halo, selamat membaca!
_________bulir-bulir air segar masih menuruni dahiku tanpa permisi dan serat kain tebal aku biarkan mengalungi bahuku. andaikan aku tidak sempat menaruh sekelibat pikiran buruk tentangnya—sayangnya aku melakukannya—sedangkan dirinya menghidangkan kehangatan pun menerimaku dengan sangat baik, meski tidak dapat dipungkiri ia sempat mengusirku tempo yang lalu.
hamparan langit mungkin sudah mulai menggelap. aku dan dirinya tengah terduduk mersa pada sebuah ruangan dengan pengcahayaan remang. tangan mungiku menggantung pada udara dengan sebuah cangkir berisikan larutan kecoklatan penghilang kantuk terkait mesra diantara jemari-jemari.
sapuan dingin udara melewati batang tubuhku membuat bulu-bulu halus pada tubuhku meremang, aku lantas sedikit menaikkan kain handuk lantas menyesap larutan kafein hangat berharap dapat menghantarkan hangatnya pada seluruh tubuh pun menghalau hembusan udara dingin sembari memperhatikan pribadi dihadapanku yang tengah sibuk dengan alat lukisnya dibalik cangkir yang setengah menutupi parasku.
dirinya terlihat teliti cenderung tenang pun sesekali mendorong naik kacamata yang sempat merosot dengan ruas jarinya. tak mampu menyangkal, noriyaki-san nampak sangat mengumpulkan penuh konsentrasinya untuk dibubuhkan pada setiap tarikan-tarikan kuas terhadap putih kertas dihadapannya hingga aku tidak dapat membiarkan birai merahku untuk membuka suara. entah, terlalu takut mengacaukan atensinya atau tak kuas kagum terhadap pesona lukisannya.
sayup-sayup suara goresan-goresan benda runcing itu terdengar menghiasi diantara sunyi menuangkan isi kepalanya dengan sempurna. mungkin saja aku dengan senang hati berdiam diri dengan suasana seperti ini dalam waktu lama seraya menikmati secangkir kopi yang tengah sibuk mengudarakan aromaticnya—sangat baik untuk kejiwaanku—terlebih ketika ditelusuri hidupku selalu bertemankan keresahan. demi apapun memang seburuk itu.
"aku pikir kau tidak akan terbangun," suara beratnya terdengar meskipun tanpa menatapku. sama halnya dengan segaris netraku yang masih tidak beralih pada objek lain kelewat takut melewatkan mahakarya indah yang tercipta dari tangan itu, walaupun sempat tertegun karena terlalu fokus memperhatikan kegiatannya. "eoh, begitukah?" sahutku sederhana.
"ya. aku perhatikan, kau bukan berasal dari negara ini. kau darimana?" wah, sekali dirinya berbicara terkaannya sangat tepat sasaran. "benar. bagaimana kau tahu? aku berasal dari korea."
"dari caramu berbicara," balasnya dengan sekali lirik bersamaan tarikan senyum kecil tak kentara pun sekilas, namun sempat tertangkap indra penglihatanku. suatu kehormatan untukku dapat melihatnya tersenyum seperti demikian dengan mata telanjang. "apakah bahasa jepangku terdengar buruk?" tanyaku secara naluriah dengan menatapnya saat ini.
noriyaki-san menaruh objek panjang beruncing itu lanjut saling mengaitkan sela-sela jarinya satu sama lain, serta memandangiku dengan tidak melemparkan aura penghakiman pada maniknya kali ini atau lebih mengulas aura kehangatan pada parasnya. dirinya menggeleng maklum, "tidak seburuk itu. itu terdengar biasa mengetahui kau bukan berasal dari sini."
kenyataannya memang bahasa Jepangku tidak terlalu bagus, ketika mengingat aku mempelajarinya hanya pada saat dibangku sekolah. namun tidak bisa dipungkiri, kemampuan berbahasa jepangku patut diberi apresiasi. terdengar angkuh, ya aku memang seperti itu.
"arigatou," sahutku sebelum akhirnya atmosfir sunyi menyelubungi kembali. dia menyembunyikan anakan surainya—beberapa sudah memutih—yang terjatuh pada sisi wajahnya yang tidak ikut menyatu terikat kebelakang telinganya.
sayang sekali, aku tidak memiliki bahan pembicaraan yang melewati benakku padahal ketika sedang tidak bertemu dengannya seakan banyak sekali hal yang ingin aku lontarkan kepadanya.
"ah, maafkan aku karena sempat mengusirmu. kau tahu, mengapa aku melakukannya?" pertanyaannya membuatku menggeleng lirih sembari menanti jawaban. jikapun tidak dijelaskan, aku sadar kalau aku memang selalu terusir. aku terbiasa akan hal seperti itu. "karena aku pernah menerima anak muda yang sangat aku percaya, namun pada akhirnya ia pergi meninggalkanku begitu saja tanpa alasan," paparnya dengan mamandangi tautan jari-jari yang dimainkannya, kala aku hanya mendengarkannya dengan bukaan mulut terbingkai sempurna pada raut wajahku.
aku terdiam, ketika kenyatannya didalam diriku tengah ribut dengan pemikiran-pemikiran yang saling melintas tak mau mengalah untuk mendominasi. apa tujuan awalku untuk bertemu dengannya? apa hanya karena dalihku untuk menghindari kungkungan hebat eomma dan trainee?
"kau tahu bukan aku tinggal disini sendirian?" lanjutnya.
bukankah dirinya baru saja bertanya kepadaku? tentu saja aku sama seperti remaja lainnya, selalu mencari tahu latar belakang idola kami. mengenai pertanyaannya aku mengetahui juga bahwa ia tidak percaya pada sebuah pernikahan. "hai," timpalku.
"apa tujuanmu kemari?" lanjutnya sebelum menghembuskan napas pun menoleh serius ke arahku. pertanyaan tersebut sangat mudah tertebak sebetulnya, namun tetap sukses membuatku berusaha seolah terlihat tenang.
"ah—aku," sahutku terputus seraya membiarkan jari telunjukku mengelilingi bibir cangkir. aku sudah cukup paham pertanyaan apa yang akan terlontar darinya, tetapi belum memiliki jawaban yang menurutku cukup untuk dijadikan sebuah alasan.
mendadak ponsel berbunyi diwaktu yang tepat membuat aku mencari benda digital tersebut. bukan untuk menjawab panggilan itu tentunya, alangkah baiknya aku berpura-pura mengangkat panggilan sebagai pengalih pertanyaan singkat tersebut.
tak kunjung mendapati ponselku. aku terus mencoba terlihat sibuk untuk terus mencarinya pun terhenti kala dirinya;
"ponselmu ada denganku, kau menjatuhkannya ketika dirimu pingsan," tuturnya sambil mendorong benda tersebut ke arahku. "ponselmu terus berbunyi sejak kau masih terlelap, sepertinya penting sekali. segeralah mengangkatnya, jangan biarkan seseorang disana menunggu."
tidak penting sekali.
ini bukan perkara penting atau tidaknya panggilan itu. aku sangat tahu jika pembuat panggilan tersebut adalah eomma, sekadar memberi sedikit penghargaan kepada eomma kali ini. hanya saja, aku tidak akan menjawabnya lantas mendengar celotehan kediktatorannya. itu memuakkan. ini adalah sebuah alasan emas untuk menghindari pertanyaannya yang tidak dapat disangkal sulit untuk aku menjawabnya. banyak hal yang perlu aku jelaskan, dan aku tidak menginginkan untuk melakukannya.
"baiklah, aku akan segera menjawabnya," balasku setelah menerima ponsel darinya. tidak memberikan banyak respon, ia hanya mengangguk menyetujui. aku mengambil langkah menjauh pergi darinya.
terlihat ratusan panggilan tidak terjawab dibuat oleh seseorang yang sama. dimanapun aku berada sosok eomma akan selalu menerorku tanpa ampun sudah aku katakan sebelumnya. dering ponselnya sudah berhenti menganggu, tidak perlu diyakinkan bahwa eomma akan menghubungiku kembali dalam waktu singkat.
tanpa intruksi jemariku membuka pesan darinya. entah atas dasar apa aku melakukannya, yang pasti sedikit banyak aku ingin mengetahui apa isinya. lanjut mulai membaca rangkaian kata pesannya disana, satu di antara puluhan yang menarik perhatian penuhku adalah pesan yang baru saja dikirimkannya beberapa menit lalu,
"aku merindukanmu, yoongi-ya."
merindukanku? yang benar saja, itu terdengar seperti kebohongan besar yang lagi-lagi dibuat olehnya untuk mengelabuiku.
KAMU SEDANG MEMBACA
dove tattoo
FanfictionUp: Setiap hari sabtu. "aku tidak ingin enjadi idol eomma! apa kau tidak bisa mengerti juga?" -yoongi. "memangnya kau ingin menjadi apa, yoongi-ya? preman, eoh?" -haneul. warn: bukan cerita yang bikin gerah, cuma cerita ringan. cover credit by pinte...