B I R U || 18

609 50 10
                                    

Assalamualaykum wr.wb.
Halo, gais! Selamat hari Raya Idul Adha, yaaa.
Maaf, nih, updatenya agak terlambat. Karena Rumy baru aja ngenikmatin sop daging, ei. Wkwk.
Oh iya, MAKASIH BANGET HARI INI BIRU UDAH 1,5K PEMBACA!!!❤❤❤❤❤❤❤❤❤
RUMY BAHAGIAAAAA.
Rumy Dedikasiin part 18 ini untuk pencapaian kita semua!
Love you all, hug jauh dari Rumy maknya Biru.
Eh iya, jangan lupa orenin ikon bintang. Mwaahh.
_____________________________________

-Apakah kita sudah benar-benar saling kehilangan?-

***

“ALBI! JANGAN!” Terlambat, yang diteriaki justru sudah menenggak habis racun yang ia tuangkan ke dalam gelas.

Bagas memberontak, ini cara ia protes pada Tuhan. Protes kenapa Ia berikan kepeningan yang tiada tara di kepalanya? Protes kenapa dengungan lebah yang memekakkan telinga tetap saja hadir dan bersarang di telinganya? Protes kenapa ia tidak bisa mengendalikan dirinya? Bagas menderita dengan semua rasa sakit yang ia rasakan di sekujur tubuhnya. Bagas menderita karena ia melupakan Jingga yang menjadi sumber bahagia dan sumber tawanya. Bagas ingin memerotes Tuhan, cara terbaik yang ia pilih adalah dengan menemui-Nya. Mati.

“Albi, nak!” Ratih, ibunya merintih saat melihat banyak busa yang sudah keluar dari mulut sang anak. Ia memeluk si bungsu, amat takut untuk kehilangan.

Ratih kesetanan memanggil semua pegawai yang bekerja di rumahnya, meminta mereka untuk segera membawa anak bungsunya ke rumah sakit. Tubuhnya amat bergetar, takut kejadian tiga tahun silam terulang lagi. Takut jika anaknya kembali berada di posisi ambang kematian yang ia sebabkan sendiri. Ia takut kehilangan bungsunya.

“Tante,” lirih Zera, teman anaknya itu sudah berkaca-kaca.

Ia juga adalah saksi tiga tahun lalu, saat Bagas menyayat pergelangan tangannya karena hal yang sama. Kepeningan dan kefrustasian atas dengungan lebah yang ada di kepalanya. Akibat benturan hebat yang pernah mengalaminya saat kecelakaan kala umurnya lima tahun. Akibat kelalaian ibunya, akibat kelalaian Ratih dalam menjaganya. Hal itulah yang membuat Ratih kalap saat hal yang dirasakan anaknya terulang kembali.

“Albi, Zera, Albi,” adu Ratih perih.

Zera memeluk mama temannya itu dengan lembut, ia tahu hati Ratih saat ini amat terguncang, rasa bersalah amat besar hinggap di hatinya. Ratih terus saja meracau memanggil nama putranya, berteriak nyalang pada kendaraan bermotor yang memotong mobilnya, memukul supir pribadinya saat berjalan sedikit pelan. Semua hal gila ia lakukan saat Bagas dalam kondisi seperti ini. Ia takut ia akan kehilangan anaknya.

“Tante, tenang. Albi pasti akan baik-baik saja,” ujar Zera. Ia tak tahu kalimatnya berguna atau tidak karena ia sama tidak tenangnya, sama paniknya, ia begitu menyayangi Bagas.

“Tante takut, Zera. Tante amat takut,” cicit Ratih.

“Rara juga takut, tante. Lebih baik kita berdoa saja untuk Albi,” ujar Zera lebih tenang.

Bagas yang ceria, Bagas yang cengengesan, Bagas yang sering mengganggu Lana adalah Bagas yang selalu ibunya harapkan. Ratih tak ingin anaknya lagi-lagi seperti ini, lagi-lagi menjadi menderita. Ratih tak ingin anaknya kesakitan. Betapa batin seorang ibu juga turut sakit saat melihat anaknya tersiksa.

“Jingga, Albi butuh kamu,” gumam Ratih, Zera tersentak. Tubuh gadis itu bergetar hebat. Posisinya sudah digantikan, memang sebenarnya harus digantikan.

Zera menjatuhkan air matanya perlahan. Sedih menghimpun di lubuk hatinya. Ia amat takut terjadi apa-apa pada Bagas, ia takut kehilangan Bagas. Tapi, sekarang ia bukanlah apa-apa lagi. Dia sudah patah dan kalah. Sekarang memang Bagas tampak membutuhkannya, tapi ketika ia sadar ia akan kembali pada Jingganya, menjadi seorang Biru lagi. Zera berusaha meneguhkan hatinya. Ini yang terbaik.

BIRU (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang