"Luka..." Marinette menatap Luka disebelahnya.
Luka telah melepaskan ciuman mereka beberapa menit yang lalu. Keduanya terdiam sampai Marinette membuka suara.
Luka menghela nafas berat sambil menangkupkan kedua tangannya di wajah. Ia mendongak. "Maafkan aku, Marinette. Aku... aku hanya tidak tahan lagi. Kau terlihat mempunyai beban pikiran yang berat dan aku hanya tidak ingin kau terlalu mempermasalahkan soal Adrien..."
Marinette tersentak.
'Luka... apa dia cemburu?' Marinette berkata dalam hati.
"Luka, aku..."
"Maaf, Marinette. Aku hanya... entahlah. Kenapa aku bisa cemburu dengan Adrien, sementara dia tidak berasal dari sini dan dia juga tidak dekat denganmu... kau bahkan baru bertemu dengannya sejak kemarin. Ada apa denganku?" Luka mengacak-acak rambutnya frustasi.
Marinette tersenyum. "Thank you very much, Luka..." Marinette memeluk bahu Luka. "You're the best boyfriend ever."
"Kau... tidak marah?" Luka menatap Marinette heran.
"Hm. Kenapa harus marah? Aku justru senang karena kau mengkhawatirkanku sebegitu beratnya."
Luka tersenyum. "Tapi aku sudah melanggar perjanjian kita."
"Memang." Marinette melepaskan pelukan. "Dan tadinya, aku berniat menghukummu karena itu." Marinette menyeringai.
"Eh..." Luka menatap Marinette serba salah.
Marinette tergelak melihat wajah Luka. "Tapi setelah kau mengatakan alasannya..." Marinette menunduk. "Kurasa aku mengganti pikiranku."
Kali ini Luka yang memeluk Marinette. "You're the best girlfriend ever too, Marinette."
Marinette balas memeluk. "I know."
"Ehem."
Sebuah suara mengejutkan Luka dan Marinette. Mereka reflek melepaskan pelukan.
"Maaf mengganggu, tapi teman-teman sudah mau pulang." Juleka berdiri di belakang sana.
"Oh, ehm. Ok." Marinette berdiri. "Ayo, Luka."
Marinette berjalan terlebih dulu. Meninggalkan Luka dan Juleka di dek rumah kapal.
"Sudah berapa lama kau berada di situ?" Tanya Luka.
"Lumayan lama, mungkin." Juleka tersenyum jail. "Aku bahkan melihat adegan ciuman itu." Juleka mengedipkan sebelah matanya pada kakaknya itu.
Wajah Luka memerah.
"Apa? Kau benar-benar menciumnya? Padahal aku hanya bercanda." Juleka memasang wajah terkejut.
"Kau–" Luka tidak melanjutkan kalimatnya. Wajahnya sudah terlalu merah. Menyisakan suara tawa Juleka.
Pukul 19.34
"Baiklah. Saatnya pulang." Marinette meraih ranselnya. "Ayo, Adrien."
Adrien mengangguk, beranjak dari duduknya.
"Terima kasih untuk hari ini, Luka. Maaf merepotkan." Ujar Adrien.
"Tak masalah, Adrien." Luka mengantar mereka sampai ke dek.
"Sampai jumpa lagi, Luka." Marinette mencium pipi Luka.
Di jalan menuju rumah Marinette, Adrien berhenti di depan Museum Louvre.
"Ada apa, Adrien?" Tanya Marinette.
"Kau tau, Marinette. Aku sangat berterima kasih karena kau mengizinkanku menginap di rumahmu lagi malam ini. Tapi, kurasa aku akan menolaknya." Adrien berkata sambil menatap pucuk piramida Museum Louvre.
"Apa? Kenapa?"
"Aku hanya tidak ingin merepotkanmu. Oh, dan ini tasmu." Jawab Adrien.
"Lalu... kau akan menginap dimana malam ini?" Marinette berjalan mendekati Adrien yang tertinggal beberapa langkah darinya. Mengambil kembali tas yang dia pinjamkan pada Adrien.
"Tenang saja. Aku masih punya uang beberapa Euro. Kurasa akan cukup untuk menyewa kamar di penginapan selama beberapa hari, dan membeli 2 atau 3 pasang baju."
Marinette menatap Adrien. "Kau yakin?"
"Kau tidak perlu khawatir tentang aku, Marinette. Aku akan baik-baik saja. Terima kasih." Adrien berjalan ke arah sebaliknya. "Sampai nanti."
Marinette masih diam di tempat. Menatap Adrien yang semakin jauh di kegelapan malam.
Collége Françoise Dupont
Marinette tidak tidur dengan baik tadi malam. Dia memikirkan Adrien. Dimana dia tidur tadi malam? Apakah dia baik-baik saja? Makan apa dia tadi malam? Apakah dia sarapan pagi ini?
"Hey Marinette. Apa kau punya acara sepulang sekolah?" Lila berbisik.
"Nope." Marinette menjawab acuh tak acuh. Antara mendengar dan tidak.
"Great. Nanti temani aku ke toko kue disebelah sekolah, ya."
"Uh huh."
Sepulang sekolah...
Marinette berjalan keluar dari area sekolah.
"Marinette! Hey!! Tunggu aku!" Lila memanggil Marinette yang sudah berjalan duluan.
"Uh, Lila? Ada apa?"
"Ada apa? Ayolah! Kau bilang mau menemaniku ke toko roti sebelah sekolah. Kau tidak bilang kalau kau lupa, kan?"
"Ah, uh... apa aku bilang begitu?" Marinette menggaruk kepalanya, menyeringai.
Lila menepuk dahinya. "Jangan main-main! Ayo!" Lila menarik tangan Marinette. Lalu menyeberang jalan ke toko kue.
"Dupain-Cheng Bakery." Marinette membaca nama toko yang terdapat di bagian atas pintu masuk.
'Dupain-Cheng?'
Lila membuka pintu depan toko kue itu, menghasilkan bunyi dering bel.
"Selamat siang, Mrs. Dupain-Cheng!" Lila menyapa pemilik toko.
"Ah, halo Lila. Um? Kau membawa teman?" Pemilik toko berwajah asia itu menyadari kehadiran Marinette di belakang Lila.
"Ah, ya! Kenalkan, Mrs. Dupain-Cheng. Ini Marinette, teman baikku."
"Marinette?" Pemilik toko itu terlihat terkejut. Lalu ia berjalan mendekati Marinette. "Kau Marinette yang itu? Marinette Agreste?"
Marinette terlihat serbasalah. "Euh, ya?"
"Astaga, Marinette!! Sudah lama sekali! Ya ampun..." Mrs. Dupain-Cheng memeluk Marinette erat.
"Eh, apa?" Marinette tidak mengerti apa yang sedang terjadi.
"Apa kabar, sayang? Ya ampunn... aku sangat merindukanmu! Sudah lama sekali kau tidak mampir ke sini! Apa kau tau? Adrien di London selalu menanyakan kabarmu tiap kali telepon ke rumah!" Mrs. Dupain-Cheng tertawa renyah.
Seketika Marinette membeku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Adrien's Another Dimension
Fanfiction[Written in Bahasa] This is a story about Adrien Agreste, a cool little guy who's a model and often featured in several fashion magazines. He lives in a big mansion with his father, Gabriel Agreste, the best fashion designer in Paris. And his bodygu...