku tidak akan mati konyol seperti ini.



Aku akan kembali.











Black DeathTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang