-Terima kasih karena sudah meminta saya menjadi teman kamu, Biru.-Jingga
***
"Jingga, aku minta maaf," ujar Bagas penuh penyesalan.
Kata-kata itu segera ia ucapkan saat tiba di kelasnya dan mendapati Lana sedang duduk sendirian dengan melakukan hal yang sama seperti hari-hari kemarin. Mendengar ucapan Bagas, gadis yang tengah sibuk bersama buku usangnya itu menghentikan kegiatannya. Dengan ragu ia menatap Bagas sebentar, ada raut penyesalan di wajah lelaki itu.
"Punya salah apa?" tanya Lana bingung.
"Membuat kamu risih,"
"Bagus kalau sadar," ketus Lana. Dia tidak mengerti kenapa dirinya justru membalas ketus atas permintaan maaf Bagas. Bagas hanya terdiam tak mengeluarkan kata-kata lagi mendapati respon Lana yang tak enak hati.
"Saya juga mau meminta maaf," balas Lana.
Mendengar Lana berbicara lebih dulu sebagai reaksi atas aksinya diamnya, sinar bulan terbit di wajah Bagas. Seperti ada semangat untuk menjadi teman yang muncul lagi di benaknya.
"Minta maaf untuk apa?" tanyanya sedikit dibumbui nada semangat.
"Tidak bisa menjadi teman kamu," kalimat itu seketika meruntuhkan semangatnya yang baru membangun, menumbangkan semangatnya yang baru berdiri, melayukan lagi hatinya yang hendak memekar.
"Tapi Jingga...,"
"Kemarin," potong Lana. Bagas bengong.
"Kemarin saya tidak mau menjadi teman kamu," Lana menarik napas sejenak, "Pada hari ini keputusan saya berubah," lanjutnya. Bagas menahan napas.
Lana terdiam, Bagas menahan napas hingga wajahnya memucat. Lama ia menunggu lanjutan kalimat dari Lana, tetapi tunggunya tak jua menemui ujung. Akhirnya ia meyerah, lalu memulai bernapas kembali.
"Jingga, maksudnya bagaimana?" tanyanya penasaran.
"Tidak jelas?" tanya Lana.
"Kamu mau menjadi temanku?" pastinya.
"Pikir saja sendiri," balas Lana lalu kembali tenggelam dalam khayalan bersama buku usangnya.
"WUAAHHH!!!! SEKARANG AKU RESMI MENJADI TEMAN JINGGA!" teriaknya memenuhi seantero kelas, untungnya kelas masih sepi, hanya mereka berdua yang baru tiba.
"AKHIRNYAAAA, AKU JADI TEM...,"
"Jangan terlalu heboh, saya terusik," ujar Lana dingin.
"Eh iya, maaf-maaf, teman. Hehe," balas Bagas kikuk, kemudian mendaratkan dirinya di bangkunya.
"Teman, sedang menulis apa?" tanyanya.
"Sekarang saya menyesal menerima kamu menjadi teman," sesal Lana.
"Loh, kenapa?" jawab Bagas bingung.
"Kamu itu mengganggu sekali," jujurnya.
"Eh iya, maaf. Aku diam deh," ujarnya lalu mengatup mulutnya rapat, Lana hanya tersenyum mendapati respon Bagas.
Lana kembali mendaki di gunung khayalannya, Bagas kembali menjadi laki-laki yang memperhatikan tiap torehan pena yang digerakkan oleh jemarinya pada buku usangnya. Sesekali pertanyaan laki-laki itu melaju menuju pendengaran Lana, tetapi segera ditepis olehnya. Setelah cukup lama mendaki dan kelas juga sudah ramai dan bising sehingga mengganggu konsentrasinya, akhirnya Lana memutuskan kontak dengan dunia khayalnya untuk sementara.
Melihat itu, mata Bagas berbinar dan mulutnya siap melontarkan banyak kalimat untuk bisa berbicara dengan Lana.
"Aku memanggil kamu Jingga atau teman?" tanyanya ketika buku Lana sudah mengendap dengan halus di dasar tas kainnya.
"Lana," balasnya singkat.
"Lana tidak ada di pilihan, jadi Jingga, teman atau Nai?" tanyanya lagi.
"Lana," jawabnya lagi.
"Ayolah, jangan Lana, biarkan aku memanggilmu dengan panggilan lain," pinta Bagas.
"Tetap Lana,"
"Sekarang aku sudah menjadi orang terdekat kamu," Bagas tetap gigih.
"Lana,"
"Ayolah, duh!" ujarnya kesal sendiri.
"Lana saja,"
"Aku sudah menjadi teman kamu,"
"Semuanya juga teman,"
"Tetapi 'kan aku yang meminta dan kamu mengiyakan,"
"Kapan saya bilang iya?" tanya Lana.
"Tadi barusan kamu bilang iya," ucap Bagas kalut.
"Tidak, saya bilang begini," ujarya lalu berpikir sejenak, "Pada hari ini keputusan saya berubah," ulangnya pada kalimatnya tadi.
"Ayolah," pinta Bagas tak menyerah.
"Ya sudah," putus Lana, terlihat mata Bagas kembali berbinar, "Tetap Lana," ujarnya memberi keputusan. Bagas menyerah lalu menyandarkan tubuhnya ke sandaran bangkunya.
Bersamaan dengan kekalutan Bagas, bel tanda masuk berbunyi. Selang dua menit guru mereka datang, pada pagi ini mereka belajar kimia. Pelajaran yang sangat Bagas sukai dan Lana tidak sukai.
"Selamat pagi, anak-anak," sapa sang guru.
"Selamat pagi, Bu." Jawab para siswa serentak.
"Silakan buka bukunya pada halaman duapuluh tiga di materi Sifat Koligatif Larutan Elektrolit, tandai yang penting dengan stabilo. Jika ada yang ingin ditanyakan silakan mengacungkan tangannya." Jelas sang guru.
"Menurut van't Hoff, besarnya sifat koligatif larutan elektrolit akan lebih besar daripada nilai sifat koligatif larutan non-elektrolit. Pada larutan elektrolit, zat terlarut mengalami ionisasi dengan reaksi ionisasi sebagai berikut," jelas sang guru sembari mengambil spidol dan berdiri menuju papan tulis untuk menuliskan reaksi kimia.
"Nah, setiap nilai mol A menghasilkan jumlah mol keseluruhannya atau mol A ditambah dengan mol B, seperti," ujarnya lagi lalu kembali menulis, "Jika disederhanakan bentuknya akan menjadi seperti ini," sambung sang guru lalu kembali menulis.
Sang guru terus menjelaskan dengan penuh dedikasi, Bagas memperhatikannya dengan penuh apresiasi, sementara Lana melihatnya dengan depresi. Dirinya sungguh sulit untuk mengerti, baginya yang dijelaskan sang guru tak ubahnya sebagai bunyi hujan yang diiringi geludug, membuat takut sekaligus mengantuk. Dengan senang ia menelungkupkan wajahnya di antara dua tangannya yang terlipat, menjadikan suara sang guru sebagai alunan piano yang membunyi lembut merasuki alam kantuknya sehingga ia bisa tertidur pulas.
Detik-detik merambat pelan, suara-suara menyambi ringan. Akhirnya sampailah mereka pada penghujung cerita hari Kamis bersama mata pelajaran kimia yang terpatri di jam pertama. Bel pergantian jam akhirnya menderu indah, mata Lana terbuka terang dari tidur nyenyaknya.
"Selamat pagi, Jingga," sapa Bagas.
"Menghina saya atau bagaimana?" ketus Lana.
"Menyapa," balasnya.
"Oh,"
"Setelah ini kita pelajaran apa lagi, Jingga?" tanya Bagas basa-basi.
"Itu jadwal pelajaran sudah terpampang di depan kelas, kamu tidak buta ataupun rabun, 'kan?" balas Lana, Bagas tersenyum malu.
Guru selanjutnya pun tiba dengan membawa lembar-lembar kertas yang menakutkan, kertas soal. Guru matematikanya ini terkenal guru yang hobi memberikan ulangan tiba-tiba pada siswanya, pembukanya adalah memberikan ulangan pada saat pertama masuk sekolah. Setelah belajar kimia yang memabukkan, lalu ulangan matematika secara mendadak merupakan runtutan penyiksaan yang sukar dilewati oleh Lana. Dia sulit untuk memahami pelajaran yang diisikan oleh angka-angka seperti kimia, matematika dan fisika. Mukanya tiba-tiba mengkerut seribu.
"Kita ulangan materi kelas sepuluh kemarin, saya ingin melihat kemampuan kalian memahami pelajaran kalian semester lalu. Simpan semua buku dan catatan kalian, soal berjumlah sepuluh dan memiliki anak dua jadi semuanya berjumlah duapuluh. Kerjakan selama jam pelajaran, jangan mencontek. Ulangan ini saya berikan untuk menentukan indeks pemahaman kalian di pelajaran semester lalu dan sebagai tolak ukur materi yang akan saya berikan pada kalian semester ini. Selamat mengerjakan," ujar sang guru tanpa mengacuhkan rautan muka melas yang diekspresikan oleh murid-muridnya.
Kertas ulangan dibagikan dan salah satu kertas sudah sampai di meja Lana, matanya langsung memicing, kepalanya pusing, Lana ingin menangis. Ditutupkannya mukanya dengan kedua tangannya, menetralkan rasa pusing di kepalanya.
"Kamu bisa, Jingga?" itu suara Bagas, ia hanya menggeleng.
"Kerjakan dulu sebisamu, nanti sepulang sekolah aku ajarkan," sarannya, Lana tetap menggeleng.
"Oh ayolah, atau kamu mau menyontek padaku saja?" tawarya, Lana tetap menggeleng.
"Lah? Jadi, maunya apa?" tanyanya lagi, sekarang Lana malah mengedikkan bahunya.
Bagas menarik napas lelah, "Huh, wanita dan kebingungannya," ketusnya. Tanpa menunggu respon Lana, Bagas segera tenggelam dalam rumus matematika yang ia cintai setengah lara.
Lanapun mulai ikut mengerjakan soal jatahnya dengan bersusah payah, mengerahkan seluruh tenaga dan otaknya, meski banyak bingungnya akhirnya ia berhasil mengerjakan beberapa dari soal yang diberikan. Setelah kepalanya pusing bukan kepalang, akhirnya Lana menjauhkan soal itu dari hadapannya. Karena semakin lama ia memandang soal yang diberikan, semakin besar pula hasratnya untuk muntah.
"Menyerah?" tanya lelaki di sampingnya.
"Sudah berusaha, tetapi kemampuan saya hanya sebatas itu," balasnya.
"Ingin mencontek?" tanya Bagas lagi.
"Tidak perlu, saya tidak mau berbohong," balasnya.
"Ya sudah," jawab Bagas lalu kembali tenggelam dalam soal-soalnya, sementara Lana kembali membenamkan kepalanya di meja, tertidur.
"Lanaria Jingga, bukankah kamu sudah tahu bahwa saya sangat tidak menyukai siswa yang tidur di kelas saya!?" suara sang guru menggelegar di kesenyapan kelas, Lana tersentak bangun.
Sang guru mendekati meja Bagas dan Lana dengan langkah yang menakutkan dan tatapan yang mengerikan.
"Soal yang saya berikan pada kamu sudah kamu kerjakan, Lanaria Jingga?" tanyanya lagi.
"Sudah, Bu," Jawab Lana tenang.
"Saya mau lihat," pinta sang guru. Lana memberikan lembara jawabannya.
"Tujuh dari duapuluh soal, dan yang benar hanya lima. Ini yang menurut kamu sudah?" tanya sang guru semakin membuat takut.
"Saya sudah berusaha, Bu," jawab Lana tetap tenang.
"Selesai jam saya, kamu ikut saya ke ruang guru," titah sang guru dengan tegas.
"Baik, Bu," jawab Lana menyanggupi.
Demi mendengar itu sang guru segera kembali ke tempat duduknya sebagai guru, sedikit merasa kesal pada balasan yang ia dapat dari Lana.
Akhirya jam berlalu, semua siswa mulai mengumpulkan kertas jawaban mereka. Berbagai ekspresi terekam, yang mendominasi adalah ekspresi pening dan frustasi. Setelah semua lembar jawaban para siswanya sudah ia terima, sang guru berdiri dan melangkahkan kakinya keluar dari kelas. Melihat sang guru keluar, Lanapun ikut berdiri dan berjalan menyusul guru.
"Jingga, aku temani, ya?" tawar Bagas.
"Tidak perlu, terima kasih," jawab Lana.
"Tapi...,"
"Biru, saya tidak apa-apa," balas Lana. Bagas tercengang.
Melihat ekspresi Bagas, Lana hanya tersenyum lirih, Bagas aneh baginya. Lalu, ia memutuskan untuk segera melangkahkan kakinya menyusul sang guru, meninggalkan laki-laki teman sebangkunya yang masih setia bersama ekspresi tercengangnya. Setelah tubuh Lana menghilang dari balik pintu, barulah Bagas kembali ke dunianya.
"Jingga memanggil aku Biru?" tanyanya pada diri sendiri.
"Temanku lucu juga, hehe," sambungnya.
Bagas tidak beranjak dari bangkunya, ia menunggu Lana, menunggu kabar dari gadis itu. Semoga teman sebangku yang sudah resmi menjadi teman sungguhannya itu baik-baik saja. Sebenarnya tak enak bagi hati Bagas jika tak melihat langsung Lana di sana, tetapi ia harus menuruti perkataan Lana, agar statusnya menjadi teman tidak diubah oleh temannya itu.
Limabelas menit berlalu, wajah Lana akhirnya muncul dari balik pintu, ekspresi Bagas langsung cerah. Dengan tergesa ia menyambut Lana, tepat di depan papan tulis kelas mereka. Namun, tangannya tak bersambut, yang ingin disambut justru melewatinya menuju bangku mereka.
"Bagaimana, Jingga?" Bagas langsung memburu Lana dengan pertanyaan.
"Apanya?" jawab Lana bertanya juga.
"Kamu tadi tidak dimarahi, 'kan?" ujar Bagas memastikan.
"Tidak, tidak apa-apa. Semuanya baik-baik saja," jawab Lana tenang.
"Kamu gadis yang tenang," aku Bagas.
"Kamu pria yang cerewet dan banyak tanya," aku Lana polos.
"Tetapi aku teman kamu," balas Bagas tak mau kalah.
"Iya," jawabnya. Lana dan Bagas berakhir diam dan menenggelamkan otak pada pikiran runyam pada masing-masing dari mereka.
"Jingga, aku mau bertanya," ujar Bagas memecah keheningan.
"Kamu selalu bertanya, kenapa sekarang baru minta izin?" tanya Lana.
"Hehe," tawanya sembari menggaruk keningnya yang tak gatal, "Tapi serius, sekarang aku bertanya yang serius," jujurnya.
"Tanyakan," jawab Lana seraya mengambil buku usangnya.
"Kenapa kamu memanggil aku Biru?" tanyanya langsung.
"Kenapa kamu menanyakan itu?" ujar Lana ikut bertanya.
"Jingga, kalau ditanya kenapa itu jawabannya karena bukannya kenapa juga," balas Bagas sedikit kesal.
"Biru, kalau ditanya kenapa itu jawabannya karena bukan menyebut nama dan diikuti kalimat pembenaran," balas Lana tak mau kalah.
"Jingga, ayolah aku serius," jawab Bagas serasa ingin menyerah.
"Mau saya jawab?" tanya Lana memastikan, Bagas hanya mengangguk tak mampu mengeluarkan kata.
"Karena bibir saya ingin menyebutkannya," jawab Lana acuh tak acuh.
"Cuma itu?" tanya Bagas memastikan, Lana mengangguk.
"Kenapa?" tanyanya lagi.
"Berhenti dulu menanyakan kenapa, besok lagi. Sekarang saya lapar dan mau makan, kamu tidak lapar?" ujar Lana.
"Kamu perhatian juga," balas Bagas mesam-mesem.
"Tidak, saya cuma takut bekal yang saya bawa akan diminta sama kamu," jujur Lana yang menyakitkan.
"Aku juga bawa bekal," ujar Bagas seraya mengeluarkan kotak bekalnya.
"Oh,"
"Selamat makan, Jingga," ujar Bagas.
"Selamat makan," ujar Lana terputus, Bagas berbinar, "Saya," sambungnya, Bagas patah hati.
"Jingga, kenapa selalu membawa bekal?" tanya Bagas memecahkan keheningan di antara mereka.
"Makan tanpa bicara, bisa?" tekan Lana, Bagas mengangguk cepat.Mereka tenggelam dalam alunan pikiran masing-masing, menikmati setiap bulir nasi yang tertelan, bersyukur untuk rezeki yang diberikan Tuhan. Sesekali Bagas menatap Lana yang mengunyah tanpa berbicara, gadis baik.
__________________
Assalamualaikum wr.wb.
Selamat siang teman-teman, bagaimana BAB V ini?
Semoga bisa menghibur teman-teman sekalian.
Jangan lupa vote, komen dan share ke teman-teman yang lain biar Rumy makin semangat💖
Untuk kritik dan saran, Rumy juga menerima ya💚💙
Salam sayang,
Rumy💙
KAMU SEDANG MEMBACA
BIRU (COMPLETED)
Romance(TAMAT) (CERITA INI DIBUAT UNTUK DIBACA, BUKAN UNTUK DIPLAGIAT!) . Cerita seorang gadis yang bernama Lanaria Jingga, pendiam, berkacamata, mungil dan tidak ekspresif. Dipertemukan dengan seorang lelaki yang bernama Albiru Bagaskara yang memiliki sik...