tak membutuhkan waktu lama untuk aku membersihkan diri membuat sensasi segarnya masih menyelimuti tubuh pun tetesan airnya terus sibuk berguliran dari rambut buat aku mengusap-usapnya menggunakan handuk berwarna abu berbulu lembutnya.
aku menghentikan aktivitasku ketika melihat bayangan diriku pada pantulan cermin dihapadan yang menampakkan tubuh atasku yang tanpa sebenangpun disana. nampak lebam membiru berukuran sedang pada bahu kananku. lebam tersebut tidak ku ketahui sejak kapan mulai menetap pada bahuku dengan tenangnya, baru saja aku sadari. lantas aku mencoba menyentuhnya dan cukup berhasil membuatku mengaduh akibat reaksi pedihnya ketika disentuh. tidak mencoba bertingkah berlebihan, namun memang terasa sakit. kau bisa menarik kesimpulan sendiri bahwa aku memang benar-benar merasa lelah karena pelatihan yang begitu kerasnya.
lama memperhatikan tubuh pada cermin. mendadak ku tolehkan kepala ketika atensiku tertarik pada sebuah objek yang menggantung pada kaitan yang menempel pada dinding disebelah kiri, kuraih seutas simpul gantung dan kutatapnya sambil menggigiti bibir bawah. harus aku katakan bahwa pikiranku melayang kemana-mana saat ini. apa ini saatnya untuk aku mengakhiri semua hal berat yang menderu hidupku dengan begitu hebatnya? aku menelan saliva dengan berusaha lanjut menggelengkan kepala dengan cergas mencoba menghilangkan bayangan mengerikan dari sana.
aku mulai melangkahkan tungkai tak beralasku dengan lemasnya menuju kamar masih dengan menggenggam seutas tali panjang tebal yang baru saja ditemukan. masih tak berniat untuk keluar dari kamar, berdasarkan pengalamanku eomma tak pernah bermain-main dengan kalimatnya. beruntungnya aku memiliki kamar mandi yang berada didalam kamarku, jadi aku tak perlu keluar terlebih dahulu untuk sekadar buang air kecil lantas berurusan dengannya. sungguh, itu akan sangat menyulitkan jika benar terjadi.
tepat berdiri didepan lemari putih besarku, ku tarik handlenya dengan sebelah tangan guna mengambil sebuah kaos hitam polos dan menggunakannya dengan meloloskan kepalaku melalui lubang pada bagian atasnya dahulu dengan begitu mulus.
aku meremas perutku yang mulai merutuk hebat tengah memaksa diberikan porsinya, aku sangat lapar sekarang. energiku mulai habis terkuras, terkuras pikiran pun ragaku, sempurna sekali deritaku. tolong, siapapun beri tahu aku bahwa ada seseorang diluar sana yang lebih menderita dariku agar aku tak terlalu terdengar menyedihkan.
denting suara jam dinding memaksaku menolehkan kepala ke arahnya, jarum pendeknya sudah mengarah pada angka lima lewat lima belas, itu artinya makan malam akan segera dilaksanakan dan aku masih akan tetap bergeming pada kamar tanpa sesuap makananpun dalam waktu yang tak ditentukan ke depan. bisa-bisa aku mati kelaparan. ya tuhan, tolong turunkan sebongkah makanan untuk anak malang ini.
entahlah apa yang akan aku lakukan sekarang, lapar pun bosan menyergapiku. hampir saja aku melupakan sesuatu jika aku memiliki benda berbentuk persegi dengan sejuta manfaatnya, begitulah pepatah anak muda mengatakan yang tak bisa terlepas dari benda digital tersebut, bahkan buang air besarpun masih saja membawanya.
ku raih ponsel yang sudah lama tak aku sentuh dan memandanginya dalam diam memikirkan apa yang akan aku lakukan dengan ponselku. ah, tetap saja benda tersebut tidak ada yang istimewa menurutku, yang aku tahu adalah ponsel hanya berguna untuk mengirim pesan ataupun memanggil seseorang. lagipula siapa yang bisa aku hubungi sekarang? didalamnya tak ada permainan apapun juga. membosankan bukan? aku menghembuskan napas berat lanjut melemparnya asal ke arah kasurku.
ku gapai lagi simpul gantung yang sempat ku taruh sebelumnya di atas nakas. aku memejamkan mataku perlahan bersamaan dengan sebuah tarikan napas guna meyakinkan diri yang tengah terguncang dilema. menarik langkah penuh pasti untuk mengambil sebuah tangga lipat yang berada pada sudut kamar, telah mendapatkannya lantas menariknya menuju tengah kamar guna membantuku menggapai langit-langit kamar yang menampakkan kerangka kusen cokelat gelap di atasnya. ku eratkan pegangan pada tangga dan menaikinya satu persatu. ku ukur panjang tali yang sudah ku bentuk sedemikian rupa dengan bersusah ria, sangat mirip seperti kisah horror dalam film-film sadis. merasa tingginya sudah sesuai dengan yang aku inginkan lanjut aku ikat simpulan talinya dengan erat pada langit kamar membuat talinya menggantung di udara dengan membentuk lengkungan bulat pada bawahnya.
hal tersebut mengambil waktuku sekitar setengah jam lantas ku sisihkan tangga lipatnya ke tempatnya semula dan menarik bangku besi dengan aksen hitamnya untuk ku gunakan menggapai simpulan tersebut. sebelum aku melakukannya, aku membuka kunci papan pintuku guna melihat reaksinya nanti lanjut menaikkan tubuhku menuju atas bangku tersebut dengan penuh kehati-hatian mencoba mengimbangi bobot tubuh dan meraih simpul gantungnya dalam kepalan mesraku tak bersuara.
appa pun kupastikan telah pulang dari kerjanya, mungkin juga sedang makan malam bersama eomma. bahkan, eomma tidak mengajakku untuk makan malam bersama dengannya, kelewat tak peduli. aku benar-benar sudah tak berarti dimatanya. aku semakin menguatkan peganganku dengan mengatupkan mataku yang mulai terasa panas, kakiku mulai gemetar kacau.
"eommaaaaaaaaaa!"
tak ada respon dari sosoknya, hanya terdengar suara tatak dari benturan piring dengan meja. "apa kau dengar? anakmu memanggil," suara appa dapat terdengar meskipun dalam volume yang kecil karena kamarku berada di depan ruang makan sedikit menyamping. "anakmu," balas eomma seenaknya. kau dengar? bahkan eomma menolak mengakui bahwa aku anaknya. "eommaaaaaa!" ucapku lagi dengan penambahan penekanan serta volume menimbulkan deru suara pijakan kaki yang merutuk pada lantai setelahnya.
tokohnya membuka papan pintu dengan gesit seolah gemas dengan sosok yang menyebabkan dirinya memberhentikan aktivitasnya. "ya!" papan pintu terbuka lebar diriringi sebuah suara debuman keras disebabkan benturan dinding dengan papan pintu, suasana hening karena pribadinya diam tertegun dengan fokus menelitiku bersamaan bukaan mulut yang mendominasi parasnya. ia menampakkan wajah khawatir buat darah yang mengalir pada tubuhku berdesir tak karuan karena tersentuh. tampaknya ia masih peduli kepadaku.
"eomma, jangan mendekat!" perintahku menegaskan membuat gestur berhenti dengan tangan ku arahkan ke udara membuat eomma membeku. "ka-kau tak perlu khawatir, jika kau tetap bersikeras memaksaku menjadi idol," ucapku terputus dengan menyeka air mata, "a-aku akan bunuh diri," imbuhku mendramatisir suasana layaknya telenovela seraya membuat ancang-ancang bersiap dengan mengeratkan peganganku pada simpulnya. mendadak figur eomma menyandarkan sisi samping tubuhnya pada ambang pintu sambil melipat tangannya serta senyum miring terbit disana sukses buatku mengernyit tak menyangka atas reaksinya.
"lakukanlah, sudah kubilang kau tidak akan berani melakukannya," sahutnya enteng. lidahku kelu tak mampu mengucap balasan untuknya, yang benar saja bahkan dirinya tak keberatan sama sekali. appa pun tak tertarik untuk melihat apa yang sedang terjadi dan mungkin tengah sibuk menyantap makanannya, menyenangkan sekali hidupnya.
"um," aku mengusap tengkuk kikuk lalu berusaha menelan salivaku menatap raut wajahnya yang menantang tak menampakan raut khawatir sama sekali, ku tarik kata-kata tersentuhku sebelumnya, menyebalkan memang. "uh, eomma?!" dia mengangkat dagunya menuntut jawaban, "wae?"
"aku lapar, aku takkan bisa melakukannya jika dalam keadaan lapar," kataku berdalih pun melontarkan alasan tak masuk akal terhadapnya, bodoh sekali diriku, ku akui itu. aku turun kan kakiku dari atas bangku memijak lantai lalu beranjak melewati torso eomma tanpa tahu malu. bukan, bukan tak tahu malu melainkan menahan malu. "minggir kau," tuturku meminta agar diberi jalan.
ia memandangiku mengikuti gerakan tubuhku dengan tatapan mengolok bangga. aku menoleh kebelakang guna melihatnya dengan tatapan mengintimidasi, astaga memalukan sekali kau yoongi-ya. "mwo?!" tanyaku dingin menaikan sebelah alis.
"urusanmu belum selesai denganku."
KAMU SEDANG MEMBACA
dove tattoo
FanfictionUp: Setiap hari sabtu. "aku tidak ingin enjadi idol eomma! apa kau tidak bisa mengerti juga?" -yoongi. "memangnya kau ingin menjadi apa, yoongi-ya? preman, eoh?" -haneul. warn: bukan cerita yang bikin gerah, cuma cerita ringan. cover credit by pinte...