Surprised

240 33 2
                                    

"Selamat pagi, Adrien." Gabriel Agreste menyapa ketika Adrien memasuki ruang makan yang besar itu.

"Pa...pagi." Adrien menyapa kaku. Bagaimana tidak? Selama ini, sapaan yang sering dia tujukan tidak pernah dibalas oleh ayahnya. Tapi disini, justru ayahnya yang kini 'bukan' lagi ayahnya menyapanya terlebih dulu. Sungguh ironi.

"Duduklah Adrien. Aku akan mengambilkan minum untukmu." Ujar Marinette berjalan ke dapur. "Do you like chocolate milk?"

Adrien tersenyum. "I'd love to." Lalu ia merasa kalau Plagg keluar dari saku jaketnya. Mengisyaratkan untuk minta camembert.

"Oh ya, bisakah aku meminta satu potong camembert?" Tanya Adrien ragu-ragu.

"Tentu."

Sementara Marinette mengambilkan minum dan sepotong camembert, Gabriel mengajak Adrien mengobrol.

"Kau tidur nyenyak tadi malam?"

"Ah, uh, ya. Tentu. Eumm, Mr. Agreste, terima kasih telah mengizinkanku menginap disini. Kuharap aku tidak merepotkanmu." Adrien berkata canggung.

"Tidak masalah. Aku sudah sanqqgat terbiasa akan hal itu." Gabriel tertawa. "Marinette sering mengajak teman-temannya menginap disini. Well, karena dia tidak punya saudara, dia pasti merasa kesepian. Jadi mengizinkan teman-temannya menginap kuharap bisa mengurangi rasa kesepiannya itu." Gabriel tersenyum.

"Bagaimana dengan Mrs. Agreste? Dimana dia?" Tanya Adrien.

Gabriel tersenyum getir. "Sudah meninggal."

DEG!

"Ah, ma... maafkan aku, Mr. Agreste. Aku tidak bermaksud... uh, maaf." Adrien merasa sangat bersalah.

"Tidak apa-apa."

Marinette kembali ke ruang makan dengan segelas susu cokelat hangat (dan jangan lupakan sepotong camembert).

"Ini, Adrien." Marinette meletakkan gelas dan piring itu di hadapan Adrien.

"Thank you, Marinette."

"Ngomong-ngomong, Adrien. Kalau tidak mengganggu, bolehkah aku bertanya, apa masalahmu di rumah? Kenapa kau sampai meninggalkan rumah?" Tanya Gabriel.

"Eh, ah. Itu..." Adrien menggaruk kepalanya. Mengingat-ingat alasan yang telah ia karang semalaman. "Aku... bertengkar dengan ayahku."

"Sungguh? Kenapa?"

"Bukan apa-apa, Mr. Agreste. Hanya perbedaan pendapat."

Gabriel mengangguk. "Cepatlah berbaikan dengan ayahmu. Dan cepatlah kembali ke rumah. Ayahmu pasti cemas karna kau tidak pulang semalam."

Adrien memandang Marinette yang duduk diseberangnya. Menyeringai. 'Itu artinya, kau harus cepat-cepat menemukan cara agar aku bisa kembali.'

Marinette memasang wajah bete.
'Iya, iya. Aku tau! Tidak usah menatapku seperti itu!'

Tersisa suasana canggung di ruangan itu. Gabriel menatap Adrien dan Marinette bergantian. "Ada apa? Kenapa kalian tiba-tiba diam?"

Marinette gelagapan menjawab pertanyaan ayahnya. "Bukan apa-apa, ayah."

Gabriel mengangguk lagi. "Adrien, apakah kau teman satu sekolahnya Marinette? Aku belum pernah melihatmu sebelumnya." Kali ini pertanyaan ditujukan pada Adrien.

"Eh..." Adrien bingung harus menjawab apa.

"Iya, ayah. Dia satu sekolah denganku tapi beda kelas." Marinette menjawab.

"Kalau begitu, kau berangkat ke sekolah hari ini, Adrien?" Gabriel bertanya lagi.

"Um, mungkin, ya?" Adrien menjawab asal. Diseberangnya, Marinette melotot. 'Kau mau ikut aku ke sekolah?!' Kurang lebih itu maksudnya.

"Kalian berangkat bersama saja kalau begitu." Gabriel mengunyah roti bakarnya.

Adrien tersenyum kecut. Marinette mengeluh. "Baik." Ujar mereka bersamaan.

Dan mereka pun segera menghabiskan roti bakar serta susu cokelat masing-masing.

"Kau sudah selesai?" Tanya Marinette. Adrien mengangguk.
"Baik. Segera ambil tasmu." Marinette mengedipkan sebelah matanya. Adrien pun segera mengikuti Marinette naik ke kamarnya.

Di kamar Marinette, Adrien menerima sebuah tas selempang.
"Kau betulan mau mengajakku ke sekolah?" Tanya Adrien terkejut.

Marinette menoleh. Wajahnya tidak senang. "Tentu saja tidak, bodoh. Aku akan membawamu ke tempat pacarku. Dia libur hari ini, jadi kurasa tak masalah kan kalau kau di tempatnya untuk sementara? Aku sudah mengontaknya kok. Dia bilang tidak apa-apa."

Adrien mematung. Pacar Marinette? Seperti apa orangnya? Apakah dia orang baik? Apakah ia mengenalnya? Dan yang lebih penting, apakah orang itu mengerti situasi Adrien saat ini?

"Kau bisa menjelaskan situasimu nanti. Dia pasti percaya. Soalnya, yah, asal kau tau saja, sih, dia sama gilanya denganku." Marinette tertawa.

"Uh, baik."

"Ayo. Kita harus berangkat sekarang atau aku akan terlambat masuk kelas." Marinette mengajak Adrien turun.

Di tangga, mereka berpapasan dengan Nathalie.

"Nathalie, aku berangkat ya. Jangan lupa bilang ke ayah juga." Marinette melambaikan tangannya pada Nathalie.

"Hati-hati di jalan, Marinette." Nathalie mengangguk, tersenyum. "Kau juga, Adrien."

"Tentu!!" Seru Marinette yang sudah berada di teras. Adrien mengangguk. Lantas segera mengejar Marinette.

"Kau berangkat sekolah tidak diantar?" Tanyanya bingung.

Marinette tertawa kecil. "Diantar? Ayolah! Aku sudah terlalu besar untuk diantar kesekolah, Adrien. Memang awalnya ayah memaksa, tapi aku juga ngotot ingin berangkat sendiri. Jadi ayah mengalah." Lalu Marinette terdiam lalu menoleh ke Adrien yang berjalan dibelakangnya. "Jangan bilang kau selalu diantar-jemput saat kesekolah?"

Adrien mengangguk lesu. "Bukan hanya kesekolah. Nathalie selalu mengantarku kemanapun. Atas perintah ayah tentunya." Adrien menatap ke arah lain. "Hh... kau beruntung sekali terlahir sebagai anak dari 'Gabriel Agreste' di dimensi ini. Sedangkan aku, menjadi anak dari seorang 'Gabriel Agreste' membuat hidupku terasa seperti penjara. Bahkan untuk bermain bersama teman-temanku pun aku tak bisa. Apalagi mengajak mereka menginap di rumah."

Marinette menatap Adrien iba. Ia menepuk bahu Adrien. "Karena itu, selagi kau ada di dimensi ini, sebaiknya kau gunakan kesempatan ini untuk bersenang-senang. Aku akan mengajakmu bertemu teman-temanku nanti sepulang sekolah. Setidaknya, kau bisa mengurangi rasa rindumu pada teman-temanmu." Marinette tersenyum.

Adrien ikut tersenyum. "Terima kasih, Marinette."

Mereka melanjutkan perjalanan menuju rumah pacarnya Marinette. Adrien menatap sekeliling. Ia sepertinya pernah melewati jalan ini sebelumnya. Tapi, jalan ini menuju kemana?

"LUKA!!" Marinette melambaikan tangan.

Adrien terkesiap. Luka? Apa dia tidak salah dengar?

Adrien menoleh ke depan. Benar! Di depan sana, tampak Luka sedang berdiri di atas rumah kapalnya. Melambaikan tangan pada Marinette, tersenyum.

'Jangan bilang kalau pacar Marinette itu adalah... Luka?!'  Batin Adrien.

Luka. Orang yang menyukai Marinette di dimensinya adalah... pacar Marinette di dimensi ini??

Luka Couffaine.

*****

Jangan lupa Vote n Comment ya!! Coco tunggu loh, makasih!

With Love,
Coco💙

Adrien's Another DimensionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang