13. Fadil is back

46 2 0
                                    

Warna putih mendominasi , hening. Tangan kirinya sedikit sakit, kepalanya pening dan Violita bertanya-tanya. Pandangannya masih lurus ke langit-langit ruangan itu.
"Udah siuman?" Suara lelaki disofa sudut ruangan mengagetkan Violita.
"Gue kenapa ndra?"

"Mama kan bilang apa , jangan lembur mulu. Tumbang kan jadinya." Suara mamanya menyahut , baru saja keluar dari kamar mandi.

Tangan perempuan paruh baya yang sedikit basah itu ia kibas-kibaskan agar cepat kering kemudian memegang kening anaknya,Violita. "Udah gak sakit nih anak." lalu tertawa.

"Ish mama,"
"Iyaiya sayang. Kamu pingsan 5 jam gak bangun-bangun. Untung aja tadi kamu segera di tolong sama cowok yang waktu itu, kamu juga kenapa gak kabari mama kalau mau berobat."

"Ditolong cowok?"
"Iya itu lo , cowok yang wak.."
Seseorang mengetuk pintu kamar rawat inap Violita, kemudian di lanjutkan dengan kemunculan Leon.

Lelaki tegap itu tersenyum ramah dengan bunga di tangan kanannya. Melangkah mendekati mama Violita.
"Nak leon, silahkan duduk silahkan duduk."
Indra yang sedang asyik bermain game pun menggeser tubuhnya sedikit untuk memberikan tempat duduk untuk Leon.

Violita hanya mendengus, ia membalikan tubuhnya membelakangi Leon dan Mamanya. Berpura-pura untuk tidur.

"Vio gimana te?."
"Oh baik kok dia, biasa anaknya itu manja tapi sebenarnya dia anak yang kuat."
Leon mengangguk-angguk.
Kemudian mereka mengobrol mengenai pekerjaan Leon. Bunyi handphone mama Violita membuyarkan obrolan mereka, dengan sigap mama Violita pun mempunyai ide untuk membiarkan Violita mengobrol berdua dengan Leon, yang ia ketahui mantan pacar anaknya dulu.
"Iya pa, iya iya papa tunggu di depan ya." Ujarnya ketika menerima telfon.
"Ehm, nak Leon, tante keluar sebentar ya. Itu papanya Vio gak tau kamarnya."

"Oh biar saya jemput Om saja te."

"Tidak tidak, biar tante dan Indra saja. Nak Leon disini menjaga Violita sebentar."

"Lah ma? Gak ah, Indra pengen main game dulu. Lagian indra males berdiri."

Leon tersenyum kemudian mengangguk.
"Gimana sih kamu, udah sini ikut mama jemput papa didepan."

Kemudian wanita paruh baya itu menyeret Indra keluar sedangkan Indra meronta-ronta tidak ingin keluar.

Tersisalah Leon dan Violita.
Leon berjalan pelan mendekati tempat tidur Violita dengan bunga yang ia bawa sedari tadi. Ia diam menatap punggung wanita yang ia cintai sangat lama itu. "Aku tau kamu gak tidur, tapi gak apa apa kalau gak mau bicara denganku. Tidak ada yang salah dengan itu."

Hening.

"Aku, datang kemari ingin mengucapkan sampai jumpa. Mungkin aku akan kembali ke kota ini, tapi aku tidak tahu kapan."

Violita membuka matanya tapi ia tak bergerak, melainkan mendengarkan apa yang ingin disampaikan Leon.

"Besok aku akan berangkat, kalau kamu tidak keberatan dan kamu sudah kuat untuk berjalan, sebagai tanda pertemanan kita datanglah ke bandara pukul 8pagi."

Ia masih bingung menghadapi Leon bagaimana. Pasalnya tadi pagi ia baru saja menolak ajakan Leon untuk menjadi istrinya.

"Dan ini, bunga untukmu. Ku letakkan disini.Semoga lekas sembuh."
Ujar Leon. Kemudian , terdengar suara kaki berjalan. Buru-buru Violita memejamkan matanya kembali.

Setelah Leon menghilang dari ruangan itu. Ia termenung tapi juga lega karena tak perlu merasa bingung lagi untuk menghadapinya.

Ia tau, ia begitu kejam.Tapi inilah hidup, menyenangkan perasaan orang lain dan berkorban memiliki masanya sendiri.

Violita berusaha duduk, ia menatap bucket bunga yang baru saja di tinggalkan Leon. Suara pintu mengagetkannya, seluruh anggota keluarganya masuk bergantian.
"Leon sudah pulang ya Vi?."
"hm" ujarnya kemudian menenggelamkan diri ke tempat tidurnya.

--DIARY--
"Udah kan gaada yang ketinggalan?." tanya mama Vio.
"Gaada..." jawab Violita sambil mengecek sekeliling.
"...Mama bawa mobil?."
"Nggak, kita naik taxi aja ya."
"Ya oke deh."

Violita kembali menatap ruang rawat inap itu. Kemudian berbalik keluar dari ruangan itu. Suster menyapa dirinya dan mamanya dengan ramah.

Ia cukup senang bisa menghirup udara segar. Setelah 2 hari rawat inap, ya dia tidak hadir di Bandara. Tidak ada yang salah, Vio memang sedang sakit, ya kan?.

Sesampainya dirumah, Indra sudah menyambutnya dengan jenaka.
"Ikan tombro makan jambu, eh udah sembuh tapi tetep jomblo ya bu."

Mamanya tertawa terbahak-bahak begitu pun dengan Indra, "Adik gak tahu diri." gerutu Violita.

"Istirahat sana mbak, udah jomblo lama pake sakit segala, ngerepotin." Canda Indra.

"Bodo amatt." Jawab Violita berjalan menuju kamarnya.

Fikirannya melayang-layang, dirumah sakit ia tak memikirkan apapun lantaran disana ia melupakan segala hal tentang asmara. Sahabat-sahabatnya datang menjenguk kecuali satu, Fadil. Ia sama sekali tak tahu bagaimana kabar lelaki itu.

Ia baru ingat , beberapa hari di rawat inap Violita tak memegang handphonenya sama sekali. Ia pun keluar dari kamar dan mencari mamanya yang sedang asyik membuat minuman dingin untuk ia minum
"Mama,"
"Hm" jawabnya sambil menyeruput sirup rasa melon yang ia buat.
"Liat handphone ku nggak?."
"Hm? Handphone? Nggak tuh."
"Duh dimana ya ma."
"Coba tanya Indra."

Violita berbalik arah mencari Indra dikamarnya, adik lelakinya itu sedang duduk di depan meja belajar.
"Ndra, liat handphone mbak?."
"Nggak."
"Ndra serius, handphone mbak gaada."
"Indra juga serius mbak, Indra gak tahu."
"Papa tahu gak ya?."
"Tanya aja."
"Papa belum pulang."
"Yaudah gausah nanya."
"Setan."
"Iblis dong mbak Vio."
"Udah diem lo."
Violita kembali ke kamarnya tanpa jawaban yang memuaskan. Lalu ia menidurkan dirinya, tanpa memikirkan lagi dimana Handphone nya itu. Tak masalah Handphone itu hilang yang ia permasalahkan isi dari Handphone itu.

Sore pun datang.

Suara ketukan pintu dengan memanggil nama Violita begitu jelas di telinganya.Mamanya menggoncang-goncangkan tubuh Violita agar anaknya segera bangun.

"Vio, didepan ada Fadil." ujarnya sambil terus menggoncangkan tubuh Violita.
"Hah?"
"Fadil , cowok ganteng itu."
"Masa sih ma?."
"Iya, cepetan keluar mama gak kuat liat orang ganteng."
"Iya iya bentar.Aku mau siap-siap dulu."

Violita buru-buru membenahi wajahnya yang masih muka bantal  dan berlari kecil keluar dari kamar.
Sebelum menuju ruang tamu, ia mengintip sebentar jangan-jangan mamanya salah orang.
Ia mengintip, "Beneran Fadil.".
Penampilannya kini lebih santai tidak seperti biasanya memakai kemeja, kini Fadil menggunakan kaus hoodie hitam  dan sneakers putih.

Lelaki itu sedang mengobrol dengan Indra ,senyumnya masih tetap manis.
Tanpa Vio sadari Fadil mengetahui ia sedang mengintip.
"Hai Vi." tatapan Fadil kini beralih ke arah Violita.

Violita tekesiap, ia segera muncul didepan mata Fadil.
"Oh hai hai."
"Sudah..Lama?."

"Oh nggak, sebentar kok."
Indra pun cengengesan, "Yaudah pak, saya tinggal dulu. Mungkin Mbak Vio maunya ngobrol berduaan."
Fadil hanya diam, Violita mengkode adiknya agar diam dengan cara melototinya.

Violita pun segera duduk perlahan. "Kamu kenapa kesini ?."

"Ini, untukmu. Maaf baru datang." Ujar Fadil sambil menyodorkan sebuah paper bag.
"Apa ini?."
"Hadiah untuk orang yang baru sembuh."
Violita mengambilnya perlahan.
"Boleh aku..buka?"
"Buka aja."
Violita membukanya dan isinya adalah sebuah coklat lalu 2 tiket nonton film terbaru.
"Coklat itu dari saya dan tiket itu dari Kak Firda."
"Memangnya hadiah orang baru sembuh seperti ini ya?."
Fadil tersenyum , dekiknya masih khas.
"Yaah, mungkin." ujarnya malu-malu.
"Tiketnya kok ada 2?."
"Yang satu untukku."
"Kamu nonton ?."
"Maksudmu kita? , iya kita nonton. Malam ini."
"Hah?." Violita buru-buru membaca tanggal dan waktu nonton di tiket itu.

"Segera merias diri, saya tunggu Vi."

DIARYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang