chapter - sebelas

86 12 6
                                    


halo! ceritanya santai-santai dulu ya, otw ke klimaks nih. by the way, i wrote this chapter while listening 'un village' by baekhyun-exo hehe.

for the next update, i'll update if i got 15 votes for this chapter:) so please support me. but, i'm not imposing you to do it, just vote if you like it. does it easy, right?
_________


"apa yang kau lakukan?"

suara bariton sosoknya membuat diriku menoleh perlahan ke arahnya. kalimat sederhana yang sukses membuat tenggorokanku tercekat untuk menyambar pertanyaan yang lebih terdengar seperti sebuah ancaman mematikan untuk eksistensiku di dunia.

setelah berusaha keras mataku berpaling memandangi matanya yang seolah mengeluarkan laser merah dari sana membuat sisa-sisa nyali pada ragaku semakin menciut. rasanya sangat ingin membangun sebuah pondasi beton kokoh yang dapat menghalau aura intimidasi darinya—masih sama mengintimidasi saat aku pertama kali bertemu dengannya—air liur lolos begitu saja menuruni tenggorokanku dengan kepayahan.

pribadinya benar-benar tidak bisa memberikan pelayanan yang baik kepada penggemar yang selalu mengagung-agungkannya—mungkin untuk sekadar meminta foto bersama saja penggemarnya akan berpikir sejuta kali, atau aku adalah satu-satunya penggemarnya di dunia ini?—masalahnya ia malah menggertakkan tulang-tulang kekarnya layaknya seorang atlet tinju yang akan berkesiap untuk melayangkan sebuah pukulan tak terelakkan pada lawan terberatnya, sementara aku hanya tersenyum hambar kelewat takut.

bukannya menjawab aku malah menggaruk kecil tengkuk bersamaan sedikit bukaan mulut terulas. "ah—" gumamku lirih dengan pita suara terjepit. "jawablah!" suara beratnya terdengar lagi sambil mengangkat dagunya. perintahnya semakin membuatku tidak berniat untuk menjawabnya, cara tersebut bukanlah cara yang baik untuk memerintah seseorang.

kuningan teko yang belum sempat kuraih jatuh dengan waktu yang tidak tepat ke arah puncak kepalaku sebelum akhirnya membentur lantai membuat kesadaranku kembali setelah melalang-buana pada tarikan wajahnya yang penuh penghakiman. deru suara kacaunya mengisi sepi ruangan dengan sempurna.

lantas aku mengusap-usap kepalaku mencoba meradiasikan rasa perihnya seraya memutus tautan mata dengan lelaki berambut panjang tersebut. wah sangat memalukan, kenapa di saat seperti ini teko tersebut malah terjatuh pun melucuti harga diriku di hadapannya. jangan-jangan memang teko tersebut memiliki sihir, sudah pasti terdapat sihir disana! terkaanku berbicara kali ini.

hentakan kaki ke arahku terdengar membuat aku hanya memiliki secuil keberanian meratapi pijakan kasar tungkainya yang semakin mendekat pun semakin mengikis pertahananku sembari menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya. jantungku serasa terjatuh ke perut ketika dirinya sudah berdiri hanya beberapa cm denganku.

terdapat perbedaan kontras di antara aku dengannya mengenai tinggi tubuh, pasalnya tinggiku hanya sampai pada dada bidangnya. baiklah ini bukan saatnya ajang siapa yang lebih tinggi, namun hal tersebut memang membuat diriku terlihat tidak ada apa-apanya dengannya ditambah pendukung lain yang membuat perangaiannya nampak semakin mengerikan. bagaimana aku dapat melindungi diri sendiri?

pikiranku sudah melayang kesana kemari, padahal jika dipikir ulang tidak mungkin juga ia melukaiku. sangat tidak mungkin. memangnya atas dasar apa dirinya akan melakukan hal tersebut, aku saja yang berlebihan. namun, sungguh dirinya menakutiku dengan hebat.

tubuhku limbung berlutut dihadapannya secara naluriah buat sosoknya menggantungkan kedua tangannya pada sisi pinggang. perlahan, aku menaikkan kepala berusaha menatap balik tatapan mematikannya, meski tak menatap sepenuhnya. benar saja dirinya terlihat tidak manusiawi, terlebih dilihat dari sisi lebih rendah.

dengan melakukan hal ini katakanlah aku persis seperti orang bodoh tanpa celah. berdasarkan singkatku, harapanku dengan aku melakukan hal ini dapat menyelamatkanku dengan pengibaratan lolos dari kandang singa berwujud manusia. aku sedang tidak menistakan idolaku, ini sebuah kenyataan tak terhindarkan dengan segala macam cara.

semoga saja aku memiliki kartu as pada genggaman. aku memejamkan netra, seolah memperkuat pertahanan, "a—aku tidak berusaha mengambil barangmu, sungguh!" tuturku setengah bergetar pun memohon sambil merunduk pasrah. bukan sebuah kebohongan tentunya, aku memang hanya terlalu penasaran dengan benda tersebut. "aku kira benda tersebut memiliki sihir," lanjutku tidak masuk akal sembari menoleh kebelakang ke arah kuningan yang tengah terbaring mersa pada lantai.

suasana hening terjadi untuk beberapa saat hingga pada akhirnya dirinya merespon dengan hal yang tidak aku duga. perlahan, aku menengadahkan wajah dengan heran guna mendapati dirinya dengan sedikit bukaan mulut ketika lelaki itu melempar kepala kebelakang, meloloskan tertawaan keras yang seolah telah ia tahan dalam waktu yang lama.

hanya tertinggal sisa-sisa kekehan yang terjadi padanya lantas ia mulai bersuara disela-selanya, "hei anak muda!" ucapnya buat alisku menaut pun terdapat perasaan aneh ketika mendapatinya tertawa lepas seperti tadi, ketika kenyataannya dirinya sempat mengacaukan alat pemompa hidupku beberapa menit lalu. "aku rasa kau masih dalam keadaan tidak sehat."

sedikit tarikan kecil pada biraiku sebagai respon kalimatnya, tetap saja masih dalam mode tegang. pada sisi lain penuturannya terdengar benar, mungkin aku masih dalam pengaruh sakit sehingga berpikir bodoh seperti itu. ya tuhan, tolong reparasi otak rusakku ini. "mengapa wajahmu tegang sekali? bangunlah!"

ya, sudah cukup. dirinya pantas mendapatkan penghargaan karena telah berhasil membuatku nampak konyol. bagaimana aku tidak tegang, pribadi noriyaki-san benar-benar terlihat menakutkan.

"bersihkanlah tubuhmu! aku sudah menyiapkan air panas untukmu," perintahnya setelah aku memposisikan tubuh berdiri. "baiklah," sahutku sembari merunduk beberapa derajat lanjut cepat-cepat mengambil langkah menjauhi dirinya.

tidak disangka baik hati sekali dirinya. mungkin seorang min yoongi akan menjadi anak penurut disini. entah makhluk apa yang dengan senang hati memasuki ragaku hingga akhirnya aku mengiyakan perintahnya untuk bermain-main dengan cairan bening penyegar tersebut, padahal aku benci air dengan beberapa alasan dan lebih menyukai berlama-lama terbaring pada ranjang.

seorang eomma-pun sangat sulit untuk memerintahku untuk sekadar menyegarkan diri, seolah memaksa anak kucing untuk menyebur ke dalam air es. sedangkan dirinya dengan sangat mudah memerintahku tanpa aku berusaha mencoba meraih titik darah tingginya, seperti yang biasa aku lakukan pada eomma.

mengapa aku membicarakan seorang menyebalkan eomma? ah, harus aku akui aku sedikit merindukannya. perlu aku tekankan ya! hanya sedikit.

dove tattoo Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang