Assalamualaykum, jangan lupa vote dan comant!
_______________________________
-Nata, kamu harus tahu kalau kamu tidak akan pernah bisa menggantikan posisi Biru di hati saya.- Jingga
***
“Halo, adik-adik kakak!” sapa Nata ceria. Anak-anak di rumah singgah itu membinarkan matanya saat Nata menyapa mereka.
“Halo, kak Nusantara!” jawab mereka kompak. Nata menyunggingkan senyumnya.
“Kak Nusantara bawa kak Jagat Raya nih!” ujar Nata seraya memandang ke arah Lana. Yang dipandangi justru menundukkan kepalanya canggung.
“Kak Galaksi Bima Sakti, kak Jagat Raya cantik, ya!” ujar salah satu bocah laki-laki kepada relawan yang sedari tadi menyapa mereka. Deon, atau Galaksi Bima Sakti hanya mengangguk menyetujui.
“Kak Jagat Raya, kenalin diri, dong!” pinta si bocah perempuan, seraya memamerkan giginya yang sudah ompong dua.
Lana menatap mereka bingung. “Lan, di sini mereka terbiasa memanggil para relawan dengan nama gelar. Deon, mendapatkan gelar Galaksi Bima Sakti. Aku, Nusantara. Ada lagi, Gina namanya, gelarnya Khatulistiwa. Dan kamu, gelarnya Jagat Raya,” terang Nata untuk menjawab kebingungan Lana. Gadis itu menganggukkan kepalanya tanda mengerti.
Lana melambaikan tangannya. “Hai!” sapanya kikuk. “Ehmm, nama sa, eh,” ujarnya terbata. “Nama kakak Lanaria Jingga, biasa dipanggil Lana, tapi kakak dipanggil Jingga sama Biru,” jelasnya. Nata terhenyak, tentang Biru masih amat melekat di benak Lana.
“Biru siapa, kak?” tanya anak laki-laki yang lain.
“Manusia baik!” jawab Lana girang.
“Wah, Biru bisa melawan orang-orang jahat dong, kak?” tanya anak perempuan yang meminta Lana mengenalkan dirinya.
“Iya, dong! Karena Biru adalah manusia baik.” Lana terkekeh. Membahas tentang Biru menjadi penyembuh rindu sendiri untuknya.
Nata sadar, untuk saat ini bayang-bayang tentang Biru masih mengikuti gadis yang ia cintai. Tidak mudah membuat Lana untuk melupakan Birunya. Jika Nata berada di posisi Lanapun, ia tak yakin kalau ia akan sanggup.
“Biru sekarang dimana, kak?”
“Biru sedang terbang!”
“Biru bisa terbang, kak Jagat?” tanya anak-anak itu antusias.
“Biru bisa jadi apapun! Biru bisa jadi Super Man, Ant Man, Iron Man, semuanya, Biru bisa jadi semuanya!” ujar Lana bangga. Terobati sedikit rasa rindunya dengan ini semua. “Sekarang Biru jadi Biru Man!” kekeh Lana.
Lana terus bercengkerama bersama anak-anak rumah singgah itu dengan topik bahasan utama adalah mengenai Birunya, orang yang amat ia rindukan. Nata sesekali hanya tertawa saat melihat Lana tertawa, muka gadis itu sedikit bersinar meski mata bengkak tetap menghiasinya.
Tidak mengapa bagi Nata jika yang Lana bahas adalah mengenai Biru. Laki-laki itu memang membuat kesan yang manis, indah, riang dan gembira di hati Lana. Tidak pernah terkikis sedikitpun meski ia sudah menghilang hampir dua bulan. Nata tidak akan pernah bisa menggantikan posisi Biru.
Satu jam berlalu, sekarang sudah menunjukan pukul empat sore, saatnya Lana pulang.
“Pulang, Lan?” bisik Nata, Lana hanya mengangguk.
“Teman-teman, Kak Nusantara sama Kak Jagat Raya pulang dulu, ya!” pamit Nata.
“Kak Nusantara sama kak Jagat Raya cocok kalau jadi pasangan.” Nata tersipu, sementara Lana hanya tesenyum simpul tidak menanggapi karena ia menganggap ini hanyalah lelucon yang dilontarkan oleh anak kecil.
“’Kan kak Lana sudah punya Biru!” sungut salah seorang anak kecil menjawab celetukkan temannya tadi, kali ini Lana terkekeh.
“Oh, iya, Lupa!” ujarnya seraya menepuk jidat. “Maaf kak Nata, kakak belum beruntung!” sesalnya. Lana masih terkekeh, sementara Nata hanya tersenyum kecut.
Nata menarik tangan Lana, untuk kali ini Lana tidak merasa risih karena hatinya sudah sedikit bahagia. “Kami pamit, ya, assalamualaykum,” ujar Nata.
“Waalaykumussalam,” ujar anak-anak kompak.
Lana dan Nata sudah masuk ke mobil, senyum ceria masih bertengger manis di wajah Lana.
“Nata,” panggilnya tiba-tiba. Nata menoleh dan hanya menjawab dengan gumaman.
“Terima kasih.”
“Untuk?” tanya Nata.
“Hari ini, karena sudah membuat saya sedikit lebih enak hati dan merasakan bahagia.”
Lihatlah, Nata. Gadis yang kau dambakan ini begitu mencintai Birunya. Perhatikan, hanya sekedar menceritakaan pujaannya saja gadis ini sudah tersenyum bahagia seperti itu. Kamu hanya perlu membawa Biru kembali kepadanya untuk membuat ia kembali bahagia. Lupakan saja masalah hatimu, jangan egois, batin Nata bergejolak.
“TIDAK!” sentak Nata tiba-tiba karena pemikiran buruknya, sehingga Lana hampir saja terperanjat.
“Kamu kenapa?” tanya Lana gugup.
“Tidak kenapa-kenapa, Lana, maafkan aku sudah membuatmu kaget.” Lana mengembuskan napasnya lega.
Satu lagi yang berbeda antara Bagas dan Nata. Bagas selalu memenuhi rongga otaknya dengan pemikiran positif, sementara Nata sedikit negatif.
“Mau melihat senja?” tawar Nata.
Lana menggeleng. “Mau pulang saja, Nat,” pintanya.
Nata hanya mengangguk, lalu melajukan mobilnya menuju kembali ke rumah Lana. Nata bukanlah pemaksa seperti Biru, tetapi Lana adalah type gadis yang harus dipaksa agar mau melakukan sesuatu.
“Kenapa tidak mau melihat senja?” tanya Nata iseng. “Bukannya kamu suka senja, Lan?” sambungnya.
Lana menggeleng, “saya hanya mau melihat senja bersama Biru. Kalau bukan dengan Biru, artinya saya tidak suka pada senja.” Jawaban Lana lagi-lagi menusuk relung hati Nata, Biru begitu melekat pada hati dan diri Jingganya. Nata hanya mengangguk-anggukan kepalanya, ia bungkam tak bisa berkata apa-apa.
“Kapan kelulusan sekolah, Lan?”
“Dua minggu lagi.”
“Wah, deg-degan gak, Lan?”
“Semua deg-degan yang saya punya sudah diambil oleh Biru,” lirih gadis itu sendu.
“Sudah mendaftar ke sekolah keperawatan?” Nata tak ambil pusing atas pernyataan Lana barusan.
“Sudah. Sebelum ujian kemarin saya mendaftar ke sekolah keperawatan, bersama Biru.” Biru lagi, batin Nata.
“Kalau kelulusan artinya kamu akan bertemu dengan Bagas di sekolah dong, Lan?” tanya Nata tetap berusaha.
Lana hanya mengedikkan bahunya, “mungkin iya, mungkin tidak. Saya tidak tahu jawaban pastinya.”
“Semoga kamu bisa lulus dengan nilai bagus ya, Lan!” seru Nata berdoa.
Lana mengembuskan napasnya. “Semoga saja begitu, agar Biru tidak terlalu malu berkenalan dengan saya.”
“Biru itu mencintai kamu, Lan!” seru Nata lagi.
“Memang begitu, saya mungkin saat ini juga mencintainya.”
“Kenapa kamu tidak memikirkan perasaan aku, Lan?”
“Memangnya apa yang harus saya pikirkan?” tanya Lana bingung.
“Lana lapar gak?” Lana hanya menggeleng.
