"Mas..."
Jeno kembali meraih tangan Renjun kembali setelah Renjun melepasnya dengan sepihak.
Mata elangnya menyendu lembut.
"Kebayang gak sih, aku cinta sama kau setiap jam, menit dan detik perharinya?"
"Ha? gimana? konyol! kita saja baru saling kenal."
Renjun membentak. Baru kali ini Jeno melihat Renjun semurka itu. Ada yang salah dengan niat baiknya?
Oh iya, jelas sekali salahnya. Nggak ada angin, nggak ada hujan kenapa memutuskan membuat komitmen sendiri? kenapa dari awal gak bilang dulu pada Renjun bahwa perkenalan ini akan menuju ke jenjang yang lebih serius? Kalau dari awal dia tau, mungkin perkenalan ini gak akan terjadi. Renjun ingin masa mudanya dia habiskan sendiri tanpa ikatan!
"Kan mas bilang, ayo saling dekat dengan begitu mas bisa lamar kamu dua bulan lagi."
"Kenapa begitu cepat? Mas, adek belum siap! Mas, adek masih muda! Adek mau kerja! Mas jangan gila!"
Tatapan aneh di sekeliling membuat Jeno hm...sedikit malu karena, Renjun reflek berdiri dan berteriak. Siapa yang gak akan kaget dan kebingungan?
Jeno meraih pundak sempit milik Renjun dan membawanya duduk kembali. Takut-takut nanti pada salah sangka, dikiranya Jeno lelaki bajingan, lagi. Apa-apaan?! Jeno 'kan baik hatinya, santun orangnya, kuat imannya.
Iya Jeno!!!
"Jangan teriak, dek....kita bisa omongin baik-baik," Ujarnya. Tangan kokoh milik Jeno bebas mengusap punggung belakang Renjun, menenangkannya. Diberinya air mineral agar deru nafasnya teratur, tidak menggebu-gebu.
Syukur deh, Renjun tipikal gampang jinak(?)
Jeno kembali ke tempat duduknya. Dia meraih kembali tangan mungil itu untuk digenggam. Tatapan lembut Jeno berikan agar suasana menjadi syahdu kembali.
"Mas tau, mas faham Renjun belum siap. Dan memang bukan saatnya untuk Renjun berumah tangga. Saling mengikat. Hidup teratur. Bukan saatnya. Mas tau itu..."
"Tapi, bisakah mas hanya mengikat kamu sebagai tambatan hati mas? Pelabuhan terakhir mas?"
Renjun menggeleng kuat tetap membisu.
"Kenapa?" Tanya Jeno. Tangannya terus aktif mengusap punggung tangan yang mempunyai tanda cacat yang indah disana.
"Mas, mungkin mas salah udah milih adek. Adek..."
"Takut? Renjun takut? Dek, dengerin mas..." Jeno mulai mengambil nafas yang sempat tercekat. "Mas tau langkah tepat apa yang harus mas ambil. Mas sudah dewasa, mas sudah mapan. Jadi, mas tau mana yang tepat untuk mas. Hati, fikiran serta dorongan hebat yang... bahkan mas gak tau dorongan itu darimana? Itu semua tertuju pada adek. Percaya."
Tangan Jeno bebas mengambil tangan mungil itu menariknya untuk dikecup penuh sayang.
Cowok di depannya ini, semakin tersedu-sedu di tengah tingkah manisnya Jeno mengecup punggung tangannya. Dia nggak tau harus apa? Apa dia harus percaya? Tapi, dia gak mau kecewaㅡlagi.
Dulu, saat Renjun masih duduk di semester empat ada pemuda yang samaㅡingin membuat komitmen dengannyaㅡRenjun percaya seratus persen. Singkatnya, di tengah jalan dia dihianati begitu saja.
Apa Renjun harus percaya dengan Mas Jeno?
"Adek bisa 'kan percaya sama mas?"
Renjun lagi-lagi menunduk. Dia gak tau harus balas apa dan bagaimana? Fikirannya sibuk dan ketakutan yang masih menyelimuti dirinya.
"Adek... butuh waktu."
Jeno tersenyum mendengar suara Renjun dan pernyataan darinya. Seenggaknya Jeno tau, Renjun akan membuka jalan untuk dirinya berlabuh. Suatu saatㅡ
Secepatnya!
A/N : Terharu banget chapter lalu banyak apresiasinya buat gue senyum-senyum sendiri!!! Makasih sudah mau mampir, Love ❤❤
KAMU SEDANG MEMBACA
Love O'clock; Noren
Fanfiction"Kebayang gak sih, aku cinta sama kau setiap jam, menit dan detik perharinya?" "Ha? gimana? konyol! kita saja baru saling kenal." Ini bukan kisah dimana mereka berdua adalah seorang bucin seperti yang kalian kira. Mereka tidak berpacaran, kenal saja...