4 : Kematian

74 11 2
                                    

    Setiap hari, wanita bernama Misaki itu pun merasa semakin tersiksa dengan hanya melihat anak-anaknya. Ia semakin gila. Berbagai pemikiran negatif muncul. Dan tibalah di suatu hari yang sudah diduga akan terjadi. Cepat atau lambat, jika tidak ada yang mendukungnya pasti akan terjadi seperti ini.

Cklek!

"Tadaima. (Aku pulang)." Kata ketiga bersaudara itu bersamaan. Mereka baru saja pulang.

    Sudah menjadi kebiasaan mereka untuk menemui ibu mereka sebelum masuk ke kamar masing-masing. Biasanya si ibu berada di ruang tengah. Mereka pun berjalan menuju ruang tengah. Ternyata sang ibu tak ada disana. Mereka pergi ke dapur. Namun mereka tak melihat sosok wanita paruh baya dengan senyum hangatnya itu disana. Mereka pun beralih ke kamar wanita itu. Mereka membuka pintunya, dan menemukan ada sesuatu yang berada di bawah selimut. Mereka berkata dalam batin, "ah. Mama mungkin lagi tidur."

    Untuk memastikan, mereka membuka selimut tersebut dan berhasil menemukan sosok yang mereka cari-cari. Pooru berkata pelan, "Tadaima." Mizu mengecup kening sang ibu. Namun mereka sadar sesuatu yang aneh. Ibunya sangat sensitif dengan sentuhan.

    Pernah sekali, mereka tak sengaja menyentuh telapak kaki ibu mereka yang sedang tidur. Kemudian sang ibu langsung terbangun dengan spontan.

    Namun kenapa kali ini tidak? Dan rasa-rasanya, ini agak janggal. Keadaan kamar ini terlalu damai. Tak ada suara apapun yang terdengar. Bahkan suara nafas pun tak terdengar. Mulai curiga, Mizu merubah posisi ibunya yang tadinya menghadap dinding menjadi menghadap mereka.

"Ma?" Panggil Mizu.

   Setelah menghadap mereka, betapa terkejutnya mereka. Bagian kasur yang  tadi ditempati sang ibu berubah. Bau amis mulai menyengat. Mereka berharap asalnya bukan dari sana. Pikiran mereka mulai meliar kemana-mana. Apakah ada seorang pembunuh yang masuk kesini? Ataukah ada perampok yang hendak merampok rumah ini? Atau.. mereka sebenarnya enggan berfikir seperti ini. Tetapi..

..apa mungkin sang ibu bunuh diri?

Ah, mereka segera menghapus pikiran buruk mereka dan melihat asal noda berwarna merah tersebut.

    Mata mereka gencar melihat asal noda tersebut. Dan ternyata, asalnya yaitu pergelangan tangan sang ibu. Jelas sudah apa yang terjadi.

"MAMAAAAAAAAA!!!!"

***

    Langit biru mengubah warnanya menjadi abu-abu. Awan-awan gelap berkumpul seakan-akan ikut berkabung. Angin pun terasa dingin seakan-akan mewakili perasaan kehilangan. Dihari yang gelap itu, dilaksanakan pemakaman bagi wanita paruh baya bernama Misaki itu.

   Sang suami yang sedang sibuk bekerja pun rela meninggalkan pekerjaannya saat mendapat telepon dari anaknya bahwa sang istri telah bunuh diri. Ia sangat terkejut dengan pernyataan anaknya itu. Kini, ia menangisi batu nisan istrinya itu.

   Ia menyesal, bukannya membuat istrinya bahagia, ia malah membuat istrinya semakin tertekan. Ia menyesal, seharusnya ia lebih perhatian dengan istrinya. Seharusnya ia menyemangati istrinya itu. Tapi ia malah sibuk dengan pekerjaannya. Sekarang ia merutuki kesalahannya di masa lalu yang sempat bertengkar dengan istrinya hanya karena masalah sepele. Bahkan semua berawal dari masalah sepele tersebut. Sekarang ia bahkan malu untuk menampakkan wajahnya didepan ketiga anaknya. Ia tersenyum miris mengingat hal itu.

   Sedangkan ketiga anaknya, respon dari mereka berbeda-beda. Chesa lebih ekspresif, ia menangis didepan nisan sang ibu. Sedangkan Pooru dan Mizu menatap kosong ke arah makam tersebut---walau biasanya pun tatapannya seperti itu.

    Saat mengetahui bahwa sang ibu meninggal dunia pun, Chesa yang histeris. Pooru jatuh terduduk, namun ia tak menangis. Sedangkan Mizu berdiri mematung sambil menatapi jasad ibunya.

     Makin lama, orang-orang yang menghadiri acara pemakaman itu pun pulang. Hingga tersisa Mizu, Pooru, Chesa, dan ayah mereka. Saat itu, turunlah hujan. Seakan-akan langit benar-benar memahami perasaan mereka.

      Semakin lama, hujan semakin deras. Sang ayah mengajak ketiga anaknya itu untuk pulang dan merelakan kepergian ibunya. Anak pertama dan kedua mengangguk mengiyakan ajakan ayahnya. Namun tidak dengan anak bungsunya. Ia menolak meninggalkan makam ibunya dengan alasan ibunya pasti hanya berpura-pura dan ketika ibunya sudah sadar leluconnya gagal, ia akan membutuhkan bantuannya untuk keluar dari makam itu.

     Sang ayah semakin sedih, ia memeluk putri bungsunya itu. "Udahlah putriku sayang, ayo kita pulang. Mamamu gak akan seneng kalo lihat kamu penuh air mata gini kan?" Si putri bungsu mengangguk. Akhirnya mereka berempat pulang.

***

      Jam sudah berganti menjadi hari, hari sudah berganti menjadi minggu, minggu sudah berganti menjadi bulan. Sudah 4 bulan setelah kematian sang ibu, dan semuanya tidak berjalan baik-baik saja. Mungkin karena sangat terpukul, sang ayah pun mulai sakit-sakitan.

       Kemudian tepat satu tahun setelah kematian sang ibu, kini mereka harus berduka cita kembali atas kematian sang ayah. Jadilah mereka hidup tanpa adanya orang tua.

       Mizu yang berumur 18 tahun itu langsung mencari pekerjaan daripada melanjutkan pendidikan. Hal itu wajar mengingat adiknya masih ada dua yang perlu dibiayai sekolahnya. Belum lagi, keperluan sehari-harinya. Sedangkan Pooru juga ikut mencari pekerjaan. Namun hanya pekerjaan sambilan. Mizu bekerja di pabrik. Sedangkan Pooru bekerja di cafe sepulang sekolah. Si bungsu tak mau kalah, meski baru berusia 12 tahun, kemampuan menggambarnya lumayan bagus. Ia pun membuka art commission.

      Ya, ketiga bersaudara itu berusaha untuk meringankan beban saudaranya yang lain sebisa mungkin. Mereka melakukan apa yang mereka bisa. Karena mereka sadar, kini mereka hanya tinggal bertiga. Sudah tak memiliki ayah dan ibu lagi. Mereka harus tetap bersama agar bisa melanjutkan hidup.

     Walaupun mereka sendiri masih bingung untuk apa mereka hidup, namun mereka tetap berusaha untuk hidup. Karena mereka percaya, tak ada satupun pemberian Tuhan yang sia-sia. Oleh karena itu mereka selalu berjuang untuk melawan arus negatif kehidupan.

    Disuatu malam, ketika mereka bertiga sudah berkumpul karena makan malam, Chesa memulai percakapan. "Mizu-nee yakin gak mau lanjut kuliah?"

Yang ditanya terdiam sejenak, namun kemudian ia menjawab, "Sebenarnya aku pengen. Tapi gimana lagi? Kalo aku kuliah, biaya kehidupan kita gak akan tercukupi. Kalian juga gak akan bisa sekolah."

". . . Terus kalo Pooru-nee gimana? Mau lanjut kuliah?"

"Kalo Pooru mau kuliah ya gak pa--"

"Aku gak mau." Kata Pooru singkat.

"Eh? Kenapa? Kukira kamu mau kuliah. Kamu kan pernah bilang ke aku kan, mau kuliah di universitas XXX itu?" Kata Mizu.

"Pokoknya aku gak mau sebelum onee-chan sendiri kuliah. Gochisousama deshita. (Terima kasih atas makanannya.)"

      Pooru beranjak dari kursi menuju kamarnya. Mizu dan Chesa hanya bisa menatap punggung Pooru yang menjauhi ruang makan. "Yah, gak usah dipikirin lah. Chesa belajar yang bener ya. Kalo ada perlu apa-apa bilang. Gak usah dipikirin soal biayanya. Soal biaya, biar aku aja yang urus." Ucap Mizu sambil tersenyum.

"Iya Mizu-nee."

     Ya, Mizu sudah bisa menggunakan "topeng". Ia harus menggunakan itu agar adiknya bisa tenang. Mungkin ia harus mengajarkan itu kepada adiknya yang bernama Pooru.

Bersambung...

Chap dark ampe sini dulu, nanti pankapan lanjutin :> Ah, ada yang nanya. Kenapa walau buku ini genre comedy, ada bagian darknya? Jawabannya simple.

Hidup itu gak selalu happy bung. Hidup itu penuh masalah. Penuh duka cita. Jadi kalo kubuat dari awal ampe akhir bahagia, apa itu bisa disebut kehidupan? Bukan. Jalanan aja ada kerikil meski di jalan tol pun. Masa cerita comedy juga datar-datar aja tanpa masalah? No :>

See you next chapter!!

-Asahina Mizu-
Kamis, 4 Juli 2019
1127 words

Khong Gwan FamilyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang