16. Kenangan Lama

14 0 0
                                    

Jari jemarinya di genggam Fadil, ia membersihkan sisa pecahan kaca itu. Membalutnya dengan baik. Violita  terdiam menatap Fadil mengobatinya.

"Ada yang sakit lagi?" Tanya Fadil.

"Nggak. Terima Kasih." Violita segera beranjak dari tempat tidur Fadil. Ia ingin meninggalkan lelaki yang akan kembali dengan mantan pacarnya dulu, pikirnya. Namun, ekor matanya terlalu peka dengan warna Diary yang sudah bertahun-tahun di genggamannya.

Ia berdiri mematung melihat Diary nya sudah terbuka di atas meja kerja Fadil. Ya, diary itu pastinya sudah dibaca.

Violita berjalan pelan mendekati meja kerja Fadil yang penuh dengan buku-buku tebal.

Ia meraih ujung meja kerja Fadil, menatap buku Biru Diary nya sudah terbuka di halaman terakhir. Matanya panas. Ia berusaha untuk menopang dirinya. Semua yang ia pertahankan, untuk menjaga nama baiknya, rasa malu dan harga dirinya seakan sia-sia.

"Vi, dengarkan saya dulu, saya jelas.."

"Jelaskan apa?" Suara Violita meninggi.

Hening.

Kini Fadil dapat mendengar isak Violita, perlahan wanita itu membalikan tubuhnya menatap Fadil. Menegakkan wajahnya yang sedari tadi ia simpan semenjak datang ke rumah Fadil.

"Kamu. Mau. Jelaskan apalagi?"

Air muka Fadil berubah menjadi takut sekaligus khawatir. "Saya tidak bermaksud untuk membawanya, Vi."

"Lalu kenapa ada disini?" Jawab Violita memojokkan Fadil, dengan isaknya.

Fadil terdiam. "Dengar Vi, saya.."

Suara telepon berdering memotong pembicaraan mereka berdua. Violita tau betul itu adalah suara handphone nya.

Ia segera tau handphone nya telah berada di meja kerja Fadil berdekatan dengan buku-buku yang Fadil biasanya gunakan untuk refrensi mengajar.

Violita dengan isak nya mengambil handphone nya dan segera pergi.

Fadil menarik lengan Violita dan segera di tepis Violita. Tidak dengan begitu saja lepas dari genggaman Fadil, lelaki itu kembali menarik lengan Violita dan memojokannya di pintu kamarnya.

Violita masih dengan tangisnya, menundukan wajahnya. Fadil menggenggam tangannya erat dan menghalangi jalannya dengan menyandarkan tangan kirinya dipintu.

"Dengar, " ujar Fadil pelan. Ia menatap wajah wanita itu lekat-lekat.

"Saya suka kamu. Tolong, maafkan saya. " Violita tak menggubris.

Ia tetap pada pendiriannya untuk tak mengangkat wajahnya. Ia malu. Sangat malu.

Tanpa banyak bicara. Ia segera menepis genggaman Fadil dan segera keluar dari ruangan Fadil.

Ia keluar dengan kondisi yang lebih mengerikan dari sebelumnya. Semua pasang mata kini pun tertuju padanya sama seperti sebelumnya. Mbak Firda yang bingung pun berusaha untuk mengejar Violita namun ia dengan secepat mungkin keluar meninggalkan neraka itu.

Di tengah perjalanan, handphone nya kembali berbunyi. Tertulis disana Indra sedang menelepon.

Dengan menyembunyikan tangisnya, ia mengangkat telepon itu.

"Halo mbak, sorry banget aku lupa kemarin Pak Fadil kirim pesan aku buat undang mbak Vio datang ke ulang tahun mamanya."

Violita yang mendengarnya tanpa basa-basi segera menutup teleponnya. Ia sudah tidak peduli acara apa itu tapi yang pasti ia malu sampai-sampai ia tak ingin hidup di dunia.

DIARYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang