X 'Win-Win'

115 25 1
                                    

"Anda mencintai—mengejar orang yang salah."

Begitu Hugo berkata, mengundang gelak tawa para prajurit. Arthur yang berdiri disampingku hanya menggenggam tanganku erat, "Sabar." katanya pelan.

Tidak, kepalaku mendidih, dadaku panas—kesabaranku terkuras habis. Seolah-olah asap tebal menyeruak keluar dari lubang hidungku, membuat wajahku merah layaknya tomat—membuat Hugo semakin puas mengompor-ngompori perasaanku.

"Kau.... " tanganku bergetar menunjuk Hugo. Lebam, dipenuhi memar-memar dan luka. "Tapi kenapa? Aku sudah bersedia melakukan segalanya untukmu."

Ia tertawa.

"Sebelumnya saya berterima kasih. Anda sudah memudahkan saya untuk membunuh... "

Kedua bola mataku terpaku menatap mahkota berbentuk tengkorak yang terpasang rapi di kepalanya. Ia menyeringai, "Sophia."

Kedua kakiku lemas, lututku terjatuh ke tanah tanpa ragu-ragu. Mentalku jatuh, rusak—dirusak oleh seseorang di hadapanku yang tidak kukenal lagi. "Tapi kenapa, Hugo?"



"Sekali lagi menyebut nama itu, akan kupenggal kepalamu tanpa ragu-ragu." ia mengancamku dengan murka, menuai angkatan senjata para sekutunya. "Saya... Membenci nama itu."


"PENGGAL SAJA JIKA KAU MAU!!" raungku sambil memegang dada. Sesak, sakit, pengkhianatan ini membuat hatiku mati rasa. "BUNUH!!"

Hugo sekali lagi menyeringai, sengaja membenarkan posisi mahkotanya yang sebenarnya tidak miring—kalau bukan untuk pamer. "Hmm..... Sayang sekali jika langsung dibunuh,

tidak seru."

"Tcih." ludahku mendarat tepat di kening Hugo. Arthur menutup mulutnya terkejut, "Oh shit."

Lelaki bermanik mata silver terang itu menatapku dingin, tatapannya kejam, keji.
Sesaat ia terdiam, lalu menjentikkan jarinya antusias.

"Tempatkan mereka di Buih Neraka."

Ia berbalik, punggung khasnya yang terbilang tegap semakin menjauhi tubuhku yang terjatuh lemas di tanah. Arthur membantuku berdiri—meski ia tidak kalah pucatnya dengan wajahku saat ini. "Illona..."

"Aku tahu." potongku cepat-cepat. "Buih Neraka itu....

Mematikan."








Kedua pergelangan tanganku ditahan dengan rantai tak kasat mata. Arthur lebih parah, rantainya ditempatkan di lehernya yang terbilang kurus. Sepanjang perjalanan, sesekali aku menoleh menatap Arthur kasihan, namun ia hanya menggeleng, mengisyaratkan tidak apa-apa.

Kami sudah sampai di gerbang Buih Neraka. Di sini banyak malaikat berjubah merah gelap yang memeriksa setiap inci kereta kuda kami, bahkan tidak lupa menambah rantai untuk memastikan agar kami tidak melarikan diri. Arthur hanya menunduk kosong, tidak berharap lebih selain direbus hidup-hidup di Buih Neraka yang hanya berisikan lahar yang mendidih.

"Illona," Hugo memanggilku parau. "Apa menurutmu kita akan dianugerahi keajaiban lagi?"

Aku mengangguk. "Tentu saja."

Ia membelakak tidak percaya. "Bagaimana bisa?"

Aku menyeringai, jahat.

"Karena jika aku mati....." jariku menusuk leherku yang membekaskan luka bergaris.
"Separuh dari populasi masyarakat Arsh.....

akan mati."


Senyumku semakin lebar. Membuat rahangku sedikit lecet,

"Tidak banyak yang tahu mengenai hal ini,Hugo masih mewarisi darah Arsh."










Kereta kuda kami berhenti tepat di salah satu lubang Buih Neraka. Arthur diturunkan bersamaan denganku, kakinya tidak beralaskan apapun, ujung jarinya sedikit pucat dan biru dengan perubahan suhu di sini yang sangat ekstrim.

"Kau tidak apa-apa?" tanyaku khawatir kepada Arthur. Ia tersenyum lemah. "Tidak apa-apa, sebentar lagi juga mati." sarkasnya.

"Tidak." aku tersenyum menenangkan Arthur. "Kita memang akan mati, tapi tidak dengan cara seperti ini."



"Lalu? Dengan cara seperti apa?"



"Kita......

Akan membunuh sang pemimpin baru itu."


















Black DeathTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang