XII 'Tamat'

215 31 9
                                    

"Apa-apaan ini?" Arthur menatap datar diriku yang panik. Kedua tanganku mencoba untuk mengeluarkan api biru, menjalarkannya ke seluruh tubuhku, namun tetap tidak bisa,


Kenapa?


"Maaf, Na. Kau tidak berubah, masih lugu seperti dulu." cemooh Arthur. Ia menoleh kepada Hugo, menatapnya angkuh dengan dagunya yang sedikit terangkat. "Aku cemburu kau masih menyimpan rasa dengan lelaki itu,"

Aku masih menatap Arthur tidak mengerti. Begitu juga dengan Hugo, terduduk lemas di lantai tidak berdaya.

"Dulu kita adalah teman dekat saat kecil, Illona. Kau, aku, dan lelaki bodoh itu yang akhirnya menjadi pilihan Pamanmu untuk menikahimu." Arthur menahan napas, raut wajahnya terlihat sangat marah—berbeda sekali dengan ekspresi marah yang biasa kulihat. Marahnya kali ini sangat seram—seperti iblis.

"Hugo sialan itu sudah menjadi tunanganmu sejak kita kecil. Namun Paman—Ayahmu, menyuruhku dan Hugo untuk merahasiakannya darimu. Kau sangat polos, murni, dan lugu... Namun harus mengotori tanganmu demi lelaki sialan itu." lanjutnya.


"AKU BERSEPAKAT MENJADI RAJA MALAIKAT, AGAR BISA MEREBUTMU DARI DIA, NA!!" raung Arthur menjadi-jadi. Suaranya menggema, menyusul dari ruangan yang satu ke yang lainnya.

Hening.

Hugo masih menatap Arthur dengan tatapan tidak takut, tatapan benci. "Jika kau mencintai Illona, seharusnya kau memerjuangkannya."

Arthur tertawa pelan mendengar ungkapan Hugo. "Pamanmu mengusirku begitu ia tahu bahwa aku mencintaimu, Na, ia membuangku keluar dari wilayah Arsh. Namun.... Lelaki tua itu, Hector, bersedia untuk mengasuhku dan membesarkanku hingga seperti ini. Lelaki tua itu sangat baik... Terlalu baik."

Arthur menjentikkan jarinya penuh siasat. Mengelilingi Hugo yang terduduk lemas di lantai dengan lengannya yang tertahan. "Aku berjuang keras merebut tahta Raja para Malaikat ini demi dirimu. Setelah itu, aku memberi bumbu-bumbu rumor kepada sang pelayan, bahwa Hugo sialan ini ditahan, dan... BOOM! ternyata benar, kau menyusulnya!"

Hugo membuang muka dari Arthur. Kebenciannya sudah tak terbendung lagi hingga membuatnya mual. "Dasar pengecut." namun Arthur tidak memerdulikan perkataan Hugo, kembali melanjutkan kisahnya dengan santai.

"Berakting menjadi lelaki asing yang rapuh itu menyenangkan sekali rasanya. Oh ya, ilusi yang kemarin ternyata sukses besar! Aku nyaris sekali berhasil membuatmu untuk membenci Hugo... Namun ternyata kau masih menyimpan rasa terhadapnya, tcih, sayang sekali."

Arthur kembali menjelaskan secara rinci kejadian yang lalu, semua ilusi yang ia buat, juga aktingnya yang sukses mengelabuiku. Semua drama seperti terdampar di pulau, dan ketakutan di matanya yang hampir membuatku jatuh hati.

Semakin lama semakin sesak, benci, muak, semua bercampur aduk ketika melihat wajah Arthur yang menceritakan kisahnya secara berseri - seri.

"Bajingan kau, Arthur!" umpatku terang-terangan. Suaraku menggema, menuai angkatan senjata para malaikat maut.


Lari.


Lantai di bawah kami bergetar. Kemampuan telekinesis daruratku sangat berguna disaat seperti ini.

Dinding dan atap bangunan yang mewah perlahan-lahan roboh secara pasti, ada yang menimpa malaikat yang berlalu lalang, bahkan hampir menimpa Arthur di depanku.

Sedang Hugo masih meringis kesakitan dengan jeruji yang menahannya. Api biruku melelehkan jeruji tak kasat mata yang menahan Hugo, kemudian membawanya pergi di kesempatan emas ini. Arthur menggeram. "Ugh... Jangan biarkan mereka kabur!"

Kami dikejar. Mencari pintu keluar di bangunan mewah ini tidak mudah, selain karena barang-barangnya yang padat dan besar, terdapat banyak pintu yang terlalu banyak, amat banyak—menjadikan kami seperti tikus yang tersesat di labirin.

"Lewat sini!" perintah Hugo. Aku menurut.

Kami berhasil keluar. Namun bondongan malaikat yang mengabdi kepada Arthur mengejar kami setengah mati. Kami menyusuri hutan—satu-satunya jalur yang aman ketimbang melewati kota yang penuh dengan malaikat.

"Arrkh!" kaki Hugo kram. Aku berdecak, "Ayolah, Hugo, jangan sekarang! Kita sedang dikejar!" teriakku putus asa. Hanya lari yang ada di pikiran kami, entah kemana, tiada tujuan.

Hugo menggeleng. "Aku tidak bisa, Na, fisikku tidak kuat."

Aku menggeleng kuat-kuat, menjambak rambutku sendiri frustasi. Rombongan malaikat yang mengejar kami terlihat semakin dekat, sihir yang mereka lempar nyaris mengenai kami. Bahkan beberapa dari mereka membawa ular-ular raksasa yang merobohkan pohon-pohon besar di hadapan mereka.

"Hiks... Kumohon, Hugo..."

Hugo berteriak. "PERGI!!"


Hugo mendorongku hingga terjatuh ke jurang. Buram... Semua menjadi buram ketika kepalaku terbentur batang pohon. Namun meski penglihatanku buram, dapat kulihat dengan jelas.

Hugo ditusuk oleh para malaikat yang mengejar kami. Itulah yang terakhir kali kulihat. Aku menjerit.





Sebelum terjatuh, ribuan pertanyaan muncul di dalam benakku. Bagaimana dengan nasib Kerajaan Arsh?


Kerajaan Arsh akan menjadi sejarah belaka. Sang pemimpin telah mati, pun sama dengan pewaris keturunannya. Mati, dalam artian benar-benar mati. Mematikan sebagian populasi Arsh menjadi debu.

Setelah terdorong oleh Hugo dan terjatuh, kedua mataku tidak pernah terbuka lagi.




Lega sekali.





Hugo sayang......


Kita akan beristirahat di surga.















Black DeathTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang