Arthur hanya menggoyang-goyangkan jemarinya bosan. Menatap bisu ke luar jendela, sedikit pasrah dan berharap dewi fortuna kembali memihak malam nanti.
Keberuntungan menyapa kami pagi ini. Hukuman mati kami ditunda, Hugo rupanya belum mempersiapkan magma untuk hukuman mati kami. Meski ia terlihat kejam, Hugo sepertinya masih memiliki setitik empati untuk kami—memilih hukuman mati dengan rasa sakit yang singkat ketimbang menyiksa kami secara perlahan.
"Kita sudah sampai di mana?" Arthur bertanya kepada sang supir. "Kota Zich." jawab sang supir tidak tertarik.
Pemandangan di kota Zich sangatlah mengerikan untuk dilihat. Hukuman mati sesekali terlihat di setiap ujung 500 meter, setiap saat, seolah-olah memang sudah lumrah untuk disaksikan oleh anak-anak. Ada yang dipenggal, dipanah, dibakar, bahkan dimutilasi secara langsung. Arthur menelan ludah menyaksikannya, mengembalikan pandangannya ke arahku. Kota ini memang cocok dijuluki sebagai Kota Neraka.
"Mengapa masyarakat mau tinggal di tempat seperti ini?" Arthur bertanya lagi kepada sang supir. Namun nihil, kali ini sang supir tidak mengubris pertanyaan Arthur.
"Ada yang salah dengan pertanyaanku?" tanya Arthur setengah berbisik. Aku menggeleng. "Kau berisik, sih."
Arthur hanya berdecak pelan, bergumam kesal sembari menatap jendela ke arah langit.
"Arthur." suaraku serak, memanggil Arthur sedikit parau. Ketika hendak berbicara, mulutku bergetar nihil, tidak mengeluarkan suara sama sekali. "Aku tidak punya pilihan lain."
"Apa?"
Wajah Arthur terlihat sama tegangnya denganku. Pun sama, wajahku terlihat pucat seperti mayat. Tidak lama, Arthur tahu maksudku.
"Bunuh diri, eh?" tanyanya spontan. "Dasar gila."
"Bukankah sama saja? ia akan tetap memberiku hukuman mat—" kini tangisku pecah, Arthur mengayunkan sedikit alisnya ke bawah. "J-jangan menangis... Aku tidak tahu harus berbuat apa, Na."
Na.
Illona.
Entah sudah berapa lama aku tidak mendengar panggilan itu selain dari teman masa kecilku...
Ujung mataku melirik Arthur sedikit tajam. "Kalau begitu lakukan."
"Apa?"
"Bunuh aku."
"Apa? D-dasar gila! Lebih baik mati bersama ketimbang harus membunuh satu sama lain!" bentak Arthur, menuai atmosfer tegang dengan raut wajahnya yang tertekan. Ia seperti membuat tembok tak kasat mata diantara kami, takut—sangat takut untuk menyakitiku.
"Kumohon...." pintaku pelan. Arthur masih terdiam marah, tidak menanggapi perkataanku sama sekali.
Arthur masih tidak menanggapiku sama sekali. Bisu. Tidak memerdulikan diriku yang memohon-mohon kepadanya.Perlahan namun pasti, mataku terpejam kelelahan selama beberapa menit.
"Kau tahu, apa yang menjadi penyebab runtuhnya kekuasaan Arsh, Na?"
"Tunggu." pikiranku seketika terhenti, terkejut mendengar bisikan asing dari dalam kendaraan. Tapi siapa? Arthur hanya terdiam menatap ke arah luar jendela. Sedang sang supir masih disibukkan mengendarai kendaraan melewati para anak kecil yang berlalu lalang.
"Musuh dalam selimut..."
"Musuh yang sebenarnya di sini adalah—"
"Na, Illona! Bangun!" aku terbangun. Wajah Arthur di sampingku sangatlah pucat, bulir-bulir keringat tampak turun deras membasahi tubuhnya. Sang supir hanya menatap kami berdua dengan sangat dingin, tidak mengucapkan sepatah katapun.
"Kenapa? Kenapa kau sangat panik?" tanganku menepis tangan Arthur yang sedari tadi memegang bahuku amat keras. Arthur menelan ludah, "Kau mimpi buruk dan berteriak-teriak tadi. Meminta tolong... Kau membuatku khawatir. Sudahlah, kita sudah sampai di kediaman sang Raja."
Jadi itu semua hanya mimpi?
Menjadi buronan beberapa hari ini menyita waktu tidurku—hingga berhalusinasi tidak menentu. Arthur sudah turun keluar lebih dulu dariku, kemudian mengamati setiap inci bangunan yang amat megah di hadapannya—kediaman Hugo.
"Ada masalah?" Arthur khawatir melihat wajahku yang berubah pucat. Aku menggeleng pelan. "Hanya... berhalunasi."
"Aku mau memberi tahu sesuatu." ucap Arthur tiba-tiba, menoleh ke arahku, menatap manik mataku lamat-lamat. Tatapannya teduh, setelah bersama dengannya selama beberapa hari ini, aku baru menyadari—Arthur memiliki tahi lalat kecil di bawah matanya. Rasanya sangat asing, seperti pernah mengenali seseorang dengan rupa seperti itu sebelumnya.
"Apa?" tanyaku penasaran.
Arthur malah menggeleng, menoleh ke depan. "Tidak jadi."
Ingin sekali kutendang bokongnya.
Sang supir memandu kami sampai ke dalam bangunan. Banyak sekali pengawal di setiap pintu ruangan, dan semakin diperketat ketika ruangannya menuju ruangan Hugo. Arthur hanya melongo, ber 'wah' ria menatap barang-barang mewah yang terpampang rapi di ruang tamu.
Kami memasuki lorong yang amat panjang dengan karpet mewah yang digelar di lantainya. Arthur semakin melongo, saking lebar hingga sekepal tangan mungkin cukup untuk dimasukkan ke dalamnya. Aku menegur Arthur dengan sopan, "Mulutmu melongo lebar, tuh."
Arthur menyadarinya, kembali menutup mulutnya rapat-rapat. Telinganya merah padam, seperti tomat yang baru saja matang. "Kita sudah sampai." ujar sang supir singkat.
Kami sudah sampai di depan pintu yang amat besar. Tengkorak yang terpampang di setiap sudut pintunya, hingga perak dan emas yang menjadi hiasannya—cukup memberitahu kami seberapa bahayanya orang yang akan kami temui. Arthur menelan ludah cemas, bulir-bulir keringat dingin membasahi telapak tangannya. "Tenang saja." ucapku pelan. Arthur tersenyum tipis.
Kreek...
"Istriku?" tanya Hugo antusias. "Kau tidak apa-apa, Illona?" tanyanya khawatir.
Tunggu,
apa?
"Aku mendengar kabar bahwa kau sampai membunuh kedua orangtuamu demi bertemu denganku. Aku benar-benar terharu, tapi... itu hanya akan membuatmu terbunuh... maafkan aku." Hugo menatapku dengan sedih, kedua lengannya tertahan dengan jeruji tak kasat mata. Kedua kantung matanya menghitam, tubuhnya sangat kurus—ia tampak seperti tahanan yang tidak diberi makan sama sekali. "Hugo? tunggu, apa-apaan ini? bukankah kau..."
"Pfft... Hhhahahah!" Arthur tertawa terbahak-bahak di sampingku. Tidak, ia... bukan seperti Arthur yang kulihat. Ia bukan Arthur yang ketakutan, rapuh, dan rentan yang kukenal.
"Maaf, tapi kau benar-benar sok pahlawan sekali, Na! suamimu yang menyedihkan itu juga benar-benar menyebalkan. Memintaku untuk segera dibunuh, ia bilang ia tidak sabar untuk bertemu denganmu meski dalam bentuk ruh." Arthur menyeringai lebar menatap kami berdua. Ia tertawa sumringah, para malaikat yang sedari tadi terdiam di sudut ruangan memberi Arthur mantel hangat, juga beberapa makanan dan minuman untuk menyegarkan kerongkongannya. "Nahas sekali nasibmu, Na."
"Akulah yang menjebakmu dari awal," lanjut Arthur.
"Raja para Malaikat yang sebenarnya, adalah aku."
KAMU SEDANG MEMBACA
Black Death
Misteri / ThrillerWanita itu mengarungi dunia malaikat yang tidak seharusnya ia jamah. Kekasihnya menjadi tawanan Para malaikat maut, hingga membuatnya menjadi wanita paling nekat di dunia. Tidak peduli apa yang harus dikorbankan. Tidak peduli siapa saja yang harus...