“Mau aku ajak ke suatu tempat gak?”
“Mau pulang, Nat.”
“Ya sudah, deh.” Nata pasrah, ingin rasanya ia menyerah saja. Namun, rasa sayang yang ia punya untuk gadis yang tengah menekuri kaki di sebelahnya ini sudah amat mengakar jika harus dipaksa untuk disudahi.
***
“Albiru sudah bisa dibawa pulang.” Ratih merasakan lega atas pernyataan dokter yang menangani anaknya itu.
“Alhamdulillah,” ujar Zera dan Ratih hampir bersamaan.
“Saya cek berkasnya dulu, mungkin sekitar satu jam lagi Albiru sudah bisa dibawa pulang.”
Bagas sudah tampak lebih segar dan bugar. Ia sudah tak berteriak atau meraung karena pening dan dengungan lebah lagi. Kondisinya sudah mulai membaik, tetapi ingatan tentang Lana tak kunjung kembali ke otaknya.
Zera dengan telaten mengurus Bagas selama ia berada di dunia kelam dan sakitnya. Ia juga dengan senang hati mengurus Bagas saat dirawat di rumah sakit. Ia bahagia, mungkin ini terakhir kalinya ia memiliki kesempatan untuk merawat Albinya.
Ada satu titik di benaknya yang mencegahnya untuk melepaskan Bagas, benar-benar tidak melepaskan Bagas. Ada bagian dalam hatinya yang memerintahkannya untuk bersikap egois, agar ia tetap mempertahankan Bagas. Pikiran buruk di otaknya juga terkadang berkonspirasi untuk selalu berada di dekat Bagas atau mencoba membuat Bagas tak mengingat Lana lagi, membuat Biru tidak mengetahui mengenai Jingganya. Namun, pikiran itu ia enyahkan. Ia tidak boleh egois. Bagas harus menerima kesembuhannya yang sebenarnya, Bagas harus memiliki cintanya, Bagas harus dipertemukan dengan kebahagiaannya. Yaitu seorang gadis yang bernama Lanaria Jingga.
“Sayang....” Zera terdiam saat Bagas memanggilnya sayang.
“Iya, Albi?” tanyanya.
“Panggil gue sayang, ya, Ra?” pinta Bagas.
Zera tercenung sebentar. “Kenapa harus memanggil Albi dengan kata sayang?” tanyanya.
“Biar kita kaya orang pacaran, Ra,” jawab Bagas girang. Raut wajah laki-laki itu sedikit bersinar.
“Kita ‘kan gak pacaran, Albi,” tolak Rara halus.
“Ya udah, anggap aja sekarang kita pacaran.”
“Gak boleh kaya gitu.”
“Ayolah, Ra. Turutin mau gue kali ini.”
“Tap....”
“Lo udah gak sayang sama gue, Ra?” sela Bagas sendu.
“Iya udah, Rara panggil Albi pake sayang.” Bagas tersenyum, tetapi tampak pahit.
Albi, untuk kali ini Rara bakal ngikutin kemauan Albi. Mungkin ini terakhir Rara bisa membuat Albi bahagia kayak gitu. Semoga Albi gak patah lagi, ya, Bi. Semoga Jingga bisa segera Rara temukan. Dan semoga Albi akan benar-benar sembuh, batin Zera.
“Makasih, sayang.”
“Sama-sama.”
Ratih memperhatikan interaksi antara anaknya dan Zera. Ratih tahu, hati gadis itu sekarang sudah amat perih. Bagas sudah tidak menginginkannya, tetapi sosok Albi yang luka masih membutuhkannya. Zera adalah gadis yang tegar. Ia sudah membicarakan pada Ratih tentang niatnya untuk membawa Jingga pada Bagas. Saat mendengar keinginan Zera, Ratih hanya tersenyum. Tidak tahu harus mengatakan apa lagi.
***
Biru, lagi-lagi saya membicarakan tentangmu di buku ini.
Saya selalu saja suka untuk menuliskan kata-kata tentangmu di buku ini, yaaaa, meskipun kamu tak pernah bisa menjadi pembacanya. Katamu, tulisan saya mirip dokter. Hehe.
Mungkin kamu adalah salah satu manusia yang akan menghilang dari peredaran saya, sekarangpun sudah hampir dua bulan kamu mulai tak ada. Namun, saya ingin berterima kasih karena kamu yang hadirnya hanya sebagai pemilih untuk menjadi kenangan bagi saya.
Biru, saat saya berjalan, bepergian. Mata saya selalu mengedar mencari keberadaanmu, tetapi tetap saja jawabannya adalah tidak ada. Kamu bersembunyi dimana sih, Biru? Saya sudah menghitung hingga tak terhingga lagi, ah tapi saya tetap saja tidak mendengar pengakuanmu yang bersuruk di mana. Apakah kamu benar-benar hilang, Biru?
Kamu dulu pernah bilang; kalau saya adalah pembangkit semangatmu. Begitu, Biru, saya sangat ingat kalau kamu bilang begitu. Lalu, sekarang kamu yang hilang dan saya merasakan patah. Biru, saya ini sudah patah dan menjadi lebih patah lagi.
Menuju tengah malam yang sendu.
Lanaria Jingga
Lana menutup buku yang bersampul warna biru itu, warna kesukaannya, warna seorang laki-laki yang ia harapkan untuk dapat segera hadir di sisinya lagi. Buku yang berjudul “Kalimat untuk Biru” itu ia simpan di laci meja belajarnya. Lalu, gadis itu menaiki tempat tidur dan merebahkan dirinya.
Lana lagi-lagi menatap langit-langit kamarnya. “Biru, saya sudah bertemu orang banyak, ramai sekali dunia ini rupanya. Orang-orang berpasangan, Biru, dan kamu tidak ada. Jangan hilang, Biru. Atau, ternyata laut sudah menenggelamkan kamu? Sehingga warna biru laut terlihat lebih pekat akhir-akhir ini?” gumamnya.
“Saya ingin bertemu denganmu lagi, Biru. Menuntaskan semua penyesalan atas perlakuan saya kepadamu kemarin-kemarin.” Lana menghapus satu titik air matanya yang keluar.
“Biru, apa langit yang kau pandangi itu tetap indah? Soalnya kamu pernah bilang pada saya kalau langit itu akan indah jika kamu memandanginya dengan saya yang ada di samping kamu. Sekarang bagaimana keadaan langitmu, Biru?” Lana memejamkan matanya, menikmati semua rasa sakit yang menyapa relung hatinya.
“Ah, Biru, sebentar lagi sekolah kita akan segera kelulusan. Apakah saya akan bertemu denganmu, Biru? Saya harap jawabannya adalah iya. Saya ingin merekam senyum kamu. Jika memang nanti saya tidak bisa lagi bertemu dengan kamu, saya masih mempunyai bayangan tentang senyummu.” Lana memiringkan tubuhnya menghadap meja belajarnya. Di sana, di sudut kanan meja tersebut terpajang fotonya bersama Bagas saat mereka berjalan-jalan ke Pulau Tikus satu setengah tahun yang lalu.
Lana memosisikan tubuhnya menelentang lagi seperti semula, ia menarik napas lelah, lalu mengembuskannya dengan patah. “Saya mengantuk, saya akan segera memejam. Saya akan segera bertidur dan lagi-lagi tanpa senyummu yang mampir di hari saya pada hari ini. Lagi-lagi saya merindukan keadaan dua bulan yang lalu, lagi-lagi saya mengharapkan agar kamu dapat kembali.” Lana memeluk gulingnya, air matanya sudah bercucuran. “Lagi-lagi saya iri pada diri saya beberapa bulan yang lalu, yang begitu bahagia mendapatkan perhatian darimu, Biru. Saya rindu kamu.” Mata gadis itu memejam bersama air bening yang berlomba untuk dikeluarkan.
Bagas dan Lana sama-sama tidur dalam keadaan sakit, sama-sama diajak bermimpi oleh dirinya yang sedang hancur. Mereka sama-sama saling membutuhkan untuk menjadi sembuh. Bagas dan Lana, mereka saling menginginkan dekap untuk semakin memperkuat harap.
***
“Cieeee, besok kelulusan!” seru Zera ceria saat ia tiba di kamar Bagas. Sesuai permintaan laki-laki itu, agar Zera selalu ada untuknya dan tidak pernah meninggalkannya.
“Sayang, lo ngagetin gue, Ra!” ujar Bagas yang baru saja menetralkan jantung dari keterkejutannya mendengar teriakan Zera.
Zera hanya terkekeh. “Mau kuliah di mana, nih?” tanyanya.
“Kayaknya gue belum mau kuliah deh, Sayang. Mau buka usaha dulu, gitu,” terang Bagas.
“Kenapa gak kuliah aja, Bi? Di luar negeri misalnya,” saran Zera.
“Ah, gak, Ra! Gak siap gue kalo jauh-jauh dari lo.” Zera hanya tersenyum.
Bukan Rara, Bi, tapi Jingga. Kamu gak bakal sanggup jauh-jauh dari Jingga. Batin Zera.
“Ra, besok anterin gue kelulusan, ya!” pinta Bagas.
Zera menjulurkan lidahnya. “Males!” serunya. Lalu, gadis itu berlari dari Bagas yang sudah bersiap-siap mengejarnya.
Zera merasakan kebahagiaan, gadis itu menikmatinya. Jika memang kebersamaan-kebersamaan ini akan menjadi kebersamaan terakhir mereka, setidaknya kenangan yang menjejak di hatinya adalah kenangan bahagia. Jika memang benar-benar mereka akan menemui kata sudah, setidaknya tidak akan ada penyeselan setelahnya.
Sebuah buku jatuh dari meja belajar Bagas, terbuka pada halaman yang berisikan rangkaian kalimat yang berbentuk surat. Bagas mengambil bukunya dan memperhatikan tulisan tangannya sendiri.
Seorang gadis yang bernama Lanaria Jingga
Ini adalah tulisan pertamaku untukmu, juga menjadi coretan pertamaku yang isinya membicarakan seorang gadis. Gadis istimewa yang bernama Lanaria Jingga.
Mungkin, rangkaian kata yang berhasil kupadu-padankan takkan semanis syair-syair yang kauciptakan, mungkin juga tak seapik sajak-sajak yang kaubuat. Aku hanya mampu membahasakan tentang dirimu dengan sederhana. Sesederhana air yang melepaskan dahagaku, sesederhana pohon rindang yang menghalau terik dariku, sesederhana senyumanmu yang beberapa kali berhasil kucuri.
Seorang gadis yang bernama Lanaria Jingga
Ingin rasanya aku bisa berpuisi seperti yang dirimu lakukan. Ingin juga rasanya aku untuk bisa membahasakanmu menggunakan majas sehingga tampak indah. Namun, apalah dayaku, memikirkan kata selanjutnya setelah kata ini selesai saja aku sudah pening tak karuan.
Seorang gadis yang bernama Lanaria Jingga
Kutulis ini di dini hari yang dingin, kutulis ini setelah aku berhasil mengirimkan pesan-pesan untukmu, kutulis ini saat aku benar-benar membayangkan wajahmu.
Seorang gadis yang bernama Lanaria Jingga
Sebenarnya aku lebih suka melagukanmu daripada membahasakanmu, tetapi kausendiri yang berkata bahwa suaraku ini sumbang. Atau kau hanya pura-pura?
Seorang gadis yang kupanggil Jingga
Selamat untukmu, karena kauberhasil membuatku lebih banyak berpikir akhir-akhir ini.
Seorang Biru yang menyayangimu
Di kamarku sendirian.
Bagas mengernyitkan keningnya hingga berlipat-lipat. “Jingga? Lanaria Jingga?” gumamnya.
“Ah, sudahlah!” ujarnya, lalu mengembalikan bukunya ke tempat semula. Janggal, tapi ia tak mau ambil pusing, tak ingin menjadi pening, meski tulisannya sudah terekam di otaknya.TBC
KAMU SEDANG MEMBACA
BIRU (COMPLETED)
Romance(TAMAT) (CERITA INI DIBUAT UNTUK DIBACA, BUKAN UNTUK DIPLAGIAT!) . Cerita seorang gadis yang bernama Lanaria Jingga, pendiam, berkacamata, mungil dan tidak ekspresif. Dipertemukan dengan seorang lelaki yang bernama Albiru Bagaskara yang memiliki sik...