Assalamualaykum wr.wb.
Rumy kembali. Jangan lupa mengorenkan ikon bintang ya!
Happy reading😗
.
.
.-Ungkapanmu membuatku membeku, lirih rindumu memaksaku menyendu. Apakah semua itu benar adanya?- Rumy
***
“Aku sudah jatuh cinta pada kamu.”
Lana menegang, lidahnya kelu, bibirnya bungkam.
“Biru,” panggilnya lirih.
“Iya?”
“Apa saya harus jawab? Apa saya harus balas, Biru?” tanyanya getir.
“Tidak, Jingga. Tidak ada yang perlu kamu jawab, tidak ada yang harus kamu balas, biarkan semuanya berjalan dengan semestinya, biarkan semesta mengambil penuh alurnya setelah ini,” balas Bagas bijak.
“Tapi, Biru, kenapa bisa?” tanya Lana.
“Aku tidak tahu, Jingga. Semua itu terjadi begitu saja, semua kataku terucap begitu saja,” jawab Bagas.
“Biru, saya deg-degan dan gemetaran,” aku Lana.
Bagas menghentikan motornya di tepi jalan raya yang mulai meramai, menandakan beberapa lelah-lelah menghimpun untuk menemui rumah yang selalu menanti sebuah kepulangan meski dipenuhi peluh.
Setelah motornya sempurna berhenti, Bagas memutar badannya mengarah pada Lana yang sudah tampak pucat. Laki-laki itu mengernyit bingung menatapi gadis di hadapannya yang menatap lurus ke depan, tetapi tatapan gadis itu menunjukkan tatapan kosong yang tak berarti.
“Hei, kamu kenapa?” tanya Bagas seraya melambai-lambaikan tangannya di hadapan wajah Lana.
“Setelah ayah, selama hampir sepuluh tahun lalu, baru kali ini saya mendengarkan kata-kata cinta dari seorang laki-laki, Biru,” aku Lana lirih. Mata gadis itu mengerjap beberapa kali.
“Lalu, masalahnya apa?” tanya Bagas.
Lana memejamkan matanya, “Saya tidak tahu, Biru. Hanya saja hati saya bergetar, jantung saya berdetak lebih kencang, saya mengeluarkan keringat dingin, tubuh saya panas dingin, matanya saya rasanya juga panas seperti ingin menangis. Apa saya akan demam ya, Biru?” ucapnya.
“Ah, kamu. Sudahlah, kata-kataku tadi usahlah terlalu dipusingkan, anggap saja angin berlalu,” ujar Bagas, lalu duduk lagi seperti awal.
“Angin berlalu tidak mengatakan kata-kata seperti itu, Biru,” bantah Lana.
Bagas lagi-lagi memutar kepalanya menatap Lana, “Iya, ‘kan sudah aku bilang anggap saja,” ujarnya.
“Sulit, Biru. Tidak muda. Lagipula kenapa kamu justru melontarkan kata-kata yang akan mengusik pikiran saya, sih?” ujar Lana sewot.
“Supaya kamu memikirkan aku selalu,”
“Ih!” ujar Lana, lalu tanpa sengaja tangannya refleks memukul pundak Bagas.
“Tuh, hahahaha!” kekeh Bagas.
“Sudah, ah! Pulang!” rengek Lana.
Bagas mengangguk menanggapi. Biarlah apa yang ia ungkapkan pada gadis itu hanya menjadi napas yang dibawa angin sehingga cepat berlalu. Biarlah apa yang ia ucapkan hanya dianggap sehelai daun kering yang berguguran tanpa menggerutu dan iri pada daun muda yang mulai menumbuh. Biarlah apa yang ia katakan hanya menjadi tetes air yang bergabung sehingga membentuk aliran sungai yang tak terbendung. Biarlah yang ia lontarkan hanya sebagai lirih-lirih ranting yang bergesekan yang berubah menjadi nyanyian alam. Biarlah Bagas mencintai Lana dengan penuh kata biarlah, tanpa ucapan, tanpa balasan, tanpa kerinduan, tetapi cinta itu ada.
***
“Kenapa berhenti, Biru?” tanya Lana ketika motor yang dikendarai Bagas berhenti di dekat penjual-penjual makanan.
Bagas turun lebih dulu dari motornya, lalu diikuti Lana, “Mau membeli martabak untuk calon mertua,” balas Bagas.
Lana terperanjat dan hampir saja tersandung saat turun dari motor ketika mendengar ucapan Bagas, “Biru mau menikah?” tanyanya polos.
“Iya,”
“Wah, selamat, Biru!” ungkap Lana seraya mengulurkan tangannya, “Sama siapa?” tanyanya.
Bagas terkekeh, “Aku hanya bercanda, Jingga,” ujarnya gemas.
Lana hanya diam dan kembali memasang wajah ketusnya.
“Yah, merajuk!” keluh Bagas, “Mau membelikan Ibu kamu martabak, supaya nanti ketika meminta izin akan dilancarkan,” terangnya.
Lana mengernyit, “Menyogok?”
“Tidak, sebenarnya aku memang ingin membelikan Ibu kamu martabak, Jingga,” jawab Bagas.
“Ibu tidak suka martabak,” ujar Lana.
Bagas menyatukan dua alisnya dan berpikir, “Lalu, suka apa?” tanyanya.
“Uang."
“Eh, aku serius, Jinggaku,” ucap Bagas.
“Tadi kamu mengatakan bercanda,” bantah Lana.
“Ya, tetapi sekarang serius,” ucap Bagas.
“Ibu sukanya donat,” ujar Lana memberitahu, “Yang hiasannya kacang, coklat sama keju,” sambungnya.
“Ya sudah, ayo kita ke toko kue,” ajak Bagas, lalu mengaitkan tangan Lana pada tangannya.
Lana melepaskan tangannya dari tangan Bagas, “Jangan memegang tangan saya, Biru,” ujarnya.
“Kenapa?”
“Nanti saya panas dingin dan pucat, lalu lari dan kamu ditinggalkan lagi.”
Bagas terkekeh mendengar ucapan Lana, tiba-tiba teringat pada awal-awal mereka berkenalan.
“Sebenarnya donat dengan hiasan kacang, keju dan coklat itu bukan kesukaan Ibu, tetapi kesukaan ayah. Saya masih ingat, sekitar umur sayaempat tahun, ayah selalu membawa pulang tiga jenis donat dengan hiasan yang berbeda,” ujarnya, matanya menerawang ke sekitar sebelas tahun yang lalu, “Hiasan stroberi untuk Jingga, hiasan bluberi untuk ibu dan hiasan campuran kacang, keju dan coklat untuk ayah,” sambungnya.
“Aku suka semuanya, Jingga,” ujar Bagas.
“Lalu, setelah ayah dimakan laut, Ibu tidak lagi menyukai donat bluberinya. Ibu beralih menyukai semua hal yang ayah sukai. Ibu sangat mencintai ayah, Biru. Sampai sekarang saya masih sering melihat ibu memandangi foto ayah, foto ibu dan ayah ataupun foto kami bertiga. Selalu ada airmata yang keluar, saat ibu memandangi gambar-gambar yang tak bersuara itu, Biru,” ungkap Lana, “Saya sebetulnya sedih melihat ibu seperti itu,” sambungnya.
“Kenapa?”
“Ibu seperti tidak ikhlas akan perginya ayah. Oh iya, semenjak hari naas kabar ayah dimakan laut itu tiba, ibu jadi tidak pernah lagi pergi ke pantai. Ibu tidak benci pada laut, hanya saja ketika kutanyakan ibu selalu bilang seperti ini,” ujar Lana berjeda sejenak, “Ibu hanya takut tiba-tiba ibu berlari ke tengah laut dan menenggelamkan diri karena ingin menyusul ayahmu, Nak. Ibu tidak mau meninggalkan kamu, makanya ibu tidak lagi mau ke pantai. Jangankan di pantai, di sekitar rumah ini saja hingga sekarang ibu selalu terbayang-bayang ayahmu,” ucapnya mengikuti ucapan sang Ibu.
“Sabar ya, Jingga. Aku tidak tahu apa yang kamu rasakan, tetapi nampaknya amat sedih. Aku tidak bisa memberikan kamu nasihat, kata-kata bijak atau semacamnya, karena aku sendiripun belum pernah mengalami apa yang kamu dan ibumu alami. Namun, ada satu hal yang harus kamu tahu, bahwa semua orang akan mengalami sebuah kehilangan, entah lebih pahit darimu, entah lebih ringan, entah bagaimana cara Tuhan memberinya kita tidak tahu. Dan sekarang adalah giliranmu dan ibumu, sudah hampir sepuluh tahun kalian lewati, sedikit lebih lama lagi, tidak masalah, ‘kan?” tanya Bagas.
Lana hanya mengangguk untuk menanggapi, matanya sudah berkaca-kaca. “Tidak jadi beli donat, Biru?” tanyanya, berusaha tersenyum.
“Jadi, dong! Untuk calon mertua,” balas Bagas riang, berusaha agar keriangan itu menular pada gadis yang tengah pilu di sampingnya ini.
Bagas dan Lana kembali berjalan ke motor tua Bagas yang terparkir, menaikinya dan melaju menuju toko kue. Membiarkan semua pedih diceritakan oleh angin dan disampaikan pada orang-orang yang benar-benar peduli. Membiarkan semua luka diterbangkan oleh udara yang ditangkap oleh para burung, lalu dibisikkan pada mereka yang benar-benar mengerti. Membiarkan hingga semesta yang baik bisa berkonspirasi mengubah kata membiarkan menjadi sejuta kebahagiaan sederhana yang menyejuk di hati.
***
Toko kue yang dua insan itu datangi cukup riuh dan ramai, sepertinya sedang banyak yang akan merayakan ulang tahun. Hampir semua yang akan pulang membawa tentengan kantung plastik yang cukup besar, yang juga menyimpan kotak kue yang tak kalah besar. Sepertinya memang banyak yang sedang bertambah umurnya di bulan ini.
Toko kue tersebut berdiri di pinggir jalan, yang memiliki ikon yang khas, sehingga orang-orang yang mencari dapat dengan mudah menemukannya. Toko kue itu juga sudah banyak tersebar dan menjamur di provinsi Bengkulu, sedari dulu.
“Jingga, mau berapa kotak?” tanya Bagas saat mereka sudah masuk ke toko kue.
Lana menyatukan alisnya, berpikir sejenak, “Katanya kamu yang mau membelikan untuk ibu, kenapa justru bertanya pada saya?” tanyanya.
“Maksudku kira-kira berapa banyak yang ibumu makan?” ralat Bagas.
“Memangnya kalau mau memberikan itu harus tahu dulu jumlahnya, ya?” tanya Lana lagi.
Bagas mendengus, “Ya sudahlah,” ujarnya.
Bagas berjalan menuju rak yang berisikan banyak donat, menelisik dan mencari donat-donat yang akan ia halalkan untuk dimakan. Lana mengikuti langkah kakinya di belakang, menunduk dan mulai merasakan ketidaknyamanan dalam dirinya. Bagas tengah asyik memindahkan donat-donat yang akan ia beli ke nampan yang sudah tersedia. Sesekali ia bertanya pada gadis di belakangnya, untuk sebuah persetujuan membeli donat yang mana. Yang bisa Lana lakukan hanyalah mengangguk dan mengiyakan.
“Lana?” tiba-tiba suatu panggilan mengusik kuping Lana dan Bagas.
Lana menoleh, terdapat wajah laki-laki yang cukup ia kenali, tetapi tak cukup tahu siapa namanya. Bagas ikut menoleh, terperanjat karena jarak antara wajah laki-laki itu dan wajah Lana cukup dekat. Untungnya Lana sadar dan mundur perlahan, menjauhi hembusan napas laki-laki yang menggapai wajahnya itu.
“Eh, Kak Nata!” sapa Bagas, menetralisirkan rasa kagetnya.
“Hai, Bagas!” sapa Nata, lalu bertos ria bersama Bagas. Lana mundur dan bersembunyi di belakang Bagas.
“Ngapain, kak?” tanya Bagas basa-basi.
“Mau beli kue ulang tahun buat Bunda, Bunda gue ulang tahun, Gas,” ujarnya.
“Ohhh, selamat ulang tahun deh kak buat nyokap lo,” ujar Bagas.
“Makasih, Gas. By the way, tar malem ada acara kecil-kecilan buat bunda, lo sama Lana dateng, ya?” pinta Nata. Lana menggeleng di belakang Bagas, meski tak terlihat.
Bertemu dengan orang baru memang menyulitkan baginya.
“Liat nanti deh, kak. Lana susah dapet izin keluar malem soalnya,” ujar Bagas beralasan. Dia amat tahu Lana akan sukar berdamai dengan lingkungan baru, Lana akan cepat merasa tidak nyaman. Lagipula, ia tak mau Lana terlalu dekat dan akrab dengan Nata, dia cemburu.
“Oh, yaudah deh. Gue duluan, ya! mau prepare soalnya, kejutan, hehe,” ujar Nata di akhiri kekehan.
KAMU SEDANG MEMBACA
BIRU (COMPLETED)
Romance(TAMAT) (CERITA INI DIBUAT UNTUK DIBACA, BUKAN UNTUK DIPLAGIAT!) . Cerita seorang gadis yang bernama Lanaria Jingga, pendiam, berkacamata, mungil dan tidak ekspresif. Dipertemukan dengan seorang lelaki yang bernama Albiru Bagaskara yang memiliki sik...