sudah hampir dua jam diriku berada tepat dibawah binar rembulan pun remang cahaya dari tiang lampu yang menjulang tinggi pada setiap sudut hamparan luas lapangan dengan sebuah objek bulat digenggaman.
asal kau tahu, meskipun tubuhku layaknya kerdil kau tidak bisa meragukan kemampuanku dalam permainan basket, jangan salahkan aku jika wanita pingsan akibat tidak kuat melihat ketampananku bertambah ketika menggiring bola dengan hebatnya. bahkan saat masa sekolahku dulu, aku dipercaya sebagai bagian shooter dalam teamku. ajaib memang, tapi memang kenyataan.
tetesan-tetesan peluh yang mendominasi parasku tidak menghentikan permainanku disini. aku sedikit mencondongkan tubuh ke depan memandang keranjang berjaring yang tengah menggantung dihadapan penuh yakin tanpa ragu lantas mulai melangkahkan tungkai dengan mempercepat pijakannya bersamaan memantul-mantulkan bola dengan telapak tangan kanan serta kiri secara bergantian ke dataran lapangan.
telah berjarak beberapa langkah dengan keranjang lantas mendorong tubuh naik ke udara bersamaan mengangkat lutut dan tangan secara serentak guna menembak ke arah keranjang dengan mulus layaknya atlet berkelas.
aku menelantarkan bola memantul menjauh tak berarah dan menelentangkan batang tubuh dengan melebarkan megah tangan. hampir saja memejamkan mata dengan sentosa mendadak ucapan eomma saat makan malam mengudara memaksa memasuki ruang neuron otakku. eomma akan mengempiskan benda kesayanganku ini nanti sebagai hukuman.
sosoknya memberiku tenggang waktu untuk aku habiskan bersama bola basketku, maka dari itulah faktor terbesar mengapa aku berakhir disini seolah ia ingin agar aku semakin berat merelakannya masuk kedalam ruang mutilasi pribadi miliknya. eomma benar-benar tahu bagaimana cara membuatku menderita.
"ya!" bariton seseorang tertangkap runguku buatku membalik tubuh memposisikannya telungkup dengan wajah sedikit terangkat menelisik presensinya. sebelum mataku menangkap paras figurnya, pria tersebut sudah berjalan merangsek maju. aku membuang muka kecut menyadari sosoknya, "wae?"
sungjae temanku, ah lebih tepatnya sahabatku. bagaimana tidak, ia sudah mengenalku mungkin sebelum kami dilahirkan ke dunia. yang benar saja dulu eommaku dan eommanya berniat akan menikahkanku dengannya jika diantara keduanya melahirkan berlainan jenis. beruntungnya memiliki jenis yang sama, memangnya aku apa main dijodohkan saja. juga, aku mengetahui sisi baik, bahkan bagaimana bar barnya sungjae meskipun lebih banyak bar barnya. tertawalah, dia memang aneh.
tubuh kekarnya ia dudukkan tepat disampingku dengan memeluk lututnya sambil menatap hamparan langit malam. "bagaimana trainee-mu, lancar?" tanyanya menoleh ke arahku yang sibuk mencari posisi nyaman menggunakan lengan sebagai bantalan. "biasa saja," jawabku singkat tak tertarik.
pribadi bersurai blonde disampingku menghembuskan napas panjang lalu membalik setengah tubuh mengusap lantai lapangan dengan telapaknya untuk digunakan merebahkan tubuh kekarnya. "padahal kau beruntung sekali mendapatkannya," penuturannya buatku menautkan alis heran lalu tersenyum miring seolah semua itu bersebrangan dengan keadaanku. bukan seolah, memang bersebrangan.
dia menyilangkan tangan didepan dada, "aku bahkan sudah mencoba audisi di beberapa agensi, tetapi tak ada satupun yang lolos. menyebalkan," ucapnya seolah tak terima dengan kenyataan pahit yang menimpa hidupnya. aku menyampingkan tubuhku menatapnya sembari menahan kepala dengan sebelah tangan, "ya!" ku tinju dadanya kecil memberinya peringatan bahwa kenyataan pahit tak hanya menerpanya.
membaca mimikku dirinya lantas mengoreksi kalimatnya, "maksudku dunia berlaku tak adil. kau yang tidak menginginkannya malah mendapatkannya, aku yang menginginkannya malah tidak mendapatkannya." imbuhnya lagi lanjut beranjak berdiri menjauh menuju sisi lapangan, "sudah lupakan kalimatku tadi."
sungjae kembali dari kegelapan menuju terangnya tengah lapangan dengan memeluk erat bola oren bergaris hitam dengan kedua tangannya lantas melangkahkan kakinya mendekat ke arahku yang masih merebahkan tubuh layaknya paus terdampar. tiba-tiba sungjae melemparkan bolaannya keras seenaknya dan tepat jatuh diatas perutku buatku mengerang kesakitan, "ah, pabo-ya!"
"lebih baik kau bermain basket denganku, aku tahu kau bosan bukan bermain sendirian?" aku tertawa renyah. dia bilang bosan? apa dua jam bermain sendirian dapat dikatakan bosan? yang benar saja. perlahan aku memposisikan diriku berdiri ingin mencoba meraih sosoknya guna memberinya pelajaran. sosok sungjae yang menyadarinya langsung memamerkan senyum terpaksanya dengan mengambil ancang-ancang ingin melarikan diri, lebih tepatnya menggerakkan tubuhnya seperti kungfu buatannya sendiri. "sialan kau!"
_
_
hatiku terguncang taktala tangannya dengan keras mendarat pada pipi kiriku. aku tidak percaya ini nyata.
perihal lain yang semakin membuat hatiku terguncang ketika dirinya mulai menuturkan kalimat lainnya. "kalau kau tidak ingin menjadi idol pergilah dan jangan pernah kembali lagi! aku lelah! aku menyesal telah melahirkanmu!" ujarnya seraya menunjuk-nunjuk diriku dengan hina.
eomma tanpa nada keraguan melontarkan kalimat sakral mengenai hubungan antara seorang ibu dan anak. aku benar-benar tahu bagaimana diriku merepotkannya, tanpa tahu bagaimana rasanya kata-kata tersebut terlontar begitu saja darinya membuat bagian dari diriku terpecah belah. berdasarkan rangkumanku aku memang tidak pernah diinginkan.
kata-kata terakhir yang meluncur dari mulut eomma berhasil membuatku bungkam. di luar kemauan, cairan bening mulai meleleh. padahal, aku berjuang untuk menahannya. aku benci menangis.
kenyataan pahit yang aku ketahui bahwa appa dengan piyama yang membalut tubuhnya hanya memirsa penuh ironis, meskipun sesekali mencoba melerai eomma yang tidak terhentikan sampai akhirnya seorang appa menyerah juga.
aku mengangkat wajah menatap paras merah padamnya. tanganku mengepal dengan serampangan lantas mengusap air pada pipi agar tidak terlihat semakin lemah. walaupun situasi tidak memungkinkanku untuk melanjutkan kata-kata, aku hanya ingin mempertegas keyakinanku yang semakin jelas semua ini bukan jalanku.
mungkinkah dirinya akan memahamiku setelah melewati seribu pertikaian terlebih dahulu?
"benarkah?" tanyaku dengan nada sesak menahan emosi. "kau bisa mempercayaiku."
KAMU SEDANG MEMBACA
dove tattoo
FanfictionUp: Setiap hari sabtu. "aku tidak ingin enjadi idol eomma! apa kau tidak bisa mengerti juga?" -yoongi. "memangnya kau ingin menjadi apa, yoongi-ya? preman, eoh?" -haneul. warn: bukan cerita yang bikin gerah, cuma cerita ringan. cover credit by pinte...