VI 'Lelaki Asing'

148 35 2
                                    

"Uhuk, uhuk!" 

kali pertama aku terbangun, Sungai Zeline terlihat samar - samar dari kejauhan. Sungai Seiren mesti sudah menyeretku keluar dari wilayah Arsh. Mengingat tentang para penyihir itu membuat dadaku kembali sesak, kebencian kembali menguasai dadaku. Tekadku sudah bulat, 

Akan kuhabisi mereka jika aku berhasil kembali. 

Aku menggeleng. "Fokus, Illona. Tujuanmu saat ini adalah pergi ke Dimensi para Malaikat." rahangku terlihat lecet, namun kakiku lebih. Kali ini tubuhku terbangun di Sungai Zeline, dan itu membuatku sedikit lega.

Meski penduduk di sekitar Sungai Zeline mayoritas sudah cukup berumur, setidaknya itu mampu menenangkanku, mengingat para penyihir takut memasuki wilayah ini---Zeline adalah tempat suci, sarang dari para pemburu penyihir, Hunter.

"Oit," suara ringan terdengar putus - putus di sekitaranku. Tubuhku kembali terjaga, kembali tegap mempersiapkan posisi menyerang. "Sial, jimat milik Hector hilang."

Srek

Srek

"Halo, Nona Buronan." Kukira suara ringan yang kudengar sedari tadi bersumber dari bocah nakal, namun ternyata salah. Salah besar

"Disini." aku mendongak mengikuti sumber suara. Membelakak, membeku di tempat. "T-tunggu---" nafasku mencelos menatap seseorang yang tengah sibuk merajut tali rumput di atasku. di batang pohon.

Laki - laki? jika dilihat dari fisiknya, umurnya pun mesti seumuran denganku. Oh, bagus sekali, awalan yang bagus jika harus bergulat dengan laki - laki yang fisiknya lebih mumpuni. Aku tersenyum kecut, hampir - hampir menertawai nasibku yang sangat sial. "Pertama - tama, aku bukan penyihir, dan---"

"Aku tahu." potongnya cepat - cepat. "Nona, sepertinya anda tersesat?" lelaki itu turun dari batang pohon yang cukup tinggi, hanya dengan melompat. Setengah dari wajahnya ditutupi masker berwarna hitam. Bahunya lebar, tertutup oleh jubah hijau dongker dengan ukiran khas penduduk Zeline di sudutnya. Aku berjengit, hendak mundur menjauhi langkahnya yang mendekatiku. 

"Aku bukan orang yang haus harta, jadi tidak perlu repot - repot membungkusmu lalu membawamu pulang kembali ke Istana Arsh." senyum kentara merekah dari wajahnya, meski tertutup masker hitam gelap. "Keluarga Istana menginformasikan bahwa sang putri melanggar aturan sakral, dan melarikan diri dari Istana." ia sedikit mendongak, menatapku sedikit curiga disertai dengan salah satu alisnya yang naik. 

"Dan.... membunuh dua figur penting di Istana Arsh." 

Belati tajam seolah menusuk dadaku bertubi - tubi saat menerima pernyataan dari sosok asing di hadapanku. Ia tampak menyengir, puas melihat diriku terpojok. "Kau akan mati di daerah manapun, nekat sekali. Pihak Istana akan memberikan imbalan yang lebih jika berhasil menangkap sosok cantik di hadapanku saat ini. Sebenarnya apa yang mau kau lakukan, Nona?" cemoohnya. 

Aku mendengus kesal, paparan detail mengenai keberadaanku yang sudah menjadi buronan kembali membuat suasana hatiku semakin buruk. Sorot matanya tajam, mengisyaratkan getaran kau milikku sekarang.

"Sebenarnya aku sudah tahu tujuanmu, tetapi melihatmu terpojok seperti ini sangat menyenangkan." lelaki berpostur jangkung itu memainkan rambutku dengan tatapan mengejek. "Aku punya tujuan yang sama denganmu, jadi tidak perlu repot-repot mengembalikanmu ke pihak Istana."

Tunggu.

Apa?

"Tidak aman mengobrol di sini. Kalau kau tidak mau mati oleh para Hunter, ikutlah denganku sekarang juga." ia tersenyum cengar-cengir. "Karena yang diburu oleh para Hunter  bukan cuma Penyihir lagi, namun kau juga." aku berdecak, mengikuti langkahnya yang semakin jauh dari pinggiran Sungai dengan berat---mau tidak mau.

Rumah yang lelaki ini tempati cukup nyaman meski tidak terbilang luas. Kasur empuk ditata di sudut ruangan, lampunya pun kedap - kedip, tidak sepenuhnya berfungsi dengan baik. "Kau tinggal di tempat seperti ini?" aku membuka pembicaraan---basa - basi. 

"Ya." jawabnya singkat. 

Lelaki itu melepas jubahnya---memperlihatkan bekas luka yang teramat parah di setiap inci lengannya. Terutama di bahu, bekas luka seperti terbakar oleh mantra para penyihir membuatnya sedikit berjengit saat terantuk meja. "Hati - hati." cuma itu yang bisa kukatakan.

Ia menatapku datar. "Hector mengorbankan dirinya untukmu. Kau pasti orang yang sangat istimewa." sorot matanya mendadak redup, lebih teduh dari sebelumnya. Nafasku tersekat, tahu darimana lelaki ini tentang Hector?

"Kau pasti memiliki sejumlah pertanyaan tentangku." ia menunjukkan liontin yang bergelayut di lehernya sedari tadi. "Aku... adalah anak asuh Hector." 

Aku terdiam, mempersilahkan cowok itu untuk melanjutkan pembicaraan. 

"Singkat cerita, Hector mengadopsiku lalu melatihku menjadi Hunter untuk memuaskan dendamnya kepada penyihir. Yang terpenting, ia menyelamatkanku."

Hector... memiliki dendam terhadap penyihir? bukankah sebelumnya ia juga penyihir?

"Cahaya liontin ini tiba - tiba mati, pertanda bahwa---" kalimatnya terhenti. Sesaat, raut wajahnya terlihat muram, namun mempertanyakannya hanya akan memperburuk suasana. 

"Hector bukanlah kakek - kakek tua yang asal mengorbankan dirinya demi orang lain. Ia mesti sudah memperhitungkannya matang-matang." lelaki itu mengepalkan kedua tangannya, raut wajah frustrasi kentara menyelimuti hingga mengundang keheningan beberapa detik. "Dan ini mesti ada hubungannya dengan sang putri yang melarikan diri dari Istana."

"Aku sudah menduga kau akan melarikan diri dan berakhir di Sungai Seiren," lanjutnya. "Kau beruntung aku menyelamatkanmu dari para Siren mematikan itu. Mengangkutmu sampai ke Sungai Zeline adalah perjuangan yang berat,"

Aku tersenyum lebar, kedua pipiku merona merah kegirangan. "Kalau begitu, kau akan membantuku ke Dimensi para Malaikat?"

"Ya." jawabnya singkat. Masker hitam yang menutupi setengah dari wajahnya terlepas--lebih tepatnya dilepas. 

"Mari kita lakukan ritualnya terlebih dahulu." lelaki itu memainkan jemarinya ke depan-belakang, mengisyaratkan untuk kemari, sepertinya ingin diperhatikan. Tanpa kusadari, batu yang kukira masih tersimpan di dalam sakuku, sudah sibuk dipergunakan oleh lelaki itu.

Ia menyibukkan diri membuat simbol perpindahan dimensi di tengah ruangan seperti yang kulakukan di Hutan Sevire lalu---sedang aku, hanya sibuk mengamati seisi ruangan.

"Selesai." gumamnya pelan. Ia menengok ke arahku, menjulurkan tangannya ragu-ragu, setengah malu setengah enggan. "Mari masuk ke dalam portal bersama-sama."

Pshhhh

Portal biru muncul di tengah ruangan seperti yang disebutkan lelaki itu barusan. Cahaya yang menyilaukan mengisi penuh ruangan, menembus jendela hingga menarik perhatian para warga. Pintu rumah mulai diketuk untuk dipertanyakan apa yang terjadi. Ketika para tetangga berhasil masuk, aku beserta lelaki asing ini berhasil memasuki portal tersebut, menyisakan jelaga di lantai yang berasal dari pakaianku.

Lelaki itu menggenggam erat tanganku.

"Arthur," ujarnya agak keras, menyaingi desingan yang bersumber dari portal biru. "Namaku Arthur."


Aku, bersama dengan lelaki asing ini---Arthur. 



Berhasil berpindah dimensi.









Black DeathTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang