B I R U || 4

1.5K 116 10
                                    

-Apa yang salah diriku? Atau memang kau yang tak mau berteman denganku?.-Biru

***

Hari Rabu adalah hari yang paginya dijadwalkan pelajaran olahraga untuk kelas XI MIA 5, kelas Lana dan Bagas. Lana menuju sekolah sudah lengkap dengan baju olahraga, sementara seragam batiknya ia bawa menggunakan tas kain kecil yang ia tenteng. Ketika sampai di sekolah dia mendapati bahwa dirinya sendiri yang sudah tiba, Lana tidak terlambat lagi. Gadis itu menyimpan tas kecil yang ia tenteng ke dalam laci dan tas punggugnya ia sampirkan ke sandaran kursi. Tangannya lihai mengambil buku yang selalu ia bawa, buku usangnya. Sembari mengeluarkan pena dari tempatnya, Lana mulai menyelami dunia khayalnya.

"Wah, pagi ini aku disapa oleh pemandangan indah." Terdengar suara yang menghancurkan khayalan Lana. Gadis itu hanya mendengus tanpa menanggapi lanjut.

"Aku jadi penasaran dengan apa yang kamu tulis," ujarnya.

"Tidak perlu," balas Lana.

"Kenapa, Jingga?" tanya Bagas.

"Jangan panggil saya Jingga," ujar Lana sedikit kesal.

"Kenapa tidak boleh?" Bagas masih bertanya.

"Ternyata kamu benar-benar wartawan," balas Lana tak acuh lalu kembali berenang di dalam lautan khayalnya.

Bagas tetap menghujaninya dengan pertanyaan yang di awali kenapa yang amat banyak, tetapi hanya dijadikan dengungan lebah oleh Lana. Sesekali lelaki itu mencoba mengintip apa yang sedang ditulis oleh gadis di sampingnya, tetapi tak sedikitpun kata yang mampu ia mengerti. Hurufnya tak jelas, entah yang Lana tuliskan adalah sebuah kode atau memang tulisannya yang seperti tulisan dokter.

Semakin jam meninggi, satu persatu teman kelas mereka tiba dan sudah menduduki bangkunya masing-masing, tetapi ada yang menunggu di luar kelas dan ada pula yang langsung lepas landas di lapangan, tak lagi sabar ingin bermain. Lana masih asyik mengarungi khayalnya dan Bagas masih betah mengoceh pada Lana yang sama sekali tak ingin mengacuhkannya.

"Gas, team gue ya nanti!" Ujar Bara, teman sekaligus ketua kelas Bagas dan Lana.

"Siap! Mujukin si Jingga dulu," ujarnya tak jelas. Harapannya Lana bisa menanggapi dia, tetapi harapan yang ia lambungkan hanya menjadi bunyi lagu yang diputar ketika hujan, tidak terdengar.

"Jingga, ayo keluar! Pelajaran olahraga sudah mau mulai," Ajaknya.

"Silakan duluan," balas Lana.

"Mau bersama-sama,"

"Saya masih lama," balas Lana lagi.

"Akan menunggu," gigihnya.

"Berarti akan semakin lama,"

"Akan selalu menunggu,"

"Berarti tidak akan pergi,"

"Biarlah di sini saja, bersama kamu,"

"Ayolah! Saya tidak mau berjalan berdampingan dengan kamu. Kalau kamu mau menunggu di sini, saya yang duluan," Ujar Lana jengah, lalu beranjak dari kursinya dan melewati Bagas yang kebingungan dengan percakapan mereka.

"Gimana tadi?" Pikirya, "Eh ya ampun, aku bodoh sekali," ujarnya menyadari sebuah kebodohan yang baru saja ia lakukan.

***

Pelajaran olahraga sebenarnya tak mengenakan bagi Lana, seperti gadis pada umumnya; risih. Dirinya sukar berdamai dengan pelajaran olahraga, sedari dulu. Gadis itu selalu diminta untuk membuka kacamatanya agar tak terkena bola atau sebagainya, tetapi bagaimana bisa ia tak memakai kacamata dengan minus yang sudah banyak ini.

Didatangkan kabar bahwa jam olahraga mereka kali ini cukup diisi dengan permainan tanpa materi karena sang guru sedang ada urusan, tetapi mereka tidak boleh kembali ke kelas sebelum jam olahraga habis. Kabar ini menyiksa Lana, semua perempuan ada yang bergerombol menggosip, ada yang mengambil foto diri atau bersama-sama, dan sisanya ikut bermain, entah bola, voli, atau apapun yang bisa dimainkan. Fakta yang baik adalah; Lana hanya duduk sendiri, merunduk, tak memiliki teman.

Jauh di dalam lubuk hatinya, Lana sangat ingin seperti gadis-gadis lain yang memiliki banyak teman yang bisa berbagi cerita mengenai laki-laki atau merek bedak masa kini. Dia juga ingin memiliki sahabat yang bisa mendengarkan keluh-kesahnya, ceritanya, atau bisa berbagi tawa dengan dirinya. Namun dia tak punya daya, sisi pada dirinya sangat tak nyaman jika mengobrol dengan banyak orang, sesak bila mulai tertawa dan risih bila ingin berbincang. Jadilah ia menyesali kenapa dirinya tidak membawa buku usang dan sebuah pena untuk menuliskan ide-idenya, sekarang ia benar-benar sepi dan sendiri.

"Jangan murung," lagi-lagi Lana terusik.

"Aku duduk di sini saja, menemani kamu merenung," putus laki-laki itu, Bagas.

Lana hendak mengobrol dengan Bagas, tetapi ia tak mau berbicara. Pada akhirya mereka berdua hanya berdiam-diaman, Lana masih asyik memandangi ujung sepatunya, sementara lelaki di sampingnya memandangi dirinya. Terkadang gadis itu menggerak-gerakkan tangannya yang sedikit pegal atau mengembuskan dengan gusar untuk napasya, diamnya mulai merasa tidak nyaman pada hadirnya Bagas.

Jam olahraga akhirnya berakhir juga, Lana langsung mengembuskan napas senangnya. Bagas hanya tersenyum simpul melihat reaksi gadis itu ketika jam olahraga habis, sebegitu tidak nyamannya dia pada keramaian. Teman-teman kelas mereka langsug berbondong-bondong kembali ke kelas, ada yang melenceng langsung ke kantin, ada pula yang tetap bertahan bermain bola di lapangan.

Lana berdiri, lalu berjalan meninggalkan Bagas. Lelaki itu hanya memandangi langkah kaki Lana yang menuju kelas. Meskipun tanpa sapaan atau ucapan, setidaknya Lana sudah mulai menerima hadirnya dengan tidak pergi saat Bagas duduk di sampingnya.

BIRU (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